Hi! Kali ini saya ingin bercerita tentang beberapa hal yang saya obrolkan dengan suami ketika menuju pernikahan. Bukan! bukan tentang mencari vendor, memilih WO atau mencari vanue untuk resepsi pernikahan. Tetapi beberapa hal esensial untuk kehidupan paska pernikahan yang kami obrolkan sebelum menikah, sebagai berikut:
1.Value hidup
Value hidup di sini tentang bagaimana prinsip hidup yang diyakini dan sudut pandang dalam memandang kehidupan. Misalnya nih kami yang memiliki value yang sama dalam masalah agama meskipun dalam cara ibadah/fiqh ada beberapa yang berbeda namun secara tauhid kami memiliki persepsi yang sama sehingga hal ini berpengaruh dengan bagaimana cara menghadapi masalah hidup yang juga melibatkan skenario-Nya dalam segala urusan. Selanjutnya berkaitan dengan prinsip dalam menjalani kehidupan, seperti kami yang memiliki value yang sama dalam kesederhanaan untuk menjalani hidup.
2. Masalah Keluarga (Inner Child, Pola Asuh, Kebiasaan, utang piutang)
Saling mengenal permasalahan di keluarga juga tidak kalah penting untuk diobrolkan. Pola asuh antar kedua keluarga yang berbeda perlu dibicarakan agar kita bisa sama-sama mencoba memahami ketika nantinya sudah menikah dan tinggal dengan mertua. Minimal gak akan terlalu kaget dengan cara dan kebiasaan keluarga pasangan kita. Inner Child juga tak kalah penting untuk dikomunikasikan. Inner Child ini biasanya berhubungan dengan pola asuh yang diterapkan pada kita. Ini penting untuk diobrolkan karena hal ini akan berpengaruh pada setiap tindakan kita yang berada di alam bawah sadar terhadap pasangan. Sebagaimana secara psikologi, tindakan manusia 88% dipengaruhi alam bawah sadar yang terbentuk dari pola asuh, kebiasaan dan emosi yang dirasakan sejak kecil, sedangkan hanya 12% yang dipengaruhi kesadaran. Apalagi jika kita memiliki trauma pada pernikahan. Selanjutnya tentang utang piutang keluarga, terpenting juga untuk dibicarakan karena akan mempengaruhi kehidupan kita setelah nikah berkaitan dengan masalah finansial keluarga. Bisa jadi pasangan kita memiliki tanggungan utang orang tua yang harus dipertanggung jawabkan setelah nikah.
Pola asuh, inner child dan kebiasaan tersebut juga akan mempengaruhi kerentanan mental kita saat ini, apalagi saat belum benar-benar berdamai. Seperti saya dan suami yang memiliki kerentanan yang sama yaitu tidak bisa jika disentak atau dimarahi dengan nada tinggi. Hal tersebut terbentuk dari pola asuh kami sejak dulu. Seperti saya juga sempat memiliki trauma akan pernikahan dan perceraian, hal ini akan berpengaruh pada kepercayaan pada pasangan. Sehingga ketika dikomunikasikan akan bisa saling memahami kerentanan mental antar pasangan.
Tapi, hal-hal tersebut hanya bisa komunikasikan dengan pasangan saat kita sudah mulai mencoba berdamai dengan masalah kita, masalah keluarga dan masa lalu kita. Karena kalo belum berdamai dan menerima itu akan sulit untuk mengomunikasikannya. Kalo kita saja belum bisa menerima dan mengerti diri kita, bagaimana bisa kita memaksa pasangan untuk men-treatment kita dengan masalah-masalah kita yang membentuk diri kita saat ini.
3.Cara memandang uang, rezeki dan keberkahan hidup
Cara memandang uang, rezeki dan keberkahan hidup ini bagi saya dan pasangan juga tak kalah penting. Memandang uang yang kita dapatkan dari mana dan untuk apa, perbedaannya dengan rezeki dan bagaimaana mawas diri dengan segala nikmat yang Allah turunkan dengan menjaga keberkahannya. Kami sudah menyamakan persepsi akan hal ini. Tentang bagaimana pentingnya kehalalan dari uang yang kita peroleh, keberkahan uang yang masuk ke tubuh kita. Saya sampai bilang ke pasangan saya saat itu, “A, berapa pun nafkah yang nanti dikasih ke Nazla , bakal diterima asal halal dan berkah. Bukan dari uang yang abu-abu apalagi haram“. Dan Alhamdulillah saat ini kami memiliki persepsi dan prinsip yang sama akan hal itu.
4.Cara marah
Cara marah ini berkaitan dengan pemecahan masalah saat adanya konflik. Jangankan dalam menikah, ketika kita berhubungan pacaran atau berteman pun konflik adalah keniscayaan. Cara marah ini perlu diketahui sebelum menikah agar kita bisa melakukan treatment yang tepat saat pasangan kita marah dan perlu juga memahami kondisi kerentanan mental kita apakah sanggup dengan cara marah pasangan kita. Seperti misalnya saya, kerentanan mental saya salah satunya tidak bisa dimarahi dengan nada tinggi apalagi dengan kekerasan fisik, ketika kondisi itu terjadi maka bukannya saya akan bisa men-treatment dan menerima kondisi tersebut, alih-alih saya malah ke-trigger dan bisa saja jadi depresi. Oleh karenanya, kita perlu memahami kerentanan mental kita serta cara marah pasangan kita tentunya. Kalau pun kita memiliki pasangan yang temperamen ya tidak apa-apa jika kita bisa menerima serta men-treatment diri dan pasangan kita di kondisi tersebut.
5.Finansial (Gaji, kebutuhan, gaya hidup, utang piutang)
Ininih yang paling banyak melahirkan konflik, lihat aja, berdasarkan data pun tingkat perceraian tertinggi karena masalah ekonomi. Gak bisa dipungkiri sih, memang permasalahan finansial ini yang cukup vital dalam berumah tangga nantinya. Tetapi menetapkan standar finansial untuk memilih pasangan ini sebenarnya sangat relatif. Hal ini berhubungan dengan kebutuhan pokok, gaya hidup dan urusan utang piutang kita dan pasangan.
Setelah kami mengobrol masalah finansial, sebenarnya secara kuantitatif gaji pasangan saya sebagai guru honorer dan pendapatan saya yang kerjanya by project ini sebenarnya tidak besar. Kalo kata beberapa orang gak masuk akal dengan gaji tersebut bisa menikah. Anggapan itu sah-sah saja. Namun setelah kami menganalisis finansial dan menghitung kebutuhan, kami merasa cukup dengan jumlah tersebut. Hal ini bergantung pada gaya hidup kita. Gaya hidup akan mempengaruhi kebutuhan kita sehari-hari, seperti tempat tinggal, makan sehari-hari, penggunaan social media dan lain-lain. Terlebih kami sudah menyamakan perspesi kami untuk memandang uang dan keberkahan hidup yang tentu sangat sangat berpengaruh pada urusan finansial.
Berkaitan dengan utang piutang, bisa dibilang kami orang yang cukup menghindari berhubungan dengan masalah utang piutang. Makanya kami menyepakati untuk sebisa mungkin menghindarinya. Hidup sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan
6. Cara komunikasi dan Love Language
Cara berkomunikasi ini berhubungan dengan kenyamanan pola komunikasi dengan pasangan. Karena setiap orang memiliki bahasa cinta yang berbeda-beda, ada yang lebih nyaman secara langsung atau berkomunikasi dengan intim melalui tulisan atau virtual. Sah-sah saja. Misalnya saya dan pasangan yang mendapatkan kenyamanan untuk berkomunikasi secara langsung tidak melalui daring. Hal ini berpengaruh pada kemampuan yang kami sadari tidak mampu LDR lama-lama hehehe. Karena kami memiliki komunikasi kurang baik jika terus-terusan komunikasi lewat daring. Banyak miskomnya, bund.
Cara komunikasi akan berpengaruh juga pada love language. Setiap orang memiliki bahasa cinta yang berbeda. Bahasa cinta adalah cara seseorang mengungkapkan kasih saying dan rasa cintanya pada pasangan. Hal ini penting untuk dipahami agar kita bisa memahami apa yang membuat kita nyaman dan bisa mengekspresikan rasa cinta sesuai dengan yang pasangan inginkan.
Menurut Dr. Gary Chapman ada 5 bahasa cinta, di antaranya: Words of Affirmation (Tipe bahasa cinta yang mengekspresikan lewat kata-kata misalnya apresiasi atau pujian), Act of Service (Tipe yang mengekspresikan lewat tindakan), Receiving Gift (Tipe yang nyaman ketika diberi hadiah sebagai bentuk rasa cinta), Quality Time (Tipe yang merasa dicintai saat bisa menghabiskan waktu dengan pasangan) dan Physical Touch (Tipe ini menunjukan kasih sayangnya melalui sentuhan fisik misalnya dibelai, dipeluk dan dicium).
Setiap orang memiliki bahasa cinta yang berbeda. Maka perlu mengomunikasikan ke pasangan bahasa cinta kita dan mengetahui bahasa cinta pasangan kita. Hal ini akan membuat kita lebih paham apa yang pasangan butuhkan untuk membuatnya merasa nyaman dalam berhubungan dan berkomunikasi.
7. Ekspektasi Rumah Tangga
Selanjutnya ekspektasi rumah tangga. Setiap orang pasti memiliki ekspektasi, karena kita dari kecil terbisa untuk membangun mimpi setinggi langit yang secara tidak langsung memupuk ekspektasi. Hal ini tentu bukan menjadi masalah saat kita sama-sama mengetahui ekspektasi kita dan pasangan saat setelah menikah. Seperti misalnya bagi beberapa orang memiliki ekspektasi setelah menikah ingin bahagia atau ingin selalu ditemani pasangan. Ekspektasi ini perlu dikomunikasikan agar pasangan memahami apa yang kita harapkan. Sehingga jika suatu saat terbentur dengan realita yang tidak sejalan ekspektasi, kita dan pasangan akan bisa mengomunikasikan hal tersebut. Intinya kalo saya sih, kalo berhubungan jangan banyak kode-kode, to the point aja, komunikasikan saja. Karena membiasakan kode-kode itu sebenarnya kita sedang memupuk ekspektasi dan fokus pada diri kita sendiri, sedangkan kita tidak memahami pasangan kita seutuhnya, apa yang dia rasakan dan pikirkan.
Terlebih kalo saya dan pasangan sejak awal sudah sama-sama menyepakati untuk merendahkan ekspektasi ketika berumah tangga. Enjoy aja dengan setiap kejutan yang akan dihadapi. Serta kami sudah tidak lagi menjadikan pasangan sebagai orang yang bertanggung jawab akan kebahagian kita. Tapi membangun kebahagiaan masing-masing untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan cara yang sederhana.
8. Cara Berumah Tangga (Visi misi keluarga, pembagian tugas, cara didik anak)
Terakhir adalah cara berumah tangga. Kebiasaan, pola asuh, inner child dan banyak hal yang sudah membentuk diri kita sekarang akan berpengaruh pada perlakuan kita kedepannya. Setelah saya dan pasangan memahami lini masa diri kita dari kecil hingga saat ini, kami sama-sama menyepakati apa yang akan kita bangun ketika berubah tangga. Visi dan misi berumah tangga itu penting juga agar kita memiliki acuan-acuan yang akan kita bangun dan hidup berumah tangga ini tidak monoton. Visi misi keluarga ini dibangun dan disepakati dari visi misi kita masing-masing. Seperti misalnya pasangan saya memiliki visi ingin membangun keluarga yang islami, sedangkan saya ingin membangun keluarga yang selaras dan berkelanjutan. Kedua visi itu digabungkan menjadi visi misi keluarga, membangun keluarga yang islami dan hidup selaras.
Selanjutnya kami juga melakukan kesepakatan dalam pembagian tugas domestik. Syukurnya, pasangan saya tipe orang yang santai dan tidak menuntut saya harus bisa segalanya. Sehingga kita melakukan pembagian tugas dengan tetap memperhatikan pekerjaan kami masing-masing. Misalnya ketika saya mencuci baju, pasangan saya yang menjemurnya. Cara didik anak ini juga kami sudah mulai obrolkan tipis-tipis sembari kami belajar parenting. Kami berbagi peran dalam mendidiknya, misalnya untuk yang membangun kedisiplinan di rumah itu pasangan saya dengan pembiasaan shalat tepat waktu dan mengaji, sedangkan saya yang berperan untuk membangun kepekaannya dengan membiasakan berbagi tiap hari Jumat. Hal-hal tersebut yang perlu disepakati dan hingga saat ini masih sering kami obrolkan. Intinya kalo kami sih dalam mendidik anak ini kitanya harus open minded, lebih banyak mendengar dan menerima dengan terbuka dan penuh kesadaran. Kalo point pola asuh anak ini sih kami juga masih ngawang ya karena belum punya anak wkwkwkkw, tapi secara garis besar ada beberapa hal yang kami sepakati dalam pembagian peran ketika memiliki anak.
Ternyata lumayan juga ya saya menulis ini, ya intinya begitu lah wkkw. Saya membahas ini dengan pasangan setiap saya bertemu dengannya di weekend. Jadi sampai saya bikin jadwal lho, minggu ini bahas A, minggu depan B, dan seterusnya sampai akhirnya satu bulan menuju nikah fokus pada persiapan acara pernikahan secara full. Udah dulu ya gengs, semoga bermanfaat!
0 Komentar