“Tanpa disadari selama ini pikiran itu semakin mengasingkanku. Membuatku tidak bisa mengenali diriku seutuhnya. Menumbuhkan rasa apatis hingga tak mampu mendengarkan perasaan sendiri. Namun terus berkecamuk dengan rasa yang tak terdefinisi dan pikiran yang tak terkendali.”

tna

Kisah ini adalah sebuah penggalan retrospeksi menemukan alasan dari perjalanan yang telah ditetapkan oleh Sang Maha Pembuat Skenario. Pilihan-Nya kadang memang tidak selalu memuaskan hati, pada awalnya. Saat ketentuan-Nya bukanlah hal yang diperjuangkan selama ini rasanya menyakitkan, bukan perkara mudah untuk dilepaskan. Wajarlah merasa kecewa dan terpukul. Namun, saat itu aku hanya ‘ingin’ berpikir positif. Berusaha melawan perasaan kecewa, mengubur kesedihan dan membungkam kemarahan. Bagaikan menutup tumpukan jarum dengan selembar karpet. Hingga suatu saat menyadari rasanya ku tidak merasakan buah dari pikiran positifku ini. Pikiran positif itu ternyata bagai bom waktu yang menghantam kehidupanku lebih keras. Sempat ku berpikir mengapa berpikir positif bisa sangat berakhir kekecewaan, padahal aku rasanya tidak sama sekali menaruh harapan. Tapi saat ku evaluasi ternyata diantara pikiran itu terselip berbagai kondisi ideal yang ku ekspektasikan tanpa disadari. Maka pada setiap realita yang tak kuharapkan menjadikan aku cenderung menyalahkan diri sendiri atau mengutuk keadaan. Parahnya, keadaan yang tidak seideal dibenakku, membuatku kehilangan rasa empati. Bertumbuh dengan menanam rasa apatis dalam hati. Menjadi tawar rasanya. Berkomunikasi hanya untuk sebuah basa-basi. Mengejar prestasi dan meningkatkan kualitas diri hanya untuk kepuasan diri. Terlihat cuek dan masa bodo dengan setiap kondisi, tapi terlarut dengan pemikiran yang tidak bisa terdefinisi. Masa lalu? Itu bisa diobati dengan mendengarkan curahan hati orang lain dan meyakinkan diri bahwa orang memiliki masalah yang lebih berat. Masalahmu tidak ada apa-apanya. Haha fake sekali ternyata.

Hingga pada suatu titik ku tersadar bahwa cara berpikirku ini tidak sehat. Mencoba berpikir positif tapi ternyata membohongi diri sendiri. Hanya membenturkan hati dan pikiran, nyatanya. Jarum-jarum yang kututup karpet itu perlahan merusak dan menyakiti diri sendiri. Ternyata itu sebuah Toxic Positivity, keadaan menjaga pikiran dan sikap untuk tetap positif dengan menolak hal yang memicu emosi negatif. Tanpa sadar kutanam dan kusiram setiap hari. Ternyata saat kutuai, perasaan itu lebih menjatuhkanku ke lubang yang lebih dalam. Membuatku tidak mengenal diriku sendiri dan tidak peduli dengan perasaanku. Memaksaku menutup lembaran hitam di masa lalu. Sampai membawaku pada kondisi mental yang tak terkendali.

Kini adalah sebuah titik balik, di mana aku mulai ingin mengenal diriku seutuhnya. Menerima setiap perasaan dan menghargai setiap pikiran yang muncul. Lucunya ku baru sadar, kenapa ya selama ini banyak orang yang bercerita dan meminta pendapatku akan masalah mereka? Padahal mereka tak tau bahwa diriku saja belum bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Kini aku tidak percaya solusi masalah ku itu akan bisa diselesaikan dengan mendengar masalah orang lain dan meyakini “masalahku tidak ada apaa-apanya”. Bagaimana bisa aku mendengarkan masalah orang lain dengan penuh simpati jika aku saja masih belum bisa respect dengan perasaanku sendiri. Bagaimana memberikan solusi terbaik jika pada diriku saja aku tidak peduli. Tidak akan ada empati yang sebenarnya jika masih belum bisa mencintai diri  sepenuhnya.

Bukan salah sih berpikir positif. Tetapi percuma memaksakan diri untuk selalu ada dalam positive vibes, tanpa menyempurnakan penerimaan dari apa yang terjadi. Alih-alih menolak perasaan sedih, marah, kecewa, ambivalen. Hanya mengganggap itu adalah emosi negatif yang harus dihilangkan. Dulu aku juga berpikir seperti itu, padahal kini ku sadari bahwa emosi itu selalu netral, tergantung kita akan membawanya seperti apa. Ditambah dengan stigma yang menganggap bahwa mengungkapkan perasaan itu hanya baper, cengeng atau lemah. Nyatanya kita memang lemah, bukan? Nyatanya dulu aku adalah seorang yang so’ kuat dengan mengganggap seakan-akan perasaan itu tiada, sombong sekali diriku yang tidak mengakui Dzat Yang Maha Kuat dan Menguatkan.

Benar bukan menerima diri sendiri itu sulit? Tapi aku bersyukur minimal ada ‘kemauan’ untuk mulai belajar mencintai diri sendiri, dibanding dahulu yang menyakiti dengan tidak mengenali diri seutuhnya. Mencoba menerima setiap perasaan yang ku rasa setiap detiknya. Apapun perasaannya. Karena memang seyogianya setiap orang pasti memiliki perasaan yang tak menentu. Lalu bagaimana dengan orang yang selalu terlihat bahagia? Ya bisa saja seperti aku yang dulu yang pandai menyembunyikan kepalsuan, jarum dibalik karpet. Atau memang dia sudah mencintai dirinya seutuhnya dan sudah pandai mengendalikan perasaannya. Tapi nyatanya, lagi-lagi setiap orang tidak akan selalu bahagia, pun sebaliknya. Bahkan awan mendung pun tidak bisa dihindari bukan? BMKG bukan pengendali cuaca yang bisa menghentikan hujan turun, tetapi hanya bisa memperingati untuk selalu berhati-hati dan mengingatkan untuk membawa jas hujan sebagai tindakan preventif. Begitu pula emosi, tidak bisa dihindari tetapi kita bisa mempelajari dan menyiapkan cara menghadapinya untuk dapat mengendalikannya. Ya, karena emosi itu netral.

Perjalanan ini akan terus berlanjut, mencintai diri adalah pembelajaran seumur hidup. Kini ada value lain yang kupegang untuk terus bertahan; mindfulness.

Cerita ini berlanjut, tentang bertahan dengan hidup lebih berkesadaran…..

Sukabumi July, 7th 2020

nanas