Jebakan Konsumerisme Saat Harbolnas

Menuju 12.12 disebut sebagai Hari Belanja Online Nasional (Harbolnas). Banyak orang yang bela-belain bergadang hanya untuk menunggu tepat pukul 12 malam agar tidak kehabisan promo. Pada hari itu banyak promo, diskon, bahkan tawaran cashback yang menggirukan. Momen ini dijadikan kesempatan untuk memperluas jangkauan pasar bagi para pelaku bisnis. Istilahnya perusahaan tersebut sedang bakar uang. Bakar uang ini dilakukan dengan cara perusahaan memberikan keuntungan untuk penggunanya baik dalam bentuk diskon, program gratis ongkir atau cashback. Strategi ini dilakukan untuk membuat penggunanya nyaman menggunakan produk atau aplikasi tersebut dan perlahan ‘kenyamanan’ itu ditarik. Sebenarnya apa yang menjadi masalah dari pola tersebut? Bukankah menguntungkan bagi kita sebagai konsumen?

Jika dilihat dari segi ekonomi, mungkin sangat menguntungkan pada awalnya. Namun, jika kita berefleksi sebenarnya pola tersebut sedang memainkan sisi psikologi kita. Awalnya kita dibuat nyaman, lama lama akan jadi kebiasaan dan yang kadang tidak disadari akan menumbuhkan kebergantungan. Selama ini kita dinyamankan dan merasa terbantu dengan kemudahan tersebut, pada akhirnya kita akan beradaptasi meskipun tanpa disadari ‘kemudahan’ itu sudah hilang perlahan. Belum lagi yang saya rasakan saat ingin membeli produk dan ingin menggunakan gratis ongkir biasanya ada minimal pembelian, termasuk ketika saya membeli makanan saat diskon 50%. Jika memang sesuai kebutuhan kita sih tidak apa-apa karena akan menghemat secara ekonomi. Namun, jika sebenarnya membuat kita akhirnya membeli yang sebenarnya tidak kita butuhkan demi mendapatkan gratis ongkir bisa jadi menjatuhkan kita ke pola konsumerisme.

Sebenarnya dari mana sih konsumerisme itu muncul?

Konsumerisme adalah pola pikir dan tindakan dengan tujuan membeli barang bukan karena kebutuhan tetapi karena tindakan membeli memberikan kepuasan. Konsumerisme mempengaruhi manusia untuk berbelanja yang tidak sesuai kebutuhan. Di sini ada dua nilai yang mau dikejar yaitu, konsumerisme sebagai wujud pemuasan kebutuhan identitas dan makna, di sisi lain sebagai fungsi sosial dan ekonomi.

Konsumerisme didefinisikan sebagai cara hidup yang selalu menarik manusia untuk mengejar, memiliki, dan mengganti secara terus-menerus barang material yang cepat berkembang secara global. Gaya hidup seperti ini yang sedang berkembang. Hasrat manusia muncul untuk memiliki barang material karena secara signifikan menunjukkan identitas baru di dalam kelompok sosial tertentu. Konsumerisme merepresentasikan kesombongan yang keliru terhadap penambahan dan pengumpulan barang material demi status sosial yang lebih tinggi. Hal ini nampak dalam usaha mengidentifikasi diri melalui praktek konsumsi yaitu pembentukan identitas sosial dalam masyarakat.

Di era modern, gaya hidup dan pola konsumsi telah menjadi suatu tren bagi setiap kelompok manusia: remaja, dewasa dan orang tua. Kondisi ini berkembang sejalan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, pergeseran peradaban dan perubahan sosial. Di kota-kota besar setiap orang disibukkan oleh pekerjaan dan uang. Hal ini mempengaruhi perilaku masyarakat kita dalam mengonsumsi makanan, minuman atau keperluan kebutuhan hidup sehari-hari. Pasar swalayan, atau pusat perbelanjaan menyedot masyarakat untuk mengonsumsinya sebagai suatu kebutuhan sehari-hari. Lebih jauh kita juga dapat menganalisis individu-individu saat ini, dimana mereka lebih senang makan atau minum di luar rumah daripada di rumah akibat tersedianya berbagai cafetaria, warung pojok, atau restoran cepat saji di pinggir jalan atau di mall megah telah memengaruhi pola makan.

Manusia sebenarnya sangat bisa membatasi diri untuk mengkonsumsi sesuai penghasilan. Namun dewasa ini, kemampuan konsumsi menjadi meningkat karena ada layanan kredit. Cerita lain, saat itu saya sedang mengobrol dengan teman-teman saya, teman saya bercerita, “Ih enak banget ada sistem pay later, jadi bisa belanja dulu gak harus susah-susah transfer di awal. Tapi aku jadi lebih sering belanja gegara itu.” Teknologi memang memudahkan kita untuk memenuhi kebutuhan kita tapi jika kita menggunakannya tidak dengan sadar dan bijak malah sebenarnya sedang memanjakan kita untuk memenuhi keinginan kita. Seperti kasus teman saya di atas, dia yang awalnya tidak terlalu sering belanja akhirnya menjadi ‘terbiasa’.

Pada sebuah video TED Talks yang disampaikan oleh Guido Palazzo tentang Responsible Consumption dijelaskan bahwa perilaku konsumtif berasal dari sebuah kebiasaan yang dilakukan secara intens yang membuat kita melakukan tanpa berpikir, hanya sebatas rutinitas. Kebiasaan diibaratkan seperti gunung es, bagian atas menunjukan perilaku dan bagian bawah adalah nilai dan keyakinan terhadap apa yang kita lakukan.

Menurutnya, nilai dan keyakinan akan terbentuk kuat salah satunya dari faktor lingkungan. Dalam hal ini korporasi sangat berkontribusi dalam perubahan perilaku kita secara massif.  Industrialisasi yang berkembang pesat membuat kita menjadi terlena, sebagaimana kini kita dapat dengan mudah mendapatkan makanan yang serba instan. Hal ini memang baik karena mempermudah kita. Namun, secara tidak sadar semakin kita disuguhi segala hal yang serba instan justru membuat kita semakin tidak mindful. Produksi makanan secara mekanik membuat kita menjadi kurang menghargai makanan karena tidak tahu menahu proses pembuatnya. Belum lagi sebagai konsumen kita disuguhi berbagai iklan secara terus menerus yang perlahan mengubah mindset kita, seperti: sayuran itu harus segar, buah itu harus cantik, makanan itu harus terbungkus plastik agar higienis, beli 1 gratis 1 agar hemat, dan banyak lagi strategi pemasaran yang membuat kita terjebak dalam konsumerisme.

Kondisi tersebut merupakan gambaran perilaku masyarakat kita dalam mengonsumsi makanan, minuman atau keperluan kebutuhan hidup sehari-hari. Padahal, sebenarnya setiap tindakan yang terjadi tidak terlepas dari kombinasi pelibatan sejumlah dimensi psikologis, yaitu pikiran, perasaan sehingga memunculkan perilaku tertentu dalam kehidupannya. Sebelum individu bertindak, ia selalu menggunakan pikirannya agar perbuatan yang dilakukan berhasil dengan baik. Oleh karenanya, sebenarnya sisi pikiran dan perasaan inilah yang seyogianya perlu kita kendalikan secara sadar agar tidak mudah tergiring dengan diskon yang membuat kita terlena yang sebenarnya sedang mempengaruhi psikologi kita.

Perkembangan teknologi saat ini memang memudahkan hidup kita dan serasa murah secara ekonomi, tapi yang mahal justru ketika pola tersebut akhirnya merenggut kewarasan kita menjadi tergantung dan impulsif. Sehingga psikologi kita digiring untuk terus mengikuti tanpa benar-benar sadar dengan apa segala keputusan yang kita buat.

So, gapapa banget kok untuk memanfaatkan momen ini untuk memenuhi kebutuhan kita, lumayan kan jadi ngurangin budget. Tapi tetap mindful saat berbelanja ya, jangan sampai kesadaran dan kewarasan kita direnggut!

#belajarhidupselaras

#sadardanbijakberkonsumsi

Posting Komentar

0 Komentar