(Refleksi Ketahanan Pangan Kampung Adat Kasepuhan Sinarresmi Kab. Sukabumi)
Lagi-lagi bahas beretika dan berkesadaran. Yap, karena kadang memang kita sering mengagungkan bagaimana beretika pada manusia dan Tuhan tapi melupakan ‘etika’ pada alam. Kini saatnya kembali berefleksi.
Nilai Sebuah Perjalanan
Tulisan ini dilatar belakangi dari sebuah perjalanan menuju kampung adat Kasepuhan Sinarresmi Kab. Sukabumi. Ada banyak nilai yang didapat saat belajar tentang kearifan lokal dan nilai tradisi yang dipegang teguh oleh masyarakat di sana, salah satunya tentang ketahanan pangan.
Tantangan Zero Hunger Global
Ketahanan pangan menjadi salah satu isu yang kini menjadi konsen global. Hal ini karena berdasarkan un.org, pada tahun 2017 terdapat 821 juta orang yang kekurangan gizi dan mayoritas penduduk yang kelaparan tinggal di negara berkembang dengan 12,9 persen popuasinya kekurangan gizi. Untuk menangani permasalahan tersebut, dunia meresponnya dengan kesepakatan aksi global dalam bentuk program Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) yang berisi 17 point tujuan dan 169 indikator yang ditargetkan dapat dicapai di tahun 2030. Salah satu dari 17 point itu adalah zero hunger pada point nomor 2 yang bertujuan untuk mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan, meningkatkan gizi masyarakat dan mendorong sektor pertanian yang berkelanjutan.
Nilai Tradisi Sinarresmi
Kasepuhan Sinarresmi adalah kelompok masyarakat adat sunda yang termasuk dalam salah satu kasepuhan Banten Kidul yang tinggal disekitar Gunung Halimun di kawasan Geopark Ciletuh Kab. Sukabumi. Nilai adat dan prinsip tradisi yang diwariskan secara turun menurun menjadi sebuah aspek yang mempertahankan peradaban dan menjadi aset kebudayaan. Nilai tradisi yang dianut tidak hanya berfokus pada sektor sosial dan ketuhanan, namun aspek budaya yang memperhatikan nilai lingkungan. Nilai tersebut direpresentasikan dari ketiga prinsip yang dipegang teguh yaitu Sara, Nagara dan Mokaha dengan terus diperhatikan dengan ketat oleh Kepala Adat di sana yakni, Abah Asep Nugraha dan dijaga bersama oleh masyarakat adat. Sara adalah prinsip yang memegang teguh syariat Tuhan. Nagara adalah bentuk ketaatan pada negara yang mengatur hubungan antar umat manusia. Mokaha adalah nilai yang mengatur hubungan mereka dengan alam. Sama halnya dengan prinsip habluminallah, habluminannas dan habluminal’alam tentunya –yang sering terlupakan-.
Etika Bertani berbasis Tradisi
Berkaitan dengan ketahanan pangan, Kasepuhan Sinarresmi ini memegang nilai tradisi dengan ‘beretika’ dalam sektor pertanian. Masyarakat di sini tidak menjadikan bertani sebagai mata pencaharian. Oleh karena itu, mereka tidak mengkomersialkan hasil panen padi yang mereka dapatkan. Menjual beras sama dengan menjual kehidupan, itulah prinsipnya. Bagi mereka, sektor pertanian bukan sekadar aktivitas menanam, merawat dan menuai padi. Namun tentang memaknai nilai tradisi dan leluhur yang membuat mereka bertahan. Sehingga, etika dalam bertani sangat mereka jaga.
Dalam bertani, mereka memegang beberapa prinsip, meraka hanya akan menanam padi setiap satu tahun sekali. Bukan tanpa alasan, mereka melakukannya karena mengikuti siklus alam. Selain itu, varietas padi yang ditanam adalah padi lokal yang kini terdapat 68 varietas padi. Menurut mereka, alam membutuhkan waktu untuk ‘mengembalikan’ dirinya setelah proses bertani selama enam bulan dan perlu ditanam dengan jenis padi yang sesuai dengan karakteristik lahannya. Ini artinya ada sebuah proses alam yang sangat mereka hargai yaitu self-purification, di mana alam bisa memulihkan dirinya sendiri pada waktu tertentu dan beretika dengan memahami apa yang alam butuhkan untuk menyeimbangkan ekosistem.
Selain itu, dalam memulai waktu bertanam mereka berpegang teguh pada kalender sunda atau perhitungan adat yang biasanya dipercayakan pada kepala adat. Perhitungan ini dilakukan dan secara ilmiah dibuktikan dapat menyesuaikan waktu tanam yang tepat untuk meminimalisasi adanya hama yang membludak. Karena pada proses bertani mereka tidak menggunakan pestisida kimia untuk tetap menjaga kualitas padi di sana. Untuk menghindari hama, biasanya mereka menanam tumbuhan lain seperti kunyit di sekitar sawah. Menurut mereka, hama itu jangan dibunuh, beri jatah makanan saja. Kalo dibunuh ekosistem akan terganggu. Lagi-lagi, nilai etika pada alam yang tak ternilai. Pemikiran yang mendasar dan sederhana namun sangat mendalam serta tentunya berkontribusi pada kelestarian lingkungan.
Etika dalam bertani yang dijaga membuahkan hasil yang membuat mereka tetap bertahan. Setiap musim panen mereka mengadakan upacara Seren Taun yaitu ritual sebagai bentuk rasa syukur kepada Tuhan YME atas rezeki dari hasil panen. Ini menunjukan bahwa begitu mereka sangat memaknai sebuah kenikmatan. Di mana, kita mungkin kadang sangat lupa untuk bersyukur ketika sedang makan hari ini, alih-alih fokus sambil scrolling social media. Ritual tersebut menunjukan pula bahwa mereka sangat menghargai alam yang diyakini adalah bagian dari hidup mereka.
Leuit, Representasi Kedaulatan Pangan Masyarakat Adat
Setelah pasca panen, padi yang dihasilkan disimpan dalam lumbung atau mereka menyebutnya leuit yang wajib dimiliki pula oleh seluruh masyarakat adat dalam menggapai keadilan dalam kebutuhan pangan. Termasuk juga leuit si jimat atau lumbung yang dimiliki kasepuhan untuk menyimpan persediaan padi. Padi yang dihasilkan memiliki kualitas tinggi yang setelah diuji dibuktikan bahwa beras memiliki kadar gula yang rendah dan tinggi kalori. Kerennya lagi, padi yang disimpan di leuit tersebut bisa awet hingga belasan bahkan puluhan tahun. Apalah kita yang kadang menyimpan beras enam bulan saja sudah dipenuhi kutu. Itulah mengapa kasepuhan Sinarresmi memiliki ketahanan pangan yang kuat dan masyarakat di sana meski hidup dalam kesederhanaan tidak pernah kelaparan. Tidak heran pernah mendapat penghargaan kedaulatan dan ketahanan pangan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2016.
Open Minded dengan Memegang Prinsip
Meski merupakan sebuah masyarakat adat, bukan berarti mereka primitif. Mereka tetap mengikuti dan menerima teknologi dengan baik. Kebutuhan listrik terpenuhi, beberapa sudah menggunakan kendaraan bermotor, sudah banyak yang menggunakan gadget bahkan ada wifi di rumah kasepuhan atau disebut imah gede. Mereka adalah masyarakat modern juga. Namun, prinsip yang dipegang adalah mereka tidak menerima segala bentuk teknologi di bidang pertanian. Untuk membajak sawah mereka tidak menggunakan traktor tetapi masih dengan tenaga kerbau. Mereka tidak menggunakan mesin untuk menggiling padi, tetapi masih menggunakan lesung atau lisung untuk menumbuk secara tradisional. Mereka tidak merasa sulit dan menikmati proses itu. Bahkan nilai tradisi yang dipegang dengan sebegitu prosesnya yang tidak instan menjadikan mereka lebih memaknai dan bersyukur dengan padi yang dimiliki. Mereka bukan tidak mau menerima teknologi, bukan? Tetapi mereka tau, mana yang harus dipilah untuk menjaga etika pada alam.
Nilai prinsip yang dipegang oleh masyarakat adat Sinarresmi ini menjadi sebuah refleksi bahwa menjaga etika pada alam dan lingkungan bisa membuat mereka bertahan dan menjadi strategi untuk menghindari kelangkaan pangan. Memang, di masyarakat modern kini mengkomersialkan padi adalah tuntutan ekonomi, namun seringnya tidak memperhatian aspek lain yang malah menyebabkan menurunkan produktivitas bahkan gagal panen di beberapa daerah. Namun yang perlu diteladani adalah sebuah mental mempertahankan kedaulatan dan ketahanan pangan dengan berkesadaran dalam beretika pada alam, sehingga produktivitas padi tetap dipertahankan. Ini menjadi sebuah bukti bahwa ketika kita berkesadaran dalam bertindak dan beretika dalam berperilaku akan berkontribusi dalam keberlanjutan kehidupan. Nilai tradisi dan kearifan lokal di Kasepuhan Sinarremsi adalah aset budaya yang dapat diadapatasi untuk mewujudkan Zero Hunger, point 2 SDGs. Di mana, tanpa kelaparan, memiliki ketahanan pangan, gizi masyarakat yang terjaga dan sektor pertanian yang berkelanjutan adalah respresentasi dari masyarakat adat Sinarresmi.
Cerita lain dari masyarakat adat Sinarresmi bisa juga dibaca di Sara, Nagara, Mokaha; Pola Pikir Terbuka, Prinsip Tetap Terjaga
0 Komentar