Penyusunan konsep pernikahan sudah kami rampungkan secara detail, sebagaimana saya ceritakan pada tulisan sebelumnya. Bahkan saya dan calon suami melakukan briefing membahas PPT proposal pernikahan yang telah kami susun untuk menyamakan persepsi saat menyampaikan kepada orang tua.
Setelah mengkomunikasikan, orang tua kami secara keseluruhan setuju dengan konsep pernikahan kami yang sederhana dan tidak harus mewah-mewahan. Apalagi setelah tahu bahwa kami ingin menyisihkan uang dana pernikahan tersebut sebagian untuk modal setelah pernikahan. Syukurnya mereka mengerti. Namun, menurut Bapak saya, meski sederhana tapi jangan memalukan, katanya. Karena Bapak saya pertama kali menikahkan anak putri, ya saya, saya paham beliau juga tidak ingin mengecewakan anak putrinya dan ingin menyambut tamu undangan dengan baik.
Ada beberapa konsep yang direvisi setelah mengobrol dengan kedua orang tua kami:
- Kursi Pelaminan
Sebagaimana pada tulisan sebelumnya bahwa kami yang sama-sama introvert dan tidak ingin menjadi pusat perhatian, awalnya memilih untuk tidak ingin ada kursi pelaminan. Biar saja kami yang mengunjungi para tamu pada awalnya. Namun orang tua saya kurang setuju dengan konsep seperti itu, karena masih mengikuti budaya pernikahan sebagaimana biasanya tamu yang memberikan selamat kepada pengantin dan keluarga mempelai. Akhirnya kami pun sepakat untuk menggunakan kursi pengantin, namun kami meminta untuk menggunakan kursi pengantin yang sudah aja saja. Karena kebetulan kursi ruang tamu saya nuansanya natural, jadi masih masuk konsep tema kami. Selain itu, kami ingin menghemat budget dengan tidak menyewa kursi pengantin yang menurut kami kurang esensial, juga seperti prinsip kami di awal mengoptimalkan sumber daya yang ada, sehingga mengurangi jejak karbon. - Baju Pengantin
Kami tipikal orang yang simpel dan gak mau ribet, termasuk saya yang tidak ingin berdandan terlalu bold ketika nanti di acara pernikahan. Konsepnya sih, sederhana saja dengan konsep make-up syar’i. Kami juga berniat menggunakan pakaian yang sudah ada, saya menggunakan kebaya lungsuran uwa dan hasil seragaman dulu dengan alm mama, sedangkan calon saya menggunakan jas dan kemeja yang sudah dia miliki.
Namun, setelah mengobrol dan meminta banyak pertimbangan dari keluarga dan teman terdekat, akhirnya kami memilih untuk menyewa baju pengantin. Begitu pula saya yang awalnya ingin berkonsep kerudung syari akhirnya berubah menjadi kebaya sunda dengan siger. Pertimbangan ini sejujurnya saya cukup terpengaruh oleh beberapa teman saya di Surabaya yang telah menikah menggunakan siger sunda. Mereka bilang, “Aku aja orang Jawa pengen pake siger sunda, lho ya wong sunda kok gak bangga.” Begitu pula Bapak saya yang menginginkan putrinya menggunakan kebaya adat sunda, meskipun beliau tidak memaksa, lebih membebaskan saya, sih. Saya akhirnya memutuskan untuk menyewa baju pengantin dengan make upnya dengan adat sunda tetapi tetap syar’i. Tentunya saya mencari MUA dan tempat penyewaan yang sesuai budget saya yang minim ini hehehe. - Baju Seragam Keluarga Inti
Perihal baju seragam keluarga inti ini sebenarnya kami menanyakan secara terbuka keinginan orang tua kami. Kami setuju saja jika mereka ingin menyewa seragam. Namun ternyata ada permintaan dari keluarga calon suami saya ingin menjahit kebaya dan batik seragam. Karena sayang kalo nyewa, katanya. Kebetulan memang sedang butuh juga, begitupula keluarga saya yang memang sudah ada rencana membuat seragam kebaya dan batik untuk keluarga. Akhirnya kami menyepakati membeli bahan dan menjahitnya sendiri. Saya dan orang tua saya yang membeli bahan tersebut di Pasar Baru Bandung tentunya, biar murah tapi tetap berkualitas. - Ingin ada Es Krim, Cuanki dan Disediakan Kopi!
Mengenai konsep minim sampah dalam parasmanan juga orang tua kami menyetujui. Namun, Bapak saya meminta ingin ada makanan ringan tambahan yaitu cuanki dan es krim. Dan ini sebenarnya membuat saya berpikir lama, bagaimana ini kalo pake cuanki dan kopi gitu kan harus pakai kemasan sekali pakai karena untuk menyewa wadah sebanyak itu akan over budget. Saya tidak menolak permintaan itu, namun saya meminta untuk menggunakan kemasan yang lebih ramah lingkungan. akan saya ceritakan di tulisan yang lain mengenai pemilihan kemasan yang ‘lebih’ ramah lingkungan ini. - Undangan
Kami memperkirakan tamu undangan sebanyak 700 orang setelah kami data dari kedua keluarga mempelai. Undangan awalnya kami rencanakan dengan mengirim full digital. Namun, kata orang tua saya tidak mungkin semua tamu bisa diundang dengan digital, terutama untuk tamu orang tua kami. Kami pun melist kembali tamu undangan yang harus dindungan dengan undangan fisik dan setelah di list ternyata hanya kurang dari 200 orang, sehingga kami hanya mencetak 200 undangan fisik.
Undangan fisik yang kami cetak pun saya meminta untuk desain yang tidak perlu dibungkus dengan plastik. Untungnya ada desain yang bisa menggunakan tali rami, yeay! Untuk undangan digital, awalnya kami hanya berencana mengedit undangan melalui eflyer dan video, meski sekarang sedang ramai dengan undangan berbasis website. Namun qadarullah saya tiba-tiba ingin coba membuat undangan website sendiri di blog saya dan berhasil, meski pun featurenya tidak selengkap seperti di jasa pembuat undangan digital lainnya. Akan saya ceritakan di tulisan yang lain tentang undangan digital yang saya buat.
Itulah beberapa perubahan konsep setelah kami mengajukan proposal pernikahan kami kepada orang tua dan keluarga. Pernikahan itu tidak hanya menyatukan dua kepala, namun dua keluarga dengan banyak kepala. Maka, kita perlu tetap terbuka dan adaptif dengan segala perubahan yang ada. Hidup minim sampah bukan sekadar gaya hidup tetapi pilihan hidup yang akan menjadi proses perjalanan panjang, bukan tujuan akhir. Pelan-pelan saja, karena tidak ada langkah yang terlalu kecil untuk kebaikan. InysaAllah.
0 Komentar