by : Thayyibah Nazlatul Ain

       Kesadaran masyarakat mengenai isu kesehatan mental semakin hari semakin meningkat. Hal ini terlihat dari bermunculannya berbagai kampanye dan komunitas yang mulai peduli akan kesehatan mental. Bahkan, kini banyak para pejuang kesehatan mental yang mulai berani sharing dan speak-up mengenai kondisi sakit mentalnya sebagai salah satu upaya memutus stigma beberapa masyarakat yang mengganggap tabu dan aib jika memiliki sakit mental. Hal ini karena sakit mental dianggap seperti gunung es yang muncul di permukaan hanya sebagian kecil. Meski begitu, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 menunjukkan bahwa prevalensi orang gangguan jiwa berat (skizofrenia/psikosis) meningkat dari 0,15% menjadi 0,18%, sementara prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk usia 15 tahun keatas meningkat dari 6,1% pada tahun 2013 menjadi 9,8 % pada 2018. Artinya, sekitar 12 juta penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas menderita depresi. Selain itu, menurut data WHO lebih dari 800.000 orang meninggal setiap tahunnya atau sekitar 1 orang setiap 40 detik karena bunuh diri.

       Penyebab adanya penyakit mental disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal ini berdasal dari genetik. Menurut Machdy (2019; 118) bahwa depresi sebagai penyakit yang sifatnya dapat diturunkan. Hal ini juga berdasarkan sebuah penelitian dari Kendler et.al (2006)  yang melakukan studi pada 42.161 anak kembar menyimpulkan bahwa kemungkinan depresi diturunkan sebanyak 38%. Pada kasus anak kembar ini jika salah satunya mengalami depresi, ada kemungkinan potensi depresi pada kembarannya. Penelitian lain juga menyebutkan bahwa heritabilitas depresi mayor berkisar 35 sampai 40% (Sullivan, et al., 2000). Selain faktor internal, faktor eksternal juga mendorong munculnya sakit mental seperti depresi, anxiety, bipolar disorder dan lain-lain. Faktor eksternal ini bisa berasal dari faktor sosial, ekonomi dan kondisi alam, salah satunya perubahan iklim.

       Fenomena perubahan iklim menjadi salah satu momok yang menjadi perhatian global. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi bahwa pada tahun 2030 terjadi peningkatan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius. Angka kenaikan tersebut akan memicu badai angin, panas berkepanjangan, kekeringan bahkan kepunahan massal. Tidak dapat dipungkiri, meski kita telah merasakan dampaknya secara langsung namun kita juga yang menjadi kontributor utama dari perubahan iklim. Berdasarkan data Journal Nature pada tahun 2012 satu dari tiga penyumbang gas rumah kaca terbesar adalah dari aktivitas manusia salah satunya agrikultur dan menyumbang 86% CO2. Selain itu, permasalahan keterbatasan air bersih menjadi ancaman karena sebanyak 7.7 miliyar orang di dunia ini memperebutkan ketersediaan air bersih layak yang hanya 0.007 persen  di bumi. Seorang saintis, Peter Gleick dari Pasific Institute memprediksi bahwa pada tahun 2020 sebanyak 135 juta orang di dunia akan meninggal karena kekurangan air bersih (Joe Quirk & Patri Friedman, 2017).


       Lalu, bagaimana perubahan iklim berpengaruh pada kesehatan mental? Berdasarkan riset National Academy of Science, setiap kenaikan satu derajat selama lima tahun berpengaruh pada peningkatan dua angka masalah kesehatan mental. Berikut ini adalah ilustrasi bagaimana perubahan iklim berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung pada kesehatan mental:

Sumber: APHA.org

       Berdasarkan gambar di atas, dapat diketahui bahwa perubahan iklim dapat mempengaruhi kesehatan fisik, kesehan mental dan kesehatan masyarakat. Ketiga aspek  yang tersebut saling berkaitan, hal ini berarti pengaruh perubahan iklim ini bisa berdampak secara langsung maupun tidak langsung

1. Pengaruh Langsung (Acute)

         Pengaruh langsung yang diakibatkan dari perubahan iklim terjadi saat terjadinya extream event atau bencana alam seperti gempa bumi, tornado, gelombang panas, banjir, badai dan lain-lain. Bencana yang terjadi akibat perubahan dan ketidakseimbangan alam karena perubahan iklim tersebut menyebabkan terganggunya faktor psikolog. Dalam hal ini bisa menyebabkan post traumatic stress depression (PTSD), potensi keinginan bunuh diri, anxeity  dan penyakit mental lainnya. Berdasarkan data dari WHO 25-50% orang yang terpapar extream event berisiko sakit mental, lebih dari 54% remaja dan 45% anak-anak menderita depresi karena bencana alam. Hal ini sebagaimana yang terjadi saat adanya bencana badai Katrina menyebabkan beberapa orang mengalami anxiety, mood disoeder dan 1 dari 6 orang menderita PTSD. Selain itu, saat kejadian itu, keinginan bunuh diri meningkat dua kali lipat lebih tinggi.

2. Pengaruh Tidak Langsung (Chronic)

         Pengaruh tidak langsung ini berasal dari beberapa aspek; lingkungan, sosial, ekonomi dan lain-lain. Aspek lingkungan seperti kekeringan yang berkepanjangan, kenaikan permukaan laut, deforestasi, paparan siklon tropis, menurunnya kualitas makanan dan meningkatkan kadar polusi udara mempengaruhi kesehatan mental banyak orang. Kondisi tersebut memicu munculnya kondisi kejiwaan seperti PTSD, gangguan suasana hati seperti depresi, kecemasan, peningkatan tingkat bunuh diri dan penggunaan narkoba, serta peningkatan perilaku agresif. Perubahan iklim yang menyebabkan ketidakseimbangan ekosistem tersebut menyebabkan suatu daerah menjadi tidak layak huni sehingga perlu adanya migrasi. Menurut United Nation High Commissioner for Refugees, terjadinya migrasi berhubungan dengan adanya fenomena perubahan iklim. Setiap tahun sejak tahun 2008, rata-rata lebih dari 20 juta orang terpaksa pindah tempat tinggal karena perubahan kondisi cuaca ekstrim seperti banjir, badai, kebakaran hutan atau temperatur ekstrim.

         Aspek kesehatan fisik juga secara tidak langsung akan pada kesehatan mental. Perbuhan iklim tentu akan berdampak pada kesehatan fisik, seperti terjadinya perubahan kebugaran dan level aktivitas kita, penyakit yang berhubungan dengan panas, alergi dan muncul berbagai peenyakit yang berdasar dari mikroorganisme atau vektor. Penyakit-penyakit yang dipicu oleh perubahan iklim tersebut secara tidak langsung akan mempengaruhi kesehatan mental seseorang.  Sebagaii contoh pada pasa pandemic covid-19 ini, WHO menyebutkan bahwa masa pandemi meningkatkan krisis kesehatan mental karena memicu depresi, kecemasan, insomnia dan mimpi buruk. Meski belum ada penelitian langsung yang menyebutkan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada munculnya 2019 n-Cov ini, namun perubahan iklim tentu diyakini berpengaruh pada pola penyebaran serta pola adaptasi pada suatu virus.

         Perubahan iklim juga mempengaruhi aspek social dan ekonomi. Secara tidak langsung, efek perubahan iklim akan memberikan dampak pada kelompok rentan yang karenanya memiliki kemungkinan meningkat untuk mengembangkan psikopatologi seperti  wanita, orang tua, anak-anak, orang dengan penyakit kejiwaan sebelumnya yang akibatnya dapat memperburuk kondisi mental mereka, dan orang dengan pendapatan rendah atau miskin jejaring sosial, serta komunitas asli dan asli. Perubahan iklim dapat memengaruhi cara kita berpikir tentang diri kita sendiri, satu sama lain, dan dunia. Apalagi jika  adanya migrasi yang terjadi, orang mungkin mengalami berkurangnya perasaan diri, kesulitan berhubungan dengan orang lain, berkurangnya interaksi sosial, dan solastalgia (hilangnya rasa tempat, pelipur lara, dan keamanan terkait dengan lingkungan fisik seseorang). Dampak komunitas termasuk kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan anak, dan kekerasan. Kondisi-kondisi tersebut mempengaruhi kesehatan mental seseorang.

       Berdasarkan hal tersebut, dapat disimpulkan bahwa perubahan iklim bukan hanya berpotensi merusak keseimbangan alam. Namun, hal tersebut akan berefek domino pada berbagai aspek, salah satunya kesehatan mental. Oleh karena itu, seyoogyanya kita lebih aware pada fenomena perubahan iklim dan lebih peduli serta dapat turut memutus stigma negatif terhadap kesehatan mental.

Referensi:

Joe Quirk & Patri Friedman. 2017. Seasteading. FreePress

Wallace-Well, David. 2019. Bumi Yang Tak dapat Dihuni. Gramedia

https://www.psychiatry.org/patients-families/climate-change-and-mental-health-connections/affects-on-mental-health

https://www.apha.org/~/media/files/pdf/topics/climate/climate_changes_mental_health.ashx

9 Juni 2020

22.06 WIB