1# Retrospeksi Ambu Tingtrim

Jeda; tentang beretrospeksi apa yang telah dilakukan, berefleksi akan orientasi yang selalu dirawat dan mengevaluasi nilai hidup yang akan terus diperjuangkan

ant

10 Oktober 2020, menjadi momentum yang cukup mengubah hidupku. Hari dilaksanakannya opening toko kelontong minim sampah kecil-kecilan yang ku rencanakan jauh-jauh hari. Awalnya ku merencanakannya pada 8 Oktober 2020, ya sebagaimana tanggal tersebut adalah salah satu tanggal yang bersejarah bagi hidupku hingga sempat kutulis blog tentang 8 Oktober dengan segala ceritanya. Namun ternyata kurasa kurang memungkinkan dan qadarullah 8 Oktober di tahun ini menjadi sejarah pergerakan masyarakat yang menolak UU Ciptakerja. 8 Oktober dengan segala kenangannya. Kembali lagi ke 10 Oktober yang akhirnya Alhamdulillah toko kelontong ambu tingtrim dibuka dan terlaksana dengan lancar.

Pandemi dan Ceritanya

Pandemi yang akhirnya membuat segala kegiatan dikerumahkan menjadikanku lebih sering menyendiri, menikmati kesunyian, berusaha menerima segala kebosanan hingga sempat kondisi mentalku terganggu karena terlalu sering melihat sudut-sudut yang tak berubah. Menuju New Normal ternyata tetap sama, kegiatan perkuliahan selama dua semester akhirnya diselesaikan dengan sistem dalam jaringan (daring). Namun ada hal yang tak pernah kudapatkan sebelum adanya pandemi, yaitu tentang makna sebuah jeda. Ternyata sebuah jeda dan rehat adalah ruang untuk berbicara dengan diri sendiri dan membuat kita lebih leluasa untuk berefleksi serta lebih jujur untuk mengevaluasi diri.  Jeda membuatku lebih mengenal diri dan akhirnya mengetahui apa yang benar-benar ku butuhkan, bagaimana diriku seutuhnya, lebih mengevaluasi nilai hidup yang kupegang dan apa yang ingin aku capai sebagai orientasi hidupku. Lebih banyak bermuhasabah diri. Ya, itu karena pandemi.

Menikmati kesendirian selama pandemi dan akhirnya aku memutuskan untuk keluar untuk sekadar menghirup udara segar. Jeda ternyata menjadi waktu recharge yang membuatku lebih berenergi untuk bertemu dengan masyarakat yang padahal biasanya bertemu banyak orang membuatku capek dan kehilangan energi. Di masa yang masih new normal, aku pergi ke tempat-tempat yang tak banyak orang berkunjung. Bertemu masyarakat yang berada di daerah pedesaan, menemui masyarakat adat untuk sekadar mengobrol. Semakin bertemu banyak orang dan mengobrol dengan ‘gelas kosong’ yang kubawa membuatku sadar bahwa kehidupan kampus yang selama ini aku agungkan ternyata hampa saat pembelajaran lapanganku kosong. Permasalahan di masyarakat yang ku temui tidak bisa dengan mudah diselesaikan dengan perhitungan teori yang ideal di kelas tanpa mengetahui faktor x y z yang ada di lapangan. Semakin terjun ke masyarakat akhirnya membuatku ‘kembali’ merawat idealisme yang sempat hilang. Dulu, aku bermimpi untuk bisa terjun ke masyarakat untuk melakukan pemberdayaan setelah lulus kuliah. Namun, saat berkuliah idealisme itu sempat memudar karena ku berpikir ‘kamu gak bakal bisa nas, tanpa kamu tahu banyak ilmunya, berarti kamu harus kuliah S2, cari beasiswa, jadi konsultan lingkungan dulu biar ilmunya lebih banyak dan blablabla.’ Akhirnya, ntah kapan kembali ke masyarakat. Pandemi yang akhirnya mengajarkanku kembali ke masyarakat membuatku sadar bahwa ilmu kemasyarakatan itu perlu diperlajari dari sekarang. Untuk apa terlalu mendalami terlalu banyak teori di perkuliahan saat ternyata tidak relevan saat diaplikasikan ke masyarakat. Nyatanya, di perkuliahan pun tidak diajari ilmu jalanan yang ku dapatkan saat ‘berada’ di masyarakat.

Terlalu menikmati aktivitasku yang blusukan atau ku sebut ngaprak membuatku berencana untuk melakukan solo travelling ke beberapa daerah. Memperhitungkan budget yang ku rencanakan menggunakan uang tabunganku dan meminta bekal dari bapak hehe. Sembari menunggu moment itu karena beberapa daerah yang ingin kutuju masih zona merah, aku memutuskan untuk ngaprak di daerah sekitar tempat tinggalku. Lagi-lagi, kenyamanan membuatku terlena dan akhirnya ku berpikir untuk apa jauh-jauh ke luar daerah jika ternyata ngaprak di daerah ku saja belum ku rampungkan dan membuat ku nyaman serta banyak belajar.

Mengobrol dengan berbagai orang dari latar belakang dan pemikiran yang berbeda. Mendengar keluhan masyarakat tentang tidak adilnya sistem yang dibuat di dunia. Bahkan banyak masyarakat yang secara tidak langsung mengajarkanku cara bahagia dengan sederhana. Hal tersebut membuatku ingin ‘melakukan sesuatu’. Aku ingin membuat  ruang yang bisa membuatku  bertemu dengan  banyak orang untuk sekadar bercerita dan bertukar perspektif. Ruang sederhana yang bisa dikunjungi berbagai kalangan untuk sekadar bersua. Sejak saat itu tercetuslah keinginanku untuk membuat toko kelontong ramah lingkungan/bulk store yang disediakan space untuk sekadar bertukar cerita. Mengapa bulk store? Karena sebenarnya membuat bulkstore di Sukabumi adalah mimpi yang sudah kurawat sejak masuk kuliah di teknik lingkungan. Selain itu, aktivitas ngaprak ku yang mempertemukan dengan masyarakat yang beberapa dari mereka adalah pengrajin, petani dan UMKM membuatku berkeinginan untuk membantu mengangkat produk lokal hehe semoga bisa ya 🙂

Aku menulis ini untuk membantuku mengingat bahwa aku selalu membutuhkan jeda untuk kembali beretrospeksi dan mengevaluasi nilai hidup yang aku rawat dan perjuangkan dan tulisan ini akan selalu menjadi pengingat tujuanku membuat toko kelontong bukan sekadar tempat transaksi jual beli, namun menjadi ruang bertransaksi nilai, tempat berjumpa dan bersilaturrahmi, serta tempat bertukar cerita dan informasi sembari menikmati secangkir teh dan kopi. Sisanya harapananku, banyak orang yang lebih banyak mengenal bahwa bumi juga butuh didengarkan dan diperhatikan, sudah itu saja.

Cerita ini akan terus berlanjut……