Selama ini, etika berpakaian diartikan dengan bagaimana kita menggunakannya berdasarkan prinsip dan norma yang disepakati di masyarakat dan agama. Hingga memang benar, jika banyak yang agamis dan humanis, tapi tak jarang yang egosentris. Lupa peran alam dan bahkan tidak beretika pada lingkungan. Lantas, apakah kita sudah benar-benar ‘beretika’ dalam berpakaian?
tna
Mendengar istilah etika, mungkin erat kaitannya dengan bagaimana kita berperilaku dengan baik berdasarkan aturan dan norma tertentu. Etika menurut KBBI adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral. Penggunaan istilah moral ini juga kini dikonotasikan sebagai motif atau dorongan yang mempengaruhi perilaku seseorang, salah satunya etika dalam berpakaian. Setiap orang memiliki cara yang berbeda dalam berpakaian, hal tersebut tentu dipengaruhi oleh prinsip atau norma yang dipegang serta pengaruh lingkungannya. Misalnya berpakaian dalam agama islam yang dijelaskan sebagai aurat atau berkaitan dengan etika yang berlaku dan disepakati di masyarakat tertentu.
Hingga saat ini masih ada sekelompok orang yang memperdebatkan bagaimana etika berpakaian yang berdasarkan agama, misalnya. Hal ini karena memiliki representasi yang berbeda dalam memaknai kitab suci. Selain itu, ada yang tidak mentoleransi suatu mode atau cara berpakaian kelompok tertentu yang dianggap bersebarangan dengan norma di masyarakat. Sadar atau tidak, kita hanya terfokus pada hal-hal yang berhubungan dengan sosial dan ketuhanan. Nilai tersebut yang jelas-jelas memiliki segmentasi dan sensitivitas yang cukup tinggi. Namun, ada nilai yang sering dilupakan yaitu nilai ‘kealaman’ atau nilai lingkungan yang padahal semua manusia memiliki persepsi sama dan merupakan bagian dari itu, hidup di bumi tercinta. Hingga memang banyak orang yang agamis dan humanis,namun tidak jarang yang egosentris. Hal ini karena selama ini kita menganggap alam bukan bagian dari diri kita, sehingga nilai alam ini sering bukan menjadi prioritas dalam kita mengambil keputusan. Oleh karena itu, dalam tulisan ini saya tidak akan menjelaskan etika berpakaian dalam konteks norma di masyarakat atau agama. Tetapi yang perlu di-highlight adalah arti ‘etika’, di mana ini berkaitan dengan nilai yang baik dan buruk. Tulisan ini juga mungkin akan menjadi sebuah refleksi bagaimana kita sering melupakan etika pada alam. Pada tulisan ini, saya akan sedikit berefleksi tentang etika kita berpakaian selama ini dari perspektif lingkungan.
Semakin hari mode atau fesyen semakin berkembang, salah satunya industri fast fashion atau fesyen cepat. Berdasarkan laman zerowaste.di fast fashion adalah industri tekstil yang dibuat dengan proses cepat dan menggunakan bahan baku yang murah. Sehingga dapat mudah didapatkan oleh semua kalangan, namun produknya tidak bertahan lama (mudah rusak). Tidak dapat dipungkiri bahwa kita membutuhkan pakaian tersebut, apalagi dengan harga yang terjangkau. Namun secara tidak sadar industri tersebut seringnya mengubah mindset dan membutakan cara bagaimana kita ‘berpakaian’.
1.Pola Pikir Konsumerisme
Kini memang semakin marak fesyen yang dapat dengan mudah kita dapatkan dengan harga terjangkau. Hal itu menumbuhkan pola pikir konsumerisme atau shopaholic karena dengan mudah mendapatkannya kita akan berpikir “Gapapa beli aja murah ini, kalo gak suka atau rusak tinggal beli lagi yang baru” “Mumpung diskon murah beli aja, daripada nyesel”. Hal ini tertanam secara terus menerus membentuk suatu pola kebiasaan. Selain itu, pola pikir seperti itu akan membuat kita cenderung menyepelekan atau tidak ada sebuah ‘emosi kecintaan’ dari apa yang kita miliki. Tentu dengan seperti itu kita menjadi kurang memaknainya dan lupa akan kebersyukuran.
2. Dampak Lingkungan
Seperti yang sebelumnya diulas, bahwa kita sering terfokus pada hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan dan kemanusiaan, namun tidak menjadikan alam sebagai bagian dari diri kita. Hal itu dapat direpresentasi dari bagaimana kita beretika dalam berpakaian. Yuk berefleksii!
a. Beli fast fashion
Fesyen cepat ini karena harganya terjangkau maka bahan baku yang digunakan berkualitas rendah. Kalo berkualitas rendah tidak awet digunakan, seringnya pewarna yang digunakan menggunakan pewarna tekstil yang mencemari perairan, belum lagi proses produksi yang menghasilkan emisi buangan dari mesin, tentu juga energi yang digunakan dalam proses produksi dan distribusi serta belum lagi pembangunan industi tekstil yang semakin masif menyebabkan terjadinya konversi lahan yang mempertaruhkan habitat hewan dan tumbuhan.
b. Saat kita menggunakannya
Setelah membeli pakaian yang secara tidak langsung kita berkontribusi terhadap pencemaran lingkungan. Kita berefleksi lagi dari ketika kita menggunakan. Pakaian tentu akan secara rutin kita gunakan selama kita masih ‘nyaman’ menggunakannya. Lalu saat dicuci bagaimana? Bukankah kita menggunakan sabun cuci yang tidak ramah lingkungan? Belum lagi bahan fesyen lambat ini banyaknya berasal polyester yang berbahan baku fosil. Hal ini menyebabkan saat kita mencuci akan me-release mikroplastik yang membahayakan bagi lingkungan terutama biota air yang akan terjadi bioakumulasi dalam tubuhnya.
c. Kalo udah gak nyaman, beli lagi!
Nah, seperti yang telah dijelaskan di atas,bahwa fesyen cepat ini mengubah pola konsumsi kita. Dengan mudahnya kita melepaskan pakaian saat kita sudah tidak nyaman menggunakannya atau ketika memang baju tersebut sudah rusak. Efeknya bagi lingkungan ya tentu saja besar. Jika dalam proses produksinya saja sudah menghasilkan limbah yang sebegitu kompleks, apalagi saat pakaian kita sudah menjadi limbah. Akumulasi limbah tekstil, mikroplastik, dan jenis polutan lain akan mencemari lingkungan.
3. Jadi harus beralih ke Slow Fashion? Mahal, tau!
Slow-slow, gak gitu juga! Ya, memang benar slow fashion itu mahal investasinya di awal. Namun, ketika kita membeli dengan harga yang mahal bagi kita, hal itu akan membuat kita semakin menyimpan dan merawatnya dengan baik. Hal ini juga membuat kita akan berpikir beberapa kali untuk membeli yang baru. Bukan berarti juga kita harus beralih ke slow fashion, gileee aja kan mahal, sis! Pelan-pelan aja. Yang terpenting adalah kita ‘menyadari’ bahwa pakaian yang kita gunakan memiliki dampak apa saja sih untuk hidup kita dan lingkungan kita. Dengan dampak lingkungan yang sekompleks itu diharapkan membuat kita juga tidak ‘didikte’ oleh trend fashion. Sehingga kita lebih aware dan beretika pada alam untuk memperpanjang daur hidupnya, caranya dengan menggunakannya dengan bijak, mendonasikannya saat sudah tidak digunakan dan melakukan upcycle saat sudah tidak layak digunkanan serta masih banyak lagi yang bisa dilakukan agar sebisa mungkin pakaian kita tidak cepat ‘menjadi’ limbah. Jadi, etika berpakaian itu tidak hanya tentang bagaimana berperilaku baik menurut Tuhan dan manusia tetapi pada alam.
0 Komentar