'Melawan' Arus dengan Bahagia


Foto saat honey'mood' (1st anniversary nikah)
di Seavibes, Pelabuhan Ratu

"Cara hidupmu aneh, Nas",
"Hidup ngelawan arus kayak kamu, harus kuat."
"Orang idealis mah susah dapet kerjaan, lho."

Itulah ungkapan yang kerap kali aku terima dari teman-temanku saat mereka mengamati cara hidupku yang berbeda dari kebanyakan. Aku tidak pernah merasa marah atau tersinggung dengan label 'aneh' atau 'terlalu idealis' yang sering aku dapatkan dari lingkunganku. Namun, hal itu kadang menjadi distraksi dan membuatku sering mempertanyakan pada diriku sendiri, "Apakah cara hidupku dan nilai yang aku yakini ini salah?". 

Di lain sisi, aku juga tidak menutup mata dan telinga jika memang nilai dan pemikiranku yang memang tidak tepat dan perlu diperbaiki. Makanya aku pun dengan terbuka biasanya akan bertukar pikiran dengan pasangan, sahabat dan orang-orang terdekat mengenai setiap keyakinan dan idealisme yang aku pegang selama ini. Namun, sejauh ini, semakin aku melakukan brainstrorming dengan mereka, aku justru semakin meyakini dan secara tidak langsung diyakinkan dengan setiap nilai yang aku pegang. Aku merasakan kenyamanan dan kedamaian jiwa dalam menjalankan dan merawatnya. 

Lantas aku berpikir, jika menjalankan hidup yang sesuai nilai yang aku yakini ini disebut 'melawan arus' mengapa ini begitu menenangkan dan menyenangkan? Bukankah melawan itu perlu kerja keras dan kerap kali menyakitkan?

Foto lanskap
Seavibes, Pelabuhan Ratu 

Kepingan Jawaban Sebuah Keresahan

Beberapa waktu lalu, aku menonton sebuah video TED-x di Youtube yang membuatku menemukan kepingan jawaban atas pertanyaan di atas. Sebuah video yang berjudul, "Stop Trying Hard, Achieve More by Doing Less" yang disampaikan oleh psikolog asal New York yaitu Betahy Butzer.

Setiap kalimat yang beliau sampaikan membawaku pada sebuah perenungan. Alih-alih, menyampaikan bahwa kita harus bekerja keras untuk menggapai cita-cita sebagaimana doktrin yang selama ini kita dapatkan bahwa dunia ini keras, kita harus banting tulang untuk mengejarnya dan blablablaBeliau justru menyampaikan bahwa sebenarnya kita tidak perlu 'bekerja keras' atas setiap harapan dan mimpi yang kita rencanakan. Hidup akan terasa mudah justru ketika kita membiarkannya mengalir sebagaimana perahu mengikuti arus.  Hal ini berbeda ketika kita berlayar melawan arus yang membutuhkan banyak energi dan tentunya perlu kerja keras. Kita bisa menggapai mimpi dan cita-cita dengan mengikuti arus yang sesuai dengan nilai hidup dan panggilan jiwa kita sebenarnya. Hal tersebut juga mengingatkanku pada seorang praktisi hidup berkelanjutan yaitu Jon Jandai dengan slogan hidup yang selalu dia gaungkan yaitu Life is Easy, dengan cara hidupnya yang sederhana dan membumi. 

Kalau begitu, pertanyaannya sebenarnya arus apa yang perlu kita lalui? Jangan-jangan selama ini kita menganggap diri ini mengikuti arus yang sebenarnya bukan arus yang seharusnya kita lalui. Buktinya kerap kali meskipun sudah mengikuti arus hidup kita masih terasa berat. Kalo mengikuti arus seharusnya lebih mudah dilalui, dong.

Dengan menjalani hidupku yang sekarang, segala nilai yang aku yakini, justru aku merasa sedang tidak melawan arus, sebaliknya, aku sedang mengalirkan hidupku mengikuti arus yang sesuai dengan peruntukannya dan seharusnya. Artinya, kalau begitu sebenarnya 'arus' yang dimaksud ini adalah urusan personal setiap manusia. Arus yang seyogianya membawa kita pada proses yang kehidupan yang bisa dengan mudah dan membahagiakan saat melaluinya. Bukan arus yang dibuat oleh standar-standar kehidupan dunia yang jelas-jelas tidak selalu merepresentasikan setiap masing-masing diri kita yang memiliki potensi dan keunikan yang berbeda-beda. 

Menemukan Peran dalam Kehidupan untuk Mengikuti Arus  

Mengikuti arus artinya kita perlu menemukan aliran yang tepat dan sesuai untuk kita ikuti. Hal ini sebenarnya membuat kita beretrospeksi kembali, sebenarnya apa tujuan hidup kita dan esensi hidup yang kita yakini untuk menjalani kehidupan ini? Karena dengan kembali pada fitrah atau kodrat penciptaannya, kita akan bisa berproses menemukan 'arus' kita masing-masing sesuai dengan peran-peran yang sudah dianugerahkan pada setiap diri. 

Sebagai muslim, aku meyakini bahwa semua manusia diciptakan untuk beribadah dan mengabdi kepada Sang Pencipta sebagaimana perjanjian agung kita kepada Allah saat ruh ditipukan di usia empat bulan di dalam kandungan. Hal ini termaktub dalam Q.S. Al-Araf  ayat 172, yang memiliki terjemahan: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan Kami), kami bersaksi." (Kami melakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, "Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini."

Ayat tersebut tak pernah berhenti membuat hatiku bergetar, bulu kudukku berdiri serempak. Berdasarkan tafsir Ibnu Katsir, melalui ayat tersebut Allah SWT., menegaskan kepada setiap manusia bahwa ketika masih berada di alam rahim, Dia telah mengikat dalam sebuah persaksian bahwa Allah adalah Tuhan manusia. Hal ini dimaksud agar kelak tidak ada alasan bagi manusia untuk lalai darinya. Melalui persaksian agung ini kita secara tidak langsung memiliki keterikatan secara jiwa, raga dan ruh yang akan cenderung pada penghambaan kepada Sang Pencipta. 

Hal ini juga sebagaimana  dijelaskan dengan gamblang dalam Tafsir Al-Misbah dari Prof. Quraish Shihab, bahwa untuk menguatkan persaksian agung itu, Allah memberikan manusia bukti-bukti ketuhanan melalui alam raya cipataan-Nya, sehingga secara fitrah akal dan hati nurani akan bisa mengetahui dan mengakui kemahaesaan Tuhan. Dengan demikian, pengetahuan manusia dengan melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya menjadi suatu bentuk penegasan dan dalam waktu yang sama, pengakuan keesaaan Allah. 

Sehingga, pada hakikatnya, jika kita semua mengingat perjanjian yang pernah kita ikrarkan dan sepakati dengan Allah ketika berada di alam rahim, sebagaimana disebut oleh ayat di atas, maka perjalanan hidup kita akan senantiasa berada di jalan dan arus yang benar dan sesuai dengan yang sudah Allah tetapkan untuk kita. Maka, seyogianya menemukan arus kehidupan yang sesuai dengan kecenderungan raga, jiwa dan ruh kita tentunya dengan kembali pada fitrah kita sesuai dengan perjanjian tauhid kita kepada Allah. 

Mengikuti arus yang sesuai dengan fitrah kehidupan yang telah kita pilih sejak di alam ruh, tentunya akan membuat kita lebih ringan dalam menjalani kehidupan. Karena Allah sudah menyiapkan potensi kita sesuai dengan setting-annya. Namun, meski kita memiliki kecenderungan fitrah yang sama, Allah menitipkan potensi yang berbeda-beda pada setiap diri manusia. Hal ini dimaksud karena masing-masing kita diberi misi dan tugas berbeda untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. 

Misi manusia untuk menjalani kehidupan sesuai dengan fitrahnya di bumi ini terdapat dalam Q.S. Al-Baqarah: 30, yang memiliki arti: "Dan (ingatlah), ketika Tuhamu berfirman kepada para malaikat, "Aku hendak menjadikan khalifah di bumi". Mereka bertanya, "Apakah Engkau akan menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?" Dia berfirman, "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."

Foto pemilik villa yang menjalankan hidup slow living
di Seavibes, Pelabuhan Ratu 

Kalo gitu, Hidup Selaras Fitrah itu Bukan Melawan Arus

Oleh karenanya, hematku, seyogianya arus yang perlu kita lalui adalah arus yang mengarah pada kembalinya kita memahami fitrah kehidupan ; beribadah dan menjadi khalifah. Perjalanan dalam menemukan dan menjalani peran sesuai fitrah yang telah Dia anugerahkan kepada kita akan membuat segala prosesnya menjadi dapat dijalani dengan bahagia, fulfill, serta menghadirkan ketenangan batin. Karena bagaimanapun kita sedang menjalankan hidup sesuai dengan panggilan jiwa kita. 

Dalam menjalani peran kita di bumi-Nya ini, Allah memfasilitasinya melalui bumi dengan segala sumber daya yang Maha Kaya. Hal ini difirmankan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 22, yang artinya: "(Dialah) yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dialah yang menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia hasilkan dengan (hujan) itu buah-buahan sebagai rezeki untukmu. Karena itu jangan kamu mengadakan tandingan-tandingan bagi Allah, padahal kamu mengetahui."

Sumber daya di bumi-Nya ini sebagai bentuk dukungan eksternal yang Allah titipkan untuk men-support setiap ibadah dan perannya manusia di bumi. Selain faktor eksternal, sebagaimana disinggung sebelumnya, Allah juga menganugerahkan potensi yang berbeda-beda dan keunikan berbeda pada setiap masing-masing manusia. Jangankan manusia, hewan saja Allah beri potensi dan keterampilan. Sebagaimana ikan yang terampil berenang, kelinci yang terampil meloncat, cheetah yang memiliki kemampuan berlari dengan sangat cepat.  Mereka berbeda-beda dan tidak bisa dipaksakan untuk menjalani kemampuan yang bukan sesuai dengan potensinya, sebagaimana cheetah meskipun dapat berlari kencang ia tidak akan memiliki kemampuan berenang sehebat ikan.

Begitu pula manusia yang memiliki potensi dan keunikan yang berbeda. Meskipun tentu manusia diberikan kehendak dan kebebasan untuk mempelajari apapun yang ada di bumi-Nya. Namun, jika berbeda dengan potensinya maka disitulah kita harus bekerja keras dan mengeluarkan energi maksimal, sebagaimana ikan dipaksa untuk berlari (bahkan mungkin hampir sulit ada di realitanya). Lalu,  apakah benar kita sedang melawan arus jika kita sebenarnya sedang kembali pada fitrah kita untuk mengoptimalisasi potensi yang kita miliki? 

Oleh karenanya, kita perlu menemukan potensi yang terdapat dalam diri yang sudah Allah setting agar menemukan peran dalam kehidupan (khalifah) yang tentunya tugasnya berbeda antar setiap manusia. Hal itu yang akan membuat kita tidak terlena untuk terus bekerja keras hingga mengorbankan kehidupan kita. Karena seharusnya jika kita berlaku sesuai dengan autentikasi kita sebenernya apapun yang sedang kita jalani harusnya tidak lantas membuat kita menderita dan harus bekerja 'keras', semua akan dijalani dengan bahagia dan ikhlas seberat apapun jalan yang ditempuhnya. 

Jangan-jangan sebenarnya yang selama ini kita yakini mengikuti arus, sebenarnya hanyalah mengikuti arus yang dibuat oleh standar dan tuntutan dunia yang malah melawan arus hidup kita sendiri. Bahkan kerap kali tidak sesuai dengan prinsip dan nilai hidup yang kita pupuk sejak kecil. Bagaimana kita bisa menjalaninya dengan bahagia apabila apa yang kita lakukan tidak selaras dengan perasaan dan pemikiran kita? Bagaimana semesta-Nya dengan 'law of attraction' nya akan memihak pada pikiran kita yang tidak sinkron dengan jalan yang kita pilih. Karena ketika kita sudah menemukan innerwork atau suatu aktivitas yang sesuai dengan panggilan jiwa, artinya kita sudah bisa menemukan peran kita dalam kehidupan dan menjalani tugas sebagaimana yang telah Allah gariskan kepada kita untuk menjadi khalifah dan berupaya menjalankannya dengan sebaik-baiknya. 

Maka, penting untuk mempertanyakan kembali apa value hidup yang kita yakini? apa potensi yang kita miliki? dan apa yang sebenarnya membuat kita merasa bahagia dan fulfill saat menjalaninya? Yuk bareng-bareng melamun dan merenung! hihi

Wallahu'alam Bishawwab.

Sumber Referensi:

Al-quranul Kariim

Junaedi, Dedi. 2021. Surat Al-Araf Ayat 172: Perjanjian Manusia dengan Tuhan. Website: tafsiralquran.id. 

Posting Komentar

0 Komentar