(Pesan Sarat Makna dari Seorang Petani di Gunung Guruh)
Esensi sebuah ilmu adalah bukan tentang seberapa besar ilmu yang kita miliki, namun saat memilikinya membuat kita semakin meyakini kebesaran-Nya dan keberkahannya menjadikan hati tergerak untuk menebar kebermanfaatan pada makhluk-Nya dan mencintai bumi, rumah tempat kita menghamba.
ant
Pendidikan semakin tinggi memang membuat kita semakin kritis
Tapi tak jarang memunculkan rasa apatis
Terkadang kita menganggap pemikiran ‘mereka’ terlalu sederhana
Tapi justru itulah yang membuat hidup lebih bermakna dan bersahaja
Sepenggal persepsi yang merepresentasikan sebuah ekspresi dari seorang petani di Gunung Guruh, Mang Burhan namanya, akrab disapa Mang Bubun. Berawal dari sebuah obrolan singkat mengenai perkebunan. Dengan rasa penasaran ku bertanya pada Mang Bubun yang saat itu dengan telaten sedang menggemburkan lahan menggunakan cangkul. Hanya bertanya mengapa, namun ternyata Mang Bubun dengan air muka penuh keikhlasan menjelaskan secara detail. Tak hanya sebatas itu, belakangan ku tahu bahwa Mang Bubun ini sangat ramah dan terbuka saat diajak mengobrol untuk berdiskusi meski sedang sibuk dengan pekerjaannya. Bahasanya yang renyah dan sarat pembelajaran, membuatku tak ingin beranjak.
Sebuah Filosofi dari Pandemi
Musibah covid-19 berdampak pada berbagai aspek, tidak terkecuali pertanian. Meskipun pertanian dianggap sebagai sektor yang paling stabil secara nasional namun sama saja bagi para petani yang mandiri. Mengandalkan pendapatan dari daya beli masyarakat lokal seperti rumah makan yang tiba-tiba ditutup saat pandemi. Begitu pula transportasi ke luar kota menjadi terhambat sehingga pendapatan tidak pasti. Begitulah Mang Bubun menjelaskan.
“Terang teu Neng, kunaon urang kudu nganggo masker jeung nyuci tangan rutin? (tau gak Neng, kenapa kita harus menggunakan masker dan cuci tangan secara rutin?)
Saat beliau tanya, dalam pikirku ya berkaitan dengan protokol kesehatan agar tidak terjadi penyebaran virus. Pemaknaan yang dangkal. Mang Bubun menjelaskan bahwa ada filosofi yang bisa didapatkan. Kita hidup di zaman akses komunikasi terlalu ‘liar’,berita hoax dengan mudah menyebar, ujaran kebencian merajalela, kebohongan publik di bawah kendali pejabat negeri sudah bukan lagi rahasia, terlalu banyak memakan yang bukan haknya dan bahkan sudah tak peduli makanan halal atau tidak. Miris bukan? Itulah mengapa kita perlu menggunakan masker, maksudnya kita perlu membatasi apa yang keluar dan masuk pada mulut kita. Menjaga hati dan lisan untuk mengerem perbuatan yang dapat merusak tatanan masyarakat bahkan lingkungan, katanya.
Mencuci tangan dengan rutin. Mang Bubun menjelaskan betapa kini kita terlalu terlena. Tangan kita mungkin pernah menyakiti orang lain, mengambil barang tanpa permisi, menggunakannya untuk perbuatan maksiat. Oleh karena itu, kita perlu mencucinya dengan rutin. Menyadari apa yang telah dilakukan dengan tangan kita dan membersikannya dengan beranjak pada kegiatan-kegiatan yang membawa kebermanfaatan.
Esensi sebuah Ilmu
Filosofi pandemi yang dimaknai secara mendalam oleh Mang Bubun menggambarkan sebuah kondisi ironi pada bumi ini. Nyatanya begitu bukan? Bahkan saat pandemi bumi diberi waktu luang untuk memulihkan diri, hubungan keluarga semakin akrab karena tak terpaut jarak lagi, bahkan kita diberi waktu jeda dari pekerjaan kita tuk menghubungi kerabat jauh yang sudah lama tak berjumpa.
Permasalahan yang terjadi di bumi ini, terutama di negeri ini Mang Bubun menjelaskan salah satunya berakar dari aspek ‘pemaknaan sebuah Ilmu’. Ilmu yang didapatkan dari bangku sekolah hingga perkuliahan terkadang tidak bisa kita maknai secara tepat. Tidak jarang bukan yang mengejar kuliah karena gengsi? Atau ada pula yang terlalu ambisi hingga lupa dari mana dia berasal. Hal itu membuat kebermanfaatannya menjadi dangkal dan keberkahannya menjadi hilang. Dapat dirasakan dengan misalnya semakin banyaknya sarjana pertanian, tetapi jarang yang berani terjun ke lapangan, kata Mang Bubun. Banyak calon wakil rakyat yang belusukan ke masyarakat mengumbar janji tuk hanya dipilih, tetapi saat sudah duduk di kursi legislatif menjadi lupa diri. Begitu pengalaman Mang Bubun. Mereka orang-orang berpendidikan bukan? Ya! Tapi kualitas pendidikan yang mereka dapatkan tidak membuahkan keberkahan. Orang tua menyekolahkan kita hingga ke perguruan tinggi untuk membuat kita menjadi orang yang dapat berguna dan bermanfaat. Ketika ilmu yang didapat di bangku perkuliah membuat kita dapat menebar kebermanfaatan, orang tua yang kerja keras membiayai akan kecipratan pahalanya dan akan terus mengalir, amal jariyah katanya. Tetapi sebaliknya, saat ilmu yang semakin tinggi membuat kita lupa diri, membuat kita dengan tidak merasa berdosa berbuat maksiat, menjadikan kita pandai berstrategi tuk memanipulasi, atau membuat kita berpangkat tinggi tapi menyakiti dan mendzalimi, maka akan menjadi dosa jariyah untuk orang tua kita yang telah membiayai. Saat Mang Bubun berkata begitu rasanya hati ini tertusuk. Aku tertegun dan bermuhasabah dalam hati. Kata Mang Bubun, jangan pernah merasa tinggi hati saat berkomunikasi dengan siapapun bahkan kepada orang yang lebih lemah, karena di situ kita akan mendapatkan lebih banyak pandangan tentang hidup. Menjadi orang berpendidikan juga tidak perlu pesimis untuk dapat mengaplikasikan keilmuannya. Sejatinya, memang berilmu itu saat kita tak pernah haus untuk mencari. Da elmu mah teu beurat dibabawa (lagian ilmu itu tidak berat dibawa), kata Mang Bubun. Namun, sedikit apapun ilmu yang kita miliki cukup berbagi sesuai kemampuan yang kita miliki dalam bentuk apapun. Semakin berbagi semakin berkembang. Karena esensi sebuah ilmu adalah bukan tentang seberapa besar ilmu yang kita miliki, namun saat memilikinya membuat kita semakin meyakini kebesaran-Nya, keberkahannya menjadikan hati tergerak untuk menebar kebermanfaatan pada makhluk-Nya dan mencintai bumi, rumah tempat kita menghamba. Saat ilmu membuat kita terjebak dalam maksiat, perlu dievaluasi cara kita mendapatkan dan memaknainya. Bahkan menurut Mang Bubun, banyak orang pintar yang terlalu mengagungkan teori, terlalu merumitkan konsep yang sederhana, terlalu banyak berencana tanpa aksi nyata. Padahal teori itu tidak cukup, agar paripurna perlu terjun ke lapangan. Ya begitulah, memang terkadang pemikiran kita yang terlalu kritis, hanya membuahkan rasa apatis. Mereka yang berpikir sederhana tapi lebih bermakna dan hidup bersahaja.
Pengikat Ingatan
Obrolan singkat namun padat. Obrolan dengan Mang Bubun yang kutulis ini adalah sepenggal cerita tentang memaknai hidup. Masih banyak yang ingin kutulis, pesan-pesan sarat makna yang menggentarkan jiwa. Filosofi bertani, isu lingkungan, etika berkebun dan masih banyak lain obrolan yang penuh pembelajaran. Mungkin setelah ini akan kulanjutkan pesan baik Mang Bubun dalam rangkaian cerita dalam blog ini. Tulisan ini ku buat sebagai pengikat ingatan pada momen berharga itu.
0 Komentar