(Retrospeksi 2# Pejelajahan Nilai Gerakan Sukabumi Mengajar Batch 6)
Perjalanan tanpa harapan lagi-lagi menyimpan kejutan dan sarat pembelajaran. Alam selalu menunjukan jalan saat kita lebih memperhatikan dan mendengarkan. Semesta tidak serta merta meninggalkan saat hati bergegas dengan keterbukaan. Tanah Cirengrang mengajarkan makna hidup lebih berkesadaran untuk selaras dengan alam.
ant.
Datang dan Ketenangan
Pertama menginjakan kaki di tanah Cirengrang, sebagaimana Kang Ikin bilang ‘bawa gelas kosong untuk belajar bersama mereka’. Aku datang membawa diri tanpa ekspektasi, aku ingat sekali rumah pertama yang dilihat saat Pak Komite bilang, ‘Tos dugi di Cirengrang’ (sudah tiba di Cirengrang). Sebuah rumah panggung dengan papan cokelat muda sebagai dinding dasar. Terlihat di atap rumah ada selembar kotak berwarna hitam yang belakangan ku tahu itu adalah modul panel surya. So surprised saat mengetahui mereka sudah lebih mengaplikasikan energi terbarukan dari sinar matahari ini. Tentang panel surya ini akan aku bahas di bagian cerita lain hihi.
Aku pernah diberi tahu guru SMPku, Bu Ratna Muda Ningrum, jika pertama kali menginjakan kaki di tanah orang biasakan untuk melakukan ritual menghirup udaranya, perhatikan sekitar dan tulis apa yang saat itu dirasakan dalam sebuah catatan. Setelah membuka notes, perasaan yang kurasakan saat itu adalah ketenangan, ntah mengapa, suasananya sangat istimewa dan Cirengrang membawaku seperti kembali ke rumah. Rumah yang kuharap bukan hanya tempat singgah, tapi tempat pulang untuk mengadu pilu dan melepas lelah. Perasaan tenang disusul dengan haru saat melihat anak-anak keluar dari masjid seakan menyambut kedatangan kami dengan ramai dan saling berbisik. Namun, yang terpikir dibenakku saat itu, ‘Sudahlah, pertemuan tak perlu menjadi kebahagian yang keterlaluan, setelah tahu didepan mata akan ada perpisahan.’ Karena ku tahu, diri ini yang sangat emosional, bisa berbulan-bulan tenggelam dalam kesedihan saat bertemu dengan perpisahan setelah pertemuan yang sangat kumaknai dengan penuh ekspektasi.
Mindfulness
Kehidupan urban yang serba cepat, instan dan terburu-buru membuatku merasa capek berlari. Akselerasi adalah keharusan untuk mencapai kesuksesan saat berada di kota. Kebiasaan memanej diri dengan memaksimalkan waktu yang kita miliki menuntut kita akhirnya menjadi orang yang multitasking. Gak salah sih, hanya saja terkadang membuat kita melewatkan ruh dari setiap pekerjaan yang kita lakukan. Hingga saat tiba di Cirengrang, rasanya aku dibawa untuk menikmati setiap detik dengan hadir penuh pada setiap momen yang terjadi. Sadar dengan yang dirasakan, dipikirkan dan dilakukan. Konsep ini disebut dengan mindfulness, yaitu sebuah keadaan kita menyadari di momen dan waktu sekarang (paying attention in the present moment). Selain terbiasa untuk hadir di momen yang sedang berlangsung, di Cirengrang aku belajar membiasakan konsep stoisisme, yaitu trikotomi kendali. Ada hal yang di dalam kendali kita secara penuh, ada yang di luar kendali dan keduanya. Saat itu, hujan deras turun sejak dini hari, Pak Komite dengan santai menjawab, ‘Ah kendae we, namina alam teu bisa diatur.’ Pemikiran sederhana itu yang terkadang terlewat oleh orang-orang kota yang terbiasa menjalani hidup dengan penuh keteraturan dan kaku. Tidak jarang bukan kita menyesalkan perubahan kondisi yang diluar perkiraan kita? Mengeluh saat hujan turun tiba-tiba atau menggerutu saat jalanan macet?
Slow Living
Selama di Cirengrang, kami tinggal di rumah Pak Komite SDN Cirengrang, rumah panggung yang hingga saat ini membuatku sulit move on karena suasana hangatnya. Aku masih sangat ingat perasaanku di setiap malam terlelap di atas alas karpet dengan AC alami –angin yang keluar dari celah bilik rumah panggung– yang terkadang membuat kami tidur mengudang, aku sungguh menikmatinya. Sudah ku bilang, tanah Cirengrang akan menjadi perjalanan tanpa harapan. Datang untuk lebih mendengarkan dan memperhatikan.
Mata pencaharian masyarakat Cirengrang rata-rata merupakan petani yang membiasakan mereka selalu bangun pagi buta dan pulang saat senja. Namun, hal tersebut tak lantas akhirnya membuat mereka terburu-buru. Sebagaimana kehidupan kota yang terbayang dibenakku adalah berjalan setengah berlari berdesak-desakan masuk ke KRL di pagi hari saat matahari mulai terik. Huaaaaa, membayangkannya saja capek, apalagi harus menjadi bagian dari aktivitas itu. Aku sepertinya ingin menyerah saat dihadapkan pada kondisi itu. Karenanya, saat ini konsep hidup lebih pelan atau Slow Living mulai muncul. Konsep slow living bukan berarti hidup dengan melakukan sesuatu serba lambat. Namun, bagaimana kita bisa memperhitungkan dan mengatur ritme hidup kita agar menjalaninya dengan kesadaran penuh tanpa ada batas dan tekanan. Cirengrang menjadi salah satu tanah yang mengajariku untuk mempraktikan gaya hidup ini. Beraktivitas dengan bebas dan menikmati setiap momen tanpa terlalu terpaku pada jam karena kami tak merasa dikejar waktu. Bebas dan lepas. Sebagaimana dalam konsep “Flower Power” yang disampaikan oleh dr. Arlene K. Unger dalam buku series Calm (Mindfulness Execises) bahwa slowing down adalah salah satu konsep mindfulness yang membantu kita untuk bijak dalam menggunakan waktu. Kita membutuhkan tanda untuk mengingatkan kita agar hidup lebih pelan-pelan. Namun, yang akhirnya menjadi lucu adalah saat kami dituntut untuk menyelesaikan administrasi selama kami menjadi relawan seperti agenda harian, jurnal pribadi, logbook dan data diri siswa. Aku merasa berdosa karena mengajak teman setimku untuk santai saja, akhirnya selama di Cirengrang tak ada satupun dari kami yang mengerjakan administrasi tersebut. Aku pikir di Cirengrang adalah tempat untuk kita mendapatkan sebanyak-banyaknya informasi dan pelajaran, cukup rekam lewat notes di hp dan olah data tersebut setelah keluar dari tanah ini. Sayang sekali jika harus melewatkan waktu 1 jam hanya untuk mengolah data atau menulis jurnal harian untuk sekadar formalitas. Tenaaang, kami tetap melakukan journaling kok, dengan merekam dan menulisnya di notes pribadi kami pada setiap pelajaran yang kami dapatkan.
Slow Food
Setiap jam 3 dini hari, aku selalu bangun dan masuk dapur untuk siduru –menghangatkan badan di depan tungku– sembari memperhatikan aktivitas ibu komite dan mengobrol berbagai hal. Aku ingat betul dari awal ibu komite bangun jam 3 pagi diam sejenak di tempat tidur yang hanya beralas karpet biru, lalu bergegas ke dapur dan mencuci piring di kolam tanpa aliran yang kami sebut kolam marjan, karena warnanya yang hijau pekat. Lalu, ibu komite mencuci beras dan menanaknya di aseupan dengan seeng –alat masak tradisional– dan dimasak di atas hawu –tungku kayu bakar-. Bukan waktu yang sebentar menanak nasi di seeng, membutuhkan waktu 40 – 60 menit hingga beras siap menjadi nasi untuk disantap. Ibu komite padahal sudah punya rice cooker di rumahnya, tapi dia enggan menggunakannya dengan alasan ‘kurang enak, kurang sehat, cepat basi’. Disaat kehidupan urban membuat kita dengan bangga mengonsumsi fast food yang lebih instan dan praktis, kehidupan di Cirengrang justru mendukung kita untuk kembali pada konsep slow food yang saat ini sedang dikampanyekan untuk melawan fast food. Konsep slow food ini mengajak kita untuk kembali pada ritme pengolahan makanan yang alami, proses pemasakan yang lebih sehat, resep tradisional dan menggunakan sumber daya lokal. Cirengrang mengajarkanku bahwa konsep slow food adalah kearifan lokal yang seyogianya perlu dirawat karena ramah pada diri dan bumi.
Banyak pelajaran yang membuatku berefleksi tentang hidup. Hidup dengan lebih sadar dan hadir penuh pada setiap hal yang sedang berlangsung. Memahami cara semesta bekerja dan tahu akan peran kita untuk menjadi manusia seutuhnya. Terimakasih CIrengrang mengajarkanku untuk selalu menikmati setiap momen yang terjadi agar hidup lebih bermakna.
Sukabumi, Feb 11th 2020
8.35
Nanas.
0 Komentar