26 Juli 2021 adalah hari yang cukup sakral bagiku. Kalimat itu keluar dari mulutnya, “Neng, apa neng menerima Kang Iqbal untuk menjadi calon suami kamu?” Sontak, kalimat itu membuatku menangis. Saat itu, aku benar-benar tak bisa mendefinisikan perasaanku. Antara senang, sedih, menangis, terharu, ntahlah emosi apa itu. Aku hanya ingin menangis.
Flashback tentang perjalananku memahami pernikahan. Dahulu, aku sempat ingin nikah muda, keinginan itu pelan-pelan pupus hingga ada satu fase aku tidak berniat nikah sama sekali. Memiliki trauma dari latar belakang keluargaku yang bercerai membuat emosiku tidak pernah stabil jika membahas masalah pernikahan. Ada fase di mana aku membeci sebuah hubungan, aku enggan berpacaran, muak dengan kata taaruf, hingga aku memutuskan untuk tidak ingin menikah.
Perlahan aku belajar untuk mengelola emosi, memahami innerchild dan hingga saat ini masih belajar berdamai dengan diri sendiri dan masa laluku. Perlahan aku memutuskan untuk membuka hati saat aku berkuliah dan tetap tidak dengan status berpacaran (meskipun sebenarnya aktivitasnya ya berpacaran juga, sih). Aku hanya tidak ingin memiliki ikatan. Dulu aku bilang kepada doiku, “Aku gak mau ada kata putus, makanya gak usah berpacaran.” Perlahan aku menyadari bahwa alasan tersebut adalah emosi yang disebabkan oleh trauma masa kecil. Menjalankan hubungan saat aku belum berdamai memang cukup sulit, mungkin saja emosiku menjadi hubungan aku dengan mantanku dulu menjadi toxic. Mungkin saja, tapi aku tidak menyadari dan memahaminya. Hingga pada suatu titik, aku semakin belajar untuk memahami diri sendiri dan aku mendapat kekecewakan karena hubunganku dengan mantanku perlahan menjadi tidak baik-baik saja, aku mulai mengenali diriku sendiri bahwa aku kurang cocok dengannya, ada di titik di mana aku merasa dia akan menjadi lebih baik tanpa aku. Hingga aku menjalani proses yang cukup panjang untuk menerima dan move on darinya. Beberapa tulisan kutulis saat aku berproses untuk menerima segala ketentuan-Nya yang saat itu berat bagiku.
Aku yang saat itu ada di puncak kegalauan (bagaimana tidak, aku menjalankan hubungan sudah hampir 4 tahun) akhirnya keluar mencari kegiatan untuk coping mechanicm. Aku mendaftar kegiatan relawan ke pelosok di Gerakan Sukabumi Mengajar. Di sini adalah pertemuanku dengan Kang Iqbal. Pada awalnya, kami biasa saja. Berteman sebagai Adik dan Kakak dalam komunitas. Memang saat itu, Kang Iqbal sering banget curhat kepadaku tentang gebetannya, yang ternyata adalah sahabatku. Lucu bukan? wkwkkw
Namun, lama-lama hubungan kami semakin intens, hingga Kang Iqbal akhirnya baper wkwkwk. Aku sebenarnya tipe orang yang sudah menetapkan boudaries dari awal. Kalo emang dia cukup sebagai teman atau sahabat, maka aku tidak akan menjadikannya sebagai pacar. Namun seiring berjalannya waktu, aku melihat keseriusan Kang Iqbal, dia ada niat untuk menikahiku, bukan untuk sekadar pacar. Hingga, ibunya memberi tauku tentang niat Kang Iqbal untuk serius padaku. Di titik itu, ntah dapat ilham dari mana hehe aku memutuskan untuk istikharah (ya mumpung belum baper kan) dan aku meminta beberapa temanku untuk bantu istikharah. Pelan-pelan keyakinan itu muncul, aku bahkan sudah mulai berdamai dengan hubunganku yang dulu.
Akhirnya seiring berjalannya waktu kami mulai mengenal satu sama lain, aku mulai mencari tau bagaimana karakternya, kebiasaannya dari teman-teman terdekatnya. Semakin hari perasaan itu muncul namun tidak menggebu. Aku masih tenang dan tidak memiliki banyak ambisi.
Satu hal yang membuatku yakin untuk mencoba menerima Kang Iqbal adalah karena aku ada di fase pasrah terhadap ketentuan-Nya. Aku benar-benar menyerahkan semua niat kami kepada-Nya. Hatiku tenang, tidak ada ambisi untuk memaksakan ingin berjodoh padanya. Hingga saat ini pun, aku masih berdoa, “Ya Allah jika niat menikah kami akan membawa kemaslahatan bagi hidup kami dan akan membuat kami menjadi manusia bermanfaat maka tunjukkanlah jalan-Mu, namun jika hanya membawa kemadharatan ke depannya maka jauhkanlah kami dan kuatkan kami dengan segala ketentuan-Mu”. Hingga saat ini pun setelah hari khitbah itu selesai aku tetap istikharah dan memohon doa yang sama. Karena bagaimana pun kita tidak tau jodoh kita siapa bahkan jika sudah dilamar sekalipun.
Hari itu, saat Kang Iqbal melamarku, aku mengartikan perasaanku terharu karena ada yang mau menerimaku apa adanya. Sekian, semoga Allah kuatkan kami hingga pernikahan kelak.
0 Komentar