(Pelajaran Berharga dari Mejelis Muhasabah Ustadz Cinta)
Jatuh cinta adalah sebuah anugerah yang tak dapat dilawan. Namun, merawatnya adalah sebuah pilihan. Terkadang ini hanya perkara melepaskan. Agar tak tenggelam dalam jurang harapan. Berserah tuk menanam kenyamanan dalam keimanan.
ant
Sejujurnya hampir tidak pernah aku menulis hal-hal yang berakaitan dengan hubungan percintaan. Ntahlah, rasanya masih merasa belum pantas jika belum benar-benar merasakan hubungan yang sesuai dengan syariat-Nya. Tapi, lagi-lagi tulisan ini adalah sebuah retrospeksi atau sebuah kilas balik untuk membantuku mengingat pesan baik yang kudapatkan pada momen-momen yang tak akan pernah terulang. Tulisan ini berisi pesan yang kudapatkan setelah mengikuti kajian Majelis Muhasabah pada Minggu 20 September 2020 di Masjid Tijanul Anwar yang disampaikan oleh Ust. Baharsyah Almunir (Ustadz Cinta).
Yang Maha Membolak-Balikan Hati
Pada pembahasan kajian tersebut bertema “BUCIN”. Ustadz membukanya dengan sebuah kisah dari seorang tabi’in penghafal Al-quran dan mujahid yaitu Abdah bin Abdurrahim. Dalam penceritaan Imam Ibnu Katsir dijelaskan bahwa Abdah saat itu mengikuti perang di benteng Negara Romawi yang pada saat pengepungan beliau bertemu dengan seorang wanita nasrani yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Hal tersebut membuat seorang hafidz ini akhirnya memilih murtad sebagai prasyarat untuk meminang wanita tersebut. Cerita tersebut memberikan pelajaran bahwa hati kita begitu mudah terbolak-balik. Seorang hafidz saja bisa dengan secepat itu menjadi murtad. Oleh karena itu, Rasulullah mencontohkan bahwa meski beliau adalah ahli surga, namun tetap selalu menggantungan hidup kepada-Nya dan berdoa “Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu.” Hal itu membuatku memvalidasi sebuah nasihat, “Allah lebih mencintai orang-orang yang menangis pada malam hari karena mengingat dosa dan maksiat yang dia perbuat daripada orang yang merasa benar tidak pernah berbuat dosa.”
Menanam Harapan
Bucin atau budak cinta ini adalah sebuah istilah prokem yang dapat direpresentasikan oleh sebuah kalimat cinta itu buta. Menurut teori psikologi Sigmund Freud, bucin adalah seseorang yang menjalani sebuah proses mengidealisasi orang lain secara sadar maupun tidak. Hal ini yang membuat seorang yang sedang bucin rela berkorban seganap jiwa dan raganya untuk orang yang dia cintai. Bucin menjadikan seseorang menggantungkan kebahagiaannya kepada orang lain. Memang jika dilihat dari sisi psikolog, seseorang yang sedang jatuh cinta akan memproduksi hormon dopamin secara massif, sehingga akan membuatnya kecanduan. Namun perbuatan ini secara tidak langsung melukai psikologi orang yang merasakannya karena secara tidak langsung selalu mencari pembenaran atas apa yang diinginkan pasangannya, sehingga tidak sadar dan kurang jujur dengan apa yang dirasakan, dipikirkan dan dilakukan. Hal ini yang menjadikan sebuah cinta menjadi berlebihan. Ustadz menegaskan bahwa ketika kita merasakan cinta yang menggebu dan berlebihan itu merupakan ujian yang melahirkan sebuah harapan. Harapan yang tidak selalu berbuah keimanan jika tidak menggantungkan harapan kepada selain-Nya. Sebagaimana dalam nasihat Ali bin Abi Thalib bahwa. “Aku sudah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit adalah berharap kepada manusia”.
Terjebak Bucin
Terjebak dalam hubungan yang menjadikan kita bucin memang terkadang tidak kita sadari. Namun Ustadz menjelaskan bahwa hal tersebut dapat termanifestasi dari segala perbuatan yang kita lakukan dalam sehari-hari. Ustadz menjelaskan ada beberapa ciri-ciri orang yang terjebak bucin yaitu tidak bersiap-siap saat shalat tiba, tidak ‘menyempatkan’ memulai hari dengan membaca Al-quran, terlalu bergantung pada omongan orang lain, berambisi untuk mengejar cita-cita dunia, tertarik kepada kehidupan orang lain dan berusaha untuk selalu ingin dipandang. Memang bahasanya terlalu frontal yang akhirnya membuat kita tidak merasa termasuk pada circle itu, namun terkadang diksinya berbeda yang sebenarnya memiliki makna sama yang terselubung. Setelah Ustadz menjelaskan, rasanya hidupku pernah ada di fase itu, related sekali rasanya. Fase bucin memang memberikan kebahagiaan karena secara hormonal me-release dopamin yang meningkatkan kebahagiaan. Namun, seperti paradoks yang juga berpengaruh pada pembentukan kondisi mentalku yang tidak sehat. Tapi tak apa bagaimana pun saat itu aku menjalaninya dengan bahagia meski perlu menjalani luka namun kini memberikan banyak pelajaran berharga. Memaafkan diri dengan segala keputusan dan risiko yang mungkin dangkal dipikirkan dan tidak tau dibuat secara sadar atau tidak.
Cinta itu Anugerah
Jatuh cinta adalah fitrah setiap manusia. Cinta adalah anugerah yang tak dapat dilawan. Namun, merawatnya adalah sebuah pilihan. Sejatinya, ketika kita merasakannya, seyogianya akan membuat kita semakin menghamba pada Sang Pemilik Cinta. Menurut Buya Yahya, agar anugerah itu tidak mendatangkan syahwat kita perlu menentukan pilihan untuk merawat cinta itu atau tidak. Merawatnya tentu dengan beristikharah dan bertawakal untuk melepaskan harapan. Hal itu akan membuat kita lebih sadar dalam menentukan pilihan. Karena ketika sudah bucin, sulit bukan untuk menetralkan hati dan berpikir lebih logis? Oleh karena itu, terkadang ini hanya tentang perkara melepaskan agar tak tenggelam dalam jurang harapan. Berserah tuk menanam kenyamanan dalam keimanan.
Taaruf itu Logis?
Merawat cinta dengan melepaskan harapan itu adalah urusan hati. Dalam islam, untuk mewadahinya diberikan petunjuk untuk melakukan Taaruf. Sejujurnya, aku bukan orang yang pro taaruf. Bagiku taaruf itu tidak logis dan terlalu mengkhayal, awalnya. Ketika mendengar taaruf bahkan aku merepresentasikan dengan ‘bukan aku banget’. Ditambah pengalaman dan masa lalu sangat berkontribusi dalam menentukan pilihan-pilihan hidup yang ku putuskan saat ini. Apalagi ketika taaruf menjadi trend yang menjadi kedok untuk menghalalkan hubungan pacaran. Rasanya semakin muak saja mendengarnya.
Namun, kesinisanku selama bertahun-tahun pada istilah taaruf perlahan hilang saat aku mencoba membaca beberapa sumber dan mendengar kajian serta pengalaman kawan-kawanku yang melakukan taaruf. Jadi, selama ini aku itu close mindset, tidak mengenal istilah taaruf secara komprehensif tapi sudah dengan mudah men-judge untuk menutup hati dan pikiranku sendiri.
Bercerita tentang taaruf. Menurut Ustadz ada beberapa orang yang ‘gagal’ dari pernikahannya karena taaruf sebenarnya bukan taarufnya yang salah, namun taarufnya saja yang belum matang. Beberapa kawanku pernah bercerita mengenai taaruf yang mereka jalani. Taaruf itu kan sebuah pengenalan. Temanku berkata, ya perlu mengenal secara utuh. Mengenai kelebihan, kekurangan, karakter, kebiasaan, pekerjaan, gaji, hingga orietasi hidup ke depan. Untuk mengkonfirmasi kebenarannya bisa dilakukan obrolan secara langsung dengan mahramnya wanita, misalnya kakak laki-laki wanita ‘mewawancara’ calon pasangan lelakinya, katanya. Sembari menghadirkan peran keluarga dalam prosesnya, laki-laki dan perempuan yang sedang menjalani taaruf diperbolehkan menghubungi teman calon pasangannya masing-masing untuk mengkonfirmasi informasi pasangan taaruf masing-masing. Dari sini akhirnya ku tahu bahwa taaruf tidak sesimple yang aku pikirkan sebelumnya. Bahkan menghadirkan peran keluarga dan orang-orang terdekat.
Bagiku, Berdamai untuk Memilih Pasangan
Bagiku yang tidak terlalu muslimah banget hehehe, aku tidak begitu menargetkan ingin menjalin hubungan pernikahan dengan taaruf sebelumnya. Cukup berat juga sih sepertinya tapi ntahlah. Namun jalan hidup yang kini ku pilih bukan tanpa alasan. Pelajaran berharga selama fase bucinku dahulu mengajarkan ku untuk lebih mengenal diri sebelum aku benar-benar memilih pasangan. Karena bagaimana bisa kita menerima kehidupan orang lain jika kita belum benar-benar tahu diri kita seutuhnya. Akan sulit untuk memperlakukan pasangan saat kita sulit untuk mendefinisikan perasaan dan perbuatan kita sendiri. Saat belum berdamai, terkadang ada beberapa sikap yang tanpa kita sadari muncul atau inner child. Bahkan, menurutku mengapa banyak orang yang taarufnya belum matang, mungkin saja karena mereka ada yang ‘keliru’ menyampaikan informasi. Bukan karena berbohong tapi karena belum mengenal diri seutuhnya. Oleh karena itu, dalam memilih pasangan ntahlah caranya seperti apa, pacaran atau taaruf, yang terpenting adalah kita sudah berdamai dengan diri sendiri dengan jujur. Dengan mengenal diri, kita akan mengetahui cara yang paling baik untuk memperlakukan pasangan kita nantinya. Sembari mengenal diri, kita perlu terus belajar ilmunya untuk memantaskan diri. Kata temanku, kapanpun menikahnya, mempersiapkan dari sekarang itu perlu. Mempelajari ilmu pernikahan dan parenting adalah keharusan sebelum memutuskan untuk menikah. Karena ‘kesiapan’ tak akan muncul sekonyong-konyong, itu muncul dari hati dan pikiran yang sudah ‘berisi’. Dalam memilih pasangan yang kuyakini sekarang adalah harus ‘netral’. Karena saat hati kita sudah tenggelam dan bucin pada pasangan, kita akan cenderung mencari pembenaran bahkan saat bertanya pada orang terdekat dia, akan sulit untuk berpikir logis di fase itu. Bahkan saat istikharah secara mandiri pun, ketika kita sudah bucin terlebih dahulu sebelum memilih yaaaaa jelas-jelas jawabannya akan dia. Padahal, belum tentu dia adalah yang terbaik menurut-Nya. Kini bagiku, jatuh cinta adalah tentang memilih untuk merawat dengan melepaskan. Melepaskan pada skenario terbaik-Nya dengan kepasrahan dan menerimanya dengan penuh kesadaran.
Tulisan ini hanya sebatas perspektif yang subjektif, aku rangkum dari pengalaman masa laluku, cerita kawan-kawanku dan ceramah Ustadz Cinta. Hal ini untuk menjadi reminder bahwa aku pernah menjalani sebuah momen dan menerima pesan baik dari mereka, ya inilah ruang retrospeksi.
0 Komentar