(Refleksi Hari Peduli Sampah Nasional 2022)
Menolak lupa bahwa sampah ternyata ‘bisa’ membawa musibah. Hari itu, 21 November 2021, tepat 17 tahun yang lalu terjadi tragedi TPA Leuwi Gajah di Bandung yang menyebabkan 147 juta saudara kita menjadi korban dan 2 desa terhapus dari peta. Tragedi tersebut disebabkan oleh adanya ledakan TPA gas methan karena timbunan sampah hingga menyebabkan longsornya timbunan sampah setinggi 40-60 meter. Terlebih saat kejadian pukul 02.00 WIB dini hari tersebut sedang hujan lebat.
Kenapa sih, bisa terjadi ledakan?
Sampah sisa makanan yang biasanya kita satukan dengan sampah lainnya dalam sebuah keresek menyebabkan terjadinya degredasi biologi oleh bakteri. Proses tersebut menghasilkan gas metana yang jika dibiarkan apalagi ditimbun terus menerus akan menyebabkan akumulasi. Ironinya, gas metan ini menjadi global warming potential (GWP) yang sangat tinggi yang berkontribusi terhadap perubahan iklim. Bisa dibayangkan jika setiap rumah tangga yang memperlakukan sampah seperti itu akan berapa banyak potensi gas yang akan bisa menyebabkan ledakan. Berdasarkan data SIPSN, sampah dihasilkan 47% dari aktivitas rumah tangga dan didominasi oleh sampah sisa makanan. Saya sebenarnya dulu sempat tidak percaya dengan data sampah makanan kita yang dominasi sampah makanan, terlebih saat mengetahui Indonesia penghasil sampah makanan kedua di dunia. Wow kejuaraan yang sangat tidak patut dibanggakan bukan?
sumber: ilustrasi pribadi
Musibah memang terjadi atas kehendak-Nya, namun mau sampai kapan mengerdikan pemikiran bahwa ini hanya sekadar ujian? Bukankah ada kausalitas semesta karena alam ini bekerja secara teratur, sehingga setiap fenomena yang terjadi bisa jadi adalah tanda. Bisa jadi musibah adalah caranya untuk memulihkan dan menyeimbangkan kembali.
Saya jadi ingat dua buah ayat Al-quran surat Ali Imron ayat 190-191. Dua ayat yang dijelaskan dengan begitu detil dan ditafsirkan perkata oleh guru agama saya saat SMA dulu. Sungguh hingga saat ini saat membacanya selalu membuat saya bergetar. Dalam ayat 190 dijelaskan bahwa dalam setiap penciptaan langit dan bumi dan pergantian siang dan malam, ada tanda-tanda bagi orang-orang yang berpikir.
Semenjak mengenal ayat tersebut, saya seperti ‘disadarkan’ bahwa selama ini kita hanya terfokus pada apa yang kita rasakan dan lihat tanpa benar-benar memahami secara utuh. Begitu ada musibah secara tidak sadar kita mengkambinghitamkan Allah dengan menyebut, ‘takdir Allah’. Setiap musibah yang terjadi seyogianya menjadi ruang refleksi dan muhasabah diri, bagi kita semua. Ya, kita semua! Karena bukan hal yang tidak mungkin musibah tersebut juga akan menimpa diri dan lingkungan terdekat kita. Musibah apapun itu, apalagi sampah yang musibahnya kita ‘bikin sendiri’.
Padahal dari dulu kita selalu diingatkan oleh orang tua kita terutama mama saya sih yang tak pernah alfa disela-sela saya makan selalu bilang, ‘makanannya habiskan ya, biar gak nangis’. Dulu sepertinya saya gak peduli atau bahkan merasa dibodohi. Mana mungkin nasi bisa nangis! Namun sekarang saya baru ngeh dan sadar bahwa nasi menangis itu ya karena menangisi dirinya yang jika bersisa akan membawa tangisan. Seperti tragedi TPA Leuwi Gajah yang membawa duka dan tangisan mendalam bahkan bagi kita semua.
Ternyata potensi masalah tersebut ya dari rumah kita sendiri, dari sisa nasi yang dibuang begitu mudahnya, hingga akhirnya menangis yang sebenarnya sedang membuat orang lain dan lingkungan kita menangis.
Selain tentang nasi nangis, mama saya juga selalu bilang, ‘neng sisanya abiskan ya, itu keberkahannya’. Saya gak ngerti sih saat itu, mama cuma bilang ‘keberkahan yang bikin badan sehat dan gemuk‘, karena saat itu saya kacil yang kurus kering wkwkw. Tapi kalo sekarang diartikan keberkahan menghabiskan makan agar gemuk, ya saya juga gak maul ah hehehe.
Keberkahan menurut Buya Yahya adalah tambahan kebaikan. Menurut Pak Iskandar, keberkahan ini serupa maknanya dengan sustainability yang berarti kita memenuhi kebutuhan kita saat ini namun tidak mengorbankan kehidupan anak cucu kita di masa depan.
Dalam Q.S. Ali Imron ayat 191, lanjutan dari ayat yang dijelaskan sebelumnya, yang berbunyi:
Arti penggalan ayat tersebut yang berbunyi, ‘Ya Tuhanku, tidaklah engkau ciptakan ciptakan segala sesuatu dengan sia-sia.’ Menurut Pak Iskandar Wowuruntu (Founder Bumilangit Institute) bahwasisa konsumsi/residu/sampah karena pola konsumsi kita yang berlebihan adalah bukti Kesia-siaan yang merupakan wujud keberadaan iblis.
Kehidupan yang serba instan dan cepat ini memang pada akhirnya berdampak pada pemaknaan kita terhadap apa yang kita konsumsi, semakin kurang menghargai pada makanan sehingga dengan mudahnya kita membuang dan menyisakannya. Memang perlu direfleksikan kembali, apakah selama ini yang kita makan sehari-hari sudah berkah kalo ternyata masih ‘bersisa’ yang berujung membawa kemadharatan bagi sesama dan semesta?
Ternyata semua berawal dari diri kita, rumah kita, dan sebenarnya sangat mungkin kita bisa mengendalikannya sebelum akhirnya menjadi ‘masalah’.
Berawal dari pengendalian diri untuk lebih sadar dan bijak berkonsumsi. Sadar ketika kita menentukan keputusan dalam hidup, tidak hanya sekadar mengikuti trend atau latah. Karena trend keduniawian kitu tidak akan pernah ada habisnya.
Dulu saya bertanya-tanya, kenapa sih namannya hari Peduli Sampah, kenapa sampah yang menjijikan harus dipedulikan? Sekarang saya sadar, sebenarnya kita diingatkan untuk peduli terhadap diri kita, saudara bahkan lingkungan kita untuk lebih mawas diri terhadap sisa konsumsi. Setiap keputusan akan tindakan kit aitu memiliki dampak, tinggal direnungkan, membawa kemaslahatan atau kemadharatan.
0 Komentar