Progress is impossible without change, and those who cannot change their minds cannot change anything.
George Bernard Shaw
Covid-19, Waktu Terbaik Self-Purification Alam
Bencana pandemi Covid-19 hingga kini masih menjadi perhatian di berbagai negara, tak terkecuali di Indonesia. Setelah sekitar 3 bulan aturan PSBB di Indonesia diterapkan untuk memutus rantai penyebaran Covid-19 ini, kini sudah mulai diberlakukan New Normal atau AKB (Adaptasi Kebiasaan Baru) yang menjadi angin segar bagi masyarakat yang selama ini mematuhi peraturan pemerintah untuk di rumah aja. Meski begitu, di tengah musibah pandemi ini, ada kabar gembira dari beberapa aspek lingkungan. Seperti peneliti dari Columbia University yang menyatakan terjadi pengurangan Karbon Monoksida (CO) di New York sebanyak 50% dari tahun sebelumnya. Begitu pula di China penggunaan energi dan emisi menurun hingga 25%. Selain itu, di sektor laut dan pesisir juga ternyata menjadi waktu terbaik bagi ekosistem laut memulihan diri. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Prof. Muhammad Zainuri (Dosen Besar Ilmu Kelautan Universitas Dipenogoro) dalam siaran Ruang Publik KBR pada 26 Juni 2020, bahwa pada masa pandemi populasi ikan meningkat terutama di perairan pantai utara (pantura) karena memang bulan Juni hingga Juli adalah masa reproduksi ikan. Hal ini juga dipicu oleh peningkatan sampah organik rumah tangga di masa pandemi di kawasan pesisir yang bisa menjadi stimulator pada pertumbuhan ikan. Selain peningkatan populasi ikan, terjadi peningkatan pertumbuhan terumbu karang dan membuat ikan-ikan yang biasanya tidak mendekati sisi pantai menjadi bermunculan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Mba Githa Anastasia yang merupakan Pengelola Kampung Wisata Arborek Raja Ampat dalam siaran yang sama bahwa ikan-ikan bermunculan di sekitar tepi pantai bahkan hingga ke daratan, seperti ikan tuna dan ikan hiu. Hal tersebut terjadi karena aktivitas wisata seperti snorkeling, diving dan lalu lalang speedboat dihentikan pada masa pandemi. Maka, benar ada pribahasa selalu ada hikmah di balik musibah. Dengan penutupan beberapa kawasan dan membatasi aktivitas di masa pandemi, membuat alam memulihkan dirinya sendiri yaitu self-purification. Karena secara alamiah, alam memiliki kemampuan untuk memulihkan dirinya sendiri, hanya saja butuh waktu untuk menyeimbangkan ekosistemnya seperti semula. Sebagaimana alam yang memiliki kemampuan untuk self-purification, alam tidak ‘manja’ agar manusia merawatnya. Sayangnya, seringnya manusia lupa diri dan terlalau egosentris, memfokuskan manusia sebagai pusat kehidupan dan mengesampingkan peran alam. Sehingga alam sudah tidak lagi teratur dan ‘keseimbangan’ alamlah yang diintervensi oleh aktivitas manusia yang tidak terkendali, kini alam sudah sulit untuk memulihkan dirinya. Sederhananya, di sektor pariwisata mungkin tidak jarang yang sudah tidak memperhatikan Daya Dukung dan Daya Tampung (DD/DT) lingkungan, manusia yang dengan mudahnya membuang sampah ke laut layaknya tempat sampah, air limbah domestik dan industri yang dialirkan tanpa memperhatikan baku mutu lingkungan serta aktivitas manusia yang menghasilkan gas rumah kaca yang tak terkendali dan mengancam kehidupan ekosistem laut. Hal tersebut tentu akan mempengaruhi keseimbangan alam yang tidak lagi teratur. Kini bencana alam tidak lagi alami, karena untuk memulihkan diri alam terutama laut membutuhkan ruang dan jeda.
Microplastic, Sebuah Ancaman Kronik Laut
Kondisi sampah berserakan di sepanjang pesisir laut bukan hal yang asing dipandang lagi,bukan? Sebagaimana menurut Prof. Zainuri banyak orang yang menganggap laut adalah tempat sampah yang bisa merecovery dirinya sendiri. Padahal tidak semudah itu, memang plastik bisa didegradasi, namun butuh beberapa generasi ikan untuk mengurai sehelai plastik. Ironinya, plastik ini saat terdegradasi me-release mikroplastik yang lebih membahayakan lagi bagi ekosistem biota laut. Selain yang dihasilkan dari plastik yang dibuang ke laut, mikroplastik ini dihasilkan dari limbah buangan industri maupun domestik. Bahkan menurut David Wellece-Well dari satu putaran mesin cuci dapat menghasilkan 700.000 potongan mikroplastik. Bahayanya, mikroplastik ini berpotensi dimakan oleh ikan. Kini total spesies laut yang menerima dampak negatif dari polusi plastik ini naik menjadi 1.450 pada tahun 2018. Mayoritas ikan yang dites dan disurvei di Atlantik Barat 73 persen di dalam perutnya mengandung plastik, begitu pula pada setiap 100 gram karang laut mengandung 70 partikel plastik. Efek kronik pada ikan, mikroplastik yang terakumulasi berpotensi menyebabkan perubahan genetik pada biota laut. Lucunya lagi, tanpa disadari ikan –yang mengandung plastik- ini kemudian kita konsumsi. Menurut penelitian pada buku yang sama –Bumi Yang Tak Dapat Dihuni- bahwa seperempat dari ikan laut yang tersebar di Indonesia dan California mengandung plastik bahkan saat diperiksa bahwa para pemakan kerang di Eropa ternyata mengonsumsi 11.000 potong mikroplastik setiap tahun.
Coral Bleaching, Efek Akut Iklim
Aktivitas manusia dapat berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap ekosistem laut. Anomali iklim sudah direpresentasikan dari berbagai fenomena yang terjadi pada ekosistem laut. Perubahan iklim memang menjadi suatu keniscayaan bagi alam semesta. Namun, aktivitas manusia sebagai akselerasi dari prosesnya hingga kini bukan lagi disebut peubahan iklim, namun krisis iklim. Sebuah kondisi yang tidak bisa lagi ditoleransi oleh ekosistem laut yang mempengaruhi keseimbangan ekosistemnya. Krisis iklim ini terlihat sebagaimana studi yang dilakukan oleh John Bruno, seorang ekologi kelautan di UNC-Chaperl Hill memprediksi bahwa kasawan perlindungan laut akan menghangat hingga 2,8 derajat ceclius pada tahun 2100. Diperkirakan peningkatan rata-rata suhu sebesar 0,034 derajat celcius pertahun. Hal ini juga diperkuat dari data yang diterbitkan Climate Central tahun 2015 dalam Mapping Choices “Carbon, Climate dan Rising Seas: Our Global Legacy” bahwa jika suhu global naik 2 derajat celcius, akan mengancam 280 orang karena tempat tinggalnya di bawah panas muka laut. Dalam penelitian tersebut dipaparkan bahwa pemanasan yang cepat dan ekstrim pada air laut ini mempengaruhi dan merusak spesies dan ekosistem laut. Seperti dapat merusak terumbu karang, ekosistem lamun, plankton dan mangrove. Sebagaimana terdapat dalam sebuah studi dari WWF, menunjukan bahwa krisis iklim ini menyebabkan peningkatan suhu di laut yang menyebabkan coral bleacing atau pemutihan terumbu karang. Hal ini menyebabkan kematian 70% terumbu karang di dunia. Kejadian ini juga terjadi di kawasan laut Raja Ampat sebagaimana yang disampaikan oleh Mba Githa Anastasia bahwa terjadi coral bleaching di beberapa kawasan di Raja Ampat. Menurut David Wallace Well terumbu karang adalah tempat menempelnya protozoa zooxanthelle yang merupakan penghasil 90% energi yang dibutuhkan karang untuk berfotosintesis. Tiap terumbu karang adalah ekosistem sebagaimana sebuah kompleks kota modern dari para biota laut dan zoxanthelle adalah pemasok makanan dan balok pembangun dasar rantai energi. Maka ketika terumbu karang mati, keseluruhan ekosistemnya akan mati dan menjadi bencana bagi biota yang hidup di dalamnya karena jika sumber kehidupannya mati dan mereka akan mecari habitat baru yang sebenarnya ‘tidak selalu’ akan membuat tubuhnya beradaptasi. Hal ini sebagaimana menurut David Wellece-Well dalam buku Bumi Yang Tak Dapat Dihuni memaparkan bahwa populasi ikan di pantai Amerika Timur kini sudah bermigrasi dan bergeser 500 meter untuk melakukan adaptasi di suhu yang lebih dingin. Selain karena tubuhnya yang sudah tidak bisa beradaptasi, populasi ikan ini mencari habitat baru yang menunjang kehidupannya untuk tetap bertahan hidup.
Ocean Acidification, Kondisi Laut Sesak Nafas
Selain coral bleaching yang mengancam kehidupan ekosistem laut, krisis iklim menyebabkan terjadinya ocean acidification atau pengasaman air laut. Fenomena ini terjadi karena dipicu oleh peningkatan gas rumah kaca atau Green House Gas (GHG) dari aktivitas manusia. Hal ini menyebabkan adanya penyerapan karbon dioksida (CO2) dengan proporsi tinggi yang dihasilkan dari aktivitas manusia, sehingga laut menjadi asam. Menurut David Wellece-Well, kini seperempat karbon dari aktivitas manusia diserap oleh laut, yang dalam lima puluh tahun belakangan ini menyerap karbon berlebih akibat pemanasan global.
Dampak dari pengasaman laut tersebut menyebabkan biota laut menjadi sulit bernafas karena pengasaman tersebut menyebabkan dissolved oxygen menjadi rendah atau bahkan menyebabkan kondisi tanpa oksigen. Sebagaimana menurut David Wellece-Well bahwa selama lima puluh tahun terakhir, jumlah air laut tanpa oksigen menjadi empat kali lipat di dunia, menghasilkan total empat ratus lebih ‘zona mati’ (death zone), zona tanpa oksigen yang semakin meluas. Kondisi tersebut secara dramatis menyebabkan kepunahan massal karena pada kondisi tanpa oksigen menghasilkan gas hydrogen sulfide yang mencekik kehidupan ikan. Sebuah situasi, laut sesak nafas. Selain itu, menurut World Resources Institute, pada 2030 pengasaman laut akan mengancam 90 persen dari seluruh terumbu karang,
Bumi Siap Tenggelam?
Anomali iklim yang terlihat dari berbagai fenomena yang mengancam kehidupan biota laut ternyata memiliki dampak yang mempengaruhi kehidupan manusia. Peningkatan suhu menyebabkan pelelahan es di antartika. Pada tahun 2018, penelitian dalam David Wellece-Well menunjukan bahwa laju pelelehan es Antartika berlipat tiga hanya dalam satu dasawasa. Dari tahun 1992 sampai 1997 kehilangan rata-rata 49 miliar ton es setip tahun dan pada tahun 2012 sampai 2017 meningkat drastis menjadi 219 miliar ton es. Pelelehan es di antartika menyebabkan terjadinya peningkatan muka air laut. Berdasarkan penelitian National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) bahwa kenaikan level muka air bisa terjadi hingga 2,4 meter pada abad ini. Hal ini diperkuat oleh data NASA Goddard Space Flight Center kenaikan rata-rata muka air laut adalah 3,3 milimeter per tahun.
Peningkatan level muka air ini, berdasarkan laman National Geographic, bahwa kenaikan level muka air tersebut menyebabkan abrasi, banjir, intrusi air laut, hilangnya habitat biota dan tanamaan laut. Hal ini sebagaimana yang disampaikan Prof. Zainuri bahwa di kawasan pantai utara (pantura) garis pantai mundur 900 sampai dengan 1400 meter pada 2003 hingga 2013. Hal ini menyebabkan tenggelamnya tiga desa di Demak akibat abrasi air laut. Seluas 240 ha perumahan amblas hingga satu meter akibat intrusi air laut. Bukan tidak mungkin peningkatanan level muka air laut ini menyebabkan daerah pesisir atau daerah di dataran rendah berpotensi tenggelam. Sebagaimana bisa berkaca dari bencana yang terjadi di tahun 2017 yaitu banjir Asia Selatan yang menewaskan 1.200 orang dan menenggelamkan dua pertiga dari daratan Bangladesh. Apalagi kini banyak penelitian yang menunjukan bahwa ibu kota negera kita, Jakarta menurut Collaborative Knowledge Network Indonesia yang memprediksi bahwa pada tahun 2025 Jakarta akan tenggelam akibat buruknya infrastruktur urban dan tata letak kota serta penyerapan air yang terbatas. Serta dalam penelitian lain, disebutkan bahwa pada tahun 2050 Jakarta akan tenggelam seluruhnya karena banjir dan penurunan tanah berdasarkan buku David Wellece-Well.
Lalu, Akan Terus Egosentris?
Potret laut yang menyakitkan, akankah membuat kita terus berdiam diri? Terlena dan lupa diri dengan terus mengekploitasi. Hingga lupa laut yang memiliki jasa yang menunjang kehidupan juga butuh ‘rehat’ untuk memulihkan diri. Lalu, apa yang bisa kita lakukan?
- Memahami Karbon Biru dan Kenali Potensi Lokal
Karbon biru merupakan karbon yang mampu diserap dan disimpan oleh eksosistem pesisir dan laut, serta tersimpan pada lahan basah pasang surut, seperti hutan pasang surut, hutan mangrove, dan padang lamun. Berdasarkan data dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan (Puslitbanghut) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ekosistem pesisir dan laut ini memiliki peran penting dalam berkontribusi menangani krisis iklim karena mampu menyerap karbon 3-10 kali lipat lebih banyak dari hutan terestrial (hutan di daratan). Meskipun memang luas pesisir lebih kecil dibanding hutan di daratan, kecepatan penyerapan karbon ekosistem pesisir lebih cepat dan terus menerus melangsungkan penyerapan ini selama jutaan tahun. Sebagaimana ekosistem mangrove yang mampu menyerap dan menyimpan lima kali karbon lebih banyak per hektarnya dibandingkan dengan hutan tropis daratan atau mencapai 38,8 ton/ha/tahun atau diperkirakan dapat menyerap 122,22 juta ton/tahun. Selain ekosistem mangrove, padang lamun juga memiliki kemampuan menyimpan karbon sekitar 4,88 ton/ha/tahun atau diperkirakan dapat menyimpan 16,11 juta ton karbon/tahun.
Indonesia merupakan salah satu yang memiliki potensi mangrove terbesar di dunia. Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di tahun 2015 Indonesia mempunyai luas mangrove sebesar lebih dari 3,4 juta Ha atau setara dengan 23% ekosistem mangrove dunia. Dengan modal mangrove yang besar ini, mangrove di Indonesia menyimpan sepertiga stok karbon pesisir global. Sayangnya, ekosistem mangrove kini semakin mengkhawatirkan karena terjadi konversi lahan di sekitar pesisir . Dikutip dari laman tempo.com, hutan mangrove Indonesia menghilang 52 ribu Ha setiap tahun, atau setara dengan dengan luas 3 lapangan bola per minggu. Pemerintah terus berusaha merehabilitasinya dan selama kurun waktu 2010-2017, KLHK telah melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan mangrove seluas lebih dari 32 ribu Ha.
Dengan mengetahui potensi karbon biru yang dapat menjadi solusi untuk menangani krisis iklim, diharapkan kita lebih aware pada ekosistem laut dan pesisir. Menanam dan merawat mangrove adalah salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk berkontribusi dalam pemanfaatan karbon biru dalam melawan krisis iklim. Selain itu, menurut Mba Githa Anastasia dalam siaran Ruang Publik KBR bahwa kita harus mengenali potensi lokal saat kita sedang berpariwisata di sekitar kawasan pesisir sehingga kita mengetahui apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kita lakukan untuk menjaga ekosistem laut dan pesisir. Hal ini diperkuat oleh pertanyaan Prof. Zainuri dalam siaran yang sama bahwa mengenali potensi lokal juga kita bisa mengetahui potensi produk lokal yang bisa dikembangkan untuk menunjang perekonomian masyarakat pesisir, sebagai contoh pengembangan produk ikan manyung di Semarang yang menjadi potensi lokal masyarakat.
- Hidup Lebih Ramah Lingkungan
Banyak yang tidak menyadari bahwa kita sebagai konsumen tingkat hulu bisa sangat berkontribusi untuk menjaga ekosistem laut melalui kebiasaan kita untuk hidup ramah lingkungan. Hal yang bisa dilakukan dengan mengurangi penggunaan bahan yang berjenis plastik sekali pakai dan menggantinya dengan yang reusable seperti membawa tumbler, membiasakan menggunakan totebag, mengganti disposable menstrual pad manjadi reusable menstrual pad bagi perempuan, mulai memilah dan mengolah sampah, memperpanjang daur hidup baju dengan mengurangi produk fast fashion dan banyak hal-hal yang sederhana yang bisa kita lakukan yang berkontribusi terhadap kelestarian laut.
- Memulai
Menjaga laut perlu dimulai dari perubahan pola pikir. Belajar memahami kondisi yang terjadi untuk memunculkan kesadaran dan kepedulian. Bentuk awareness yang berharga adalah ketika dapat membawa kita pada pola pikir untuk membuat kita bertindak lebih bijak. Tidak perlu bermimpi besar terlebih dahulu untuk menghilangkan sampah di lautan. Namun kita mulai dari hal yang terkecil yang ‘mampu’ kita lakukan, mulai dari diri sendiri untuk menjadi pelopor di lingkungan tedekat kita dan mulai dari sekarang untuk membuat perubahan.
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog "Perubahan Iklim" yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini (beri link artikel persyaratan ini)
Referensi
Wallace-Well, David. 2019. Bumi Yang Tak dapat Dihuni. Gramedia
Ambari. 2017. Retrieved Juni 28, 2020.. From mongabay.co.id: https://www.mongabay.co.id/2017/09/11/besarnya-potensi-karbon-biru-dari-pesisir-indonesia-tetapi-belum-ada-roadmap-blue-carbon-kenapa/
Anastasia, Citra. 2018. Perubahan Iklim Terus Terjadi, Bagaimana Nasib Ekosistem Laut?.
Retrieved Juni 28, 2020. From: https://nationalgeographic.grid.id /read/13460187/perubahan-iklim-terus-terjadi-bagaimana-nasib-ekosistem-laut
Brown, Sandra, 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer.
(FAO Forestry Paper - 134). FAO, Rome.
Conversation. 2020. Coronavirus has Slash CO2 Emission here’s how to keep them down.
thenextweb.com
FWI/GFW, 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia Hitchcock III, H.C. & J.P.
McDonnell, 1979. Biomass measurement: a synthesis of the literature. Proc. For. Inventory Workshop, SAFIUFRO. Ft. Collins, Colorado: 544-595.
FWI. 2009. INFOFWI: Perhitungan Karbon. Report. fwi.org
Joe Quirk & Patri Friedman. 2017. Seasteading. FreePress
Cleanomic. 2020. Apa itu Blue Carbon. Retrieved Juni 28, 2020. From
https://cleanomic.co.id/apa-itu-blue- carbon.
Suraji. 2016. Dampak Perubahan Iklim, Perlindungan Pesisir Belum Sistematis. Retrieved
Juni 28, 2020. From: https://surajis.wordpress.com/2016/04/02/copas-media-dampak-perubahan-iklimperlindungan-pesisir-belum-sistematis/
Zakiah, Nena. 2019. Seberapa Berbahaya Kenaikan Permukaan Air Laut? Ketahui 7
Faktanya Ini. Retrieved Juni 28, 2020. From: https://www.idntimes.com/science /discovery/nena-zakiah-1/bahaya-kenaikan-permukaan-air-laut/7
0 Komentar