Derita Suaminya Sang Pengidap Bipolar

Hai, akhirnya aku nulis di blog lagi! Bukan gak pernah nulis lagi sih, lebih tepatnya aku masih sering menulis coretan di jurnal pribadiku, literally coretan atau berisi keluhan dan ekspresi depresiku beberapa hari kebelakang. Ntahlah, seminggu terakhir aku merasakan depresi yang begitu hebat. Merasa sangat tidak bernergi, murung, hanya bisa tidur dan tidur.

Kamu depresi?
Ya, karena aku pengidap bipolar. Bukan, bukan berpribadian ganda! Tapi aku memiliki masalah gangguan mood. Seperti mood swing tapi lebih parah. Pengidap bipolar sepertiku bisa merasakan kehilangan energi dan mood buruk di suatu waktu, lalu tiba-tiba bisa sangat berenergi beberapa detik setelahnya.

Saat aku depresi, jangankan melakukan aktivitas produktif seperti biasanya, untuk sekadar mandi, makan dan shalat saja rasanya berat sekali. Selain itu, saat aku depresi bisa sangat sensitif dan tiba-tiba menjadi seorang yang pemarah. Padahal mungkin hanya sesepele kesenggol atau kesikut. Huaaaa 🙁

Aku yang saat ini sudah menjadi seorang istri rasanya menjadi semakin tidak berguna ketika di fase ini aku tidak bisa menjalankan kewajibanku pada suami. Sebagaimana biasanya, aku yang harusnya memasak, menyiapkan baju kerjanya, dan beberes ketika di fase tersebut tidak ada gairah untuk melakukan semuanya. Hingga akhirnya suamikulah yang mengerjakan semuanya.

Suamiku memang bukan penganut patriarki, dia dengan senang hati menerima pembagian tugas domestik untuk mempermudah pekerjaanku. Namun, saat aku depresi semua pekerjaan domestik akhirnya dialah yang mengerjakan. Meski tidak pernah mengeluh atau menolak, aku bisa melihat bagaimana suamiku kewalahan melakukan semua bersamaan. Memang, ternyata terbukti kalo laki-laki itu sulit multitasking wkwkwk.

Saat depresi seperti itu dan melihat suami kewalahan, lantas apakah aku menjadi terenyuh dan akhirnya ingin membantu? Tidak! Justru aku malah semakin merasa tidak berguna, semakin sebal dan terkadang hingga menyalahkan diri sendiri. Efeknya sikapku ke suami yang semakin menjadi. Bisa marah-marah tanpa alasan, melarang suami beraktivitas atau menangis murung di pojok kamar.

Sudah kewalahan dan capek mengerjakan pekerjaan domestik setelah pulang bekerja, suamiku juga harus menanggung ‘derita’ menerima emosiku yang begitu naik turun. Sampai-sampai, terkadang suamiku juga jadi ‘kecipratan’ energi negatif tersebut, akhirnya ikutan emosi dan marah. Tidak! Suamiku tidak emosi sepertiku yang bisa membucah, tapi marahnya dia adalah pergi ke luar rumah dan diam.

Aku yang ketika ditinggalkan ke luar (padahal cuma di kebun belakang), merasa diabaikan dan akan semakin nangis menjadi. Lalu, beberapa menit suamiku masuk dan memelukku lagi. Pelukkan tulus dan tenang itu yang biasanya menstabilkan emosiku.

Setelah aku tenang dan sadar, lagi-lagi aku menyesal, menangis dan meminta maaf kepada suamiku atas diriku yang masih sulit mengendalikan diri. Namun suamiku dengan air muka ketenangan selalu bilang, “Gak apa-apa, ayang udah berusaha, aku kasihan sama kamu, semoga Allah menguatkan kita ya, aku sayang ayang.” lalu pelukan.

Terima kasih Rabb, Kau telah kirimkan pendamping hidupku yang memiliki kesabaran luar biasa. Kuatkan kami Rabb!

Posting Komentar

0 Komentar