(Retrospeksi 1# Pejelajahan Nilai bersama Gerakan Sukabumi Mengajar Batch 6)
Sebuah nilai di hari pembekalan.
Perjalanan tanpa harapan, bahkan aku tak mengharapkan sebuah pembelajaran bisa kudapatkan. Hanya gelas kosong yang ku siapkan dalam setiap perjumpaan. Datang untuk menjadi relawan, katanya. Bullshit sekali, relawan mana yang hanya membawa diri yang tak berisi dan tidak menyiapkan apapun seperti aku ini. Hingga pada suatu malam, para penggerak, Kang Iqbal dan Kang Daffa saat itu bertanya kepada kami, “Apa alasan kalian mengikuti Gerakan Sukabumi Mengajar (GSM)?”. Satu per satu dari kami menjawab. Kebanyakan dari peserta menjawab ingin mengabdikan diri, ingin memberikan kontribusi, sangat bahagia jika harus memberi kebahagiaan kepada orang lain, ingin melepaskan beban, hingga ingin mengaplikasikan ilmu yang di dapat di perkuliahan. Mereka yang ku lihat sangat berenergi secara tidak langsung menamparku yang saat itu masih dengan pikiran kosong dan masih tak tau alasan ku ada disana. Tak mungkin aku mengarang, pikirku. Dengan apa adanya aku hanya menjawab, “Aku ingin mengenal Sukabumi secara utuh.”. Memang itu adalah hasil refleksiku selama pandemi ini, aku merasa terlalu jauh berlari hingga abai pada kampung halamanku sendiri. Ntah mengapa selama aku berkuliah rasanya aku semakin sulit untuk terjun ke masyarakat, sebagaimana seyogianya tuntutan sebagai mahasiswa harus menjadi Agent of Change. Merasa belum punya apa-apa dan belum bisa memberi apa-apa pada masyarakat. Karena selama perjalanan ngaprak ku pada masyarakat, aku merasa malah banyak pelajaran yang ku dapat dari masyarakat, Bukan memberikan, melainkan mendapatkan.
Setelah mendengar alasan dari kawan-kawanku yang sangat berapi-api saat ditanya alasan ingin menjadi relawan, akhirnya membuatku berefleksi pada malam harinya. Aku merasa secara tidak langsung ada energi baru yang seharusnya membawaku untuk menemukan alasan mengapa aku menjadi seorang relawan.
Keesokan harinya masih di hari pembekalan, meski semalam sudah berefleksi rasanya masih sama. Aku belum menemukan alasan mengapa aku duduk di sana untuk menjadi relawan. Relawan adalah orang yang dengan sukarela mengorbankan waktu, uang, tenaga, pikiran dan keahliannya untuk membantu orang lain. Kata relawan itu rasanya terlalu sempurna untuk disematkan pada diriku yang bahkan untuk membantu fisik dan mental pribadi saja masih sangat sulit. Lagi-lagi, setiap prosesnya hanya gelas kosong yang ku bawa. Pagi itu, pembekalan dibawakan oleh Kang Ikin Sodikin, sesepuh Gerakan Sukabumi Mengajar yang merupakan pembina Yayasan Nusantara Terdidik Foundation (NTF). Aku memang sudah mengenalnya dengan baik karena kami berada di komunitas yang sama. Selama ini, aku tak pernah tau bahwa dia adalah insiator dari GSM. Sebuah nilai besar yang ku dapatkan dari sosok Kang Ikin, beliau yang sederhana dan terbuka tidak pernah sama sekali memperlihatkan dirinya siapa, sosok pendengar yang baik serta sangat proaktif melihat suatu isu dan selalu memandangnya dari berbagai perspektif. Hal tersebut yang akhirnya menjadi pembelajaran yang sangat berharga dan membuatku sangat terinspirasi olehnya.
Saat pembekalan oleh Kang Ikin, tak ku sangka ada banyak nilai yang akhirnya membuat puzzle pencarian alasanku semakin terbentuk meski belum paripurna. Dengan pembawaan yang open minded dan luwes, lambat laun Kang Ikin membukakan pikiranku akan esensi menjadi relawan. Beberapa kali Kang Ikin menegaskan bahwa terjun ke masyarakat bukan tentang bagaimana kita memberi sebanyak-banyaknya, tapi bagaimana kita menempatkan gelas kosong untuk belajar bersama mereka. Terjun ke masyarakat, akan banyak pembelajaran yang kita dapat dan tak perlu memaksakan kehendak. Benar juga, bagaimana kita bisa memberi mereka, saat kita belum bisa mempelajarinya dengan utuh. Menurut Kang Ikin, kita perlu belajar memahami kondisi masyarakat. Kita akan dihadapkan dengan masalah-masalah yang kita tak akan bisa pecahkan saat kita tidak melihatnya secara holistik. Setiap masalah pasti ada kunci yang bisa membukanya, lihat dari berbagai perspektif, tegasnya. Proses itu yang akan menumbuhkan empati yang akhirnya akan membuat kita terus merawatnya, mengelola keresahan, katanya. Belajar, menjadi highlight yang akhirnya menjadi nafas dan energiku untuk menjadi relawan.
Terjun ke masyarakat memang tidak mudah, namun juga tidak sulit. Menjadi seorang mahasiswa dituntut untuk kembali ke masyarakat, bahkan difasilitasi dengan adanya program Kuliah Kerja Nyata (KKN). Tidak sulit bukan? Namun, pemaknaan untuk terjun ke masyarakat dan merawat idealisme yang akhirnya menjadi sulit, apalagi jika sudah dihadapkan dengan realitas hidup. Mengelola keresahan, menjadi poin yang akhirnya tertanam di benakku, ternyata benar, keresahan itu perlu dirawat. Untuk memaknai kembali ke masyarakat, memang kita perlu menarik diri dan memberi jarak. Menurut Kang Ikin, untuk melihat lanskap gunung yang indah kita perlu berada jauh dari pegunungan tersebut. Begitulah hidup, untuk melihat suatu kondisi secara utuh dan penuh, kita perlu melangkah jauh dan menarik diri agar bisa melihat permasalahan menyeluruh. Menarik diri dan memberi jarak yang kudapatkan dari Kang Ikin, ku artikan sebagai sebuah cara berefleksi. Sebagaimana dalam hidup, kita perlu jeda untuk beretrospeksi, berefleksi dan berevaluasi diri agar bisa mendengarkan dan memahami diri kita lebih jujur serta bisa melihat dunia lebih objektif dengan melihat sudut pandang yang berbeda.
Belajar, mengelola keresahan dan berefleksi; nilai yang membawaku pada pemaknaan untuk menjadi seorang relawan. Saat itu, puzzle pencarian alasanku memang belum paripurna namun mulai berbentuk rupa. Terimakasih Kang Ikin akan nilai berharga yang diberikan 🙂
Tulisan ini adalah sebuah retrospeksi untuk menjadi pengingat akan nilai yang kudapat pada momen itu. Ini adalah nafas awal yang membawaku menemukan banyak nilai yang selama perjalananku di Gerakan Sukabumi Mengajar Batch 6. Maka, cerita ini akan terus berlanjut~
Sukabumi, Feb, 10th 2021
19.32 WIB
nanas.
0 Komentar