Hajat Balik Modal dan Pro Kontra Nikah Sederhana

Perjalanan kami untuk merencanakan konsep pernikahan sederhana dan minim sampah memang tidak mudah. Pengaruh budaya pernikahan yang harus ramai dan mewah masih menjadi referensi utama kedua orang tua kami, terutama ibu sambung saya. Namun, setelah perlahan dikomunikasikan dan mengalami beberapa perbaikan akhirnya kami menemukan titik temu yang sama-sama menyamankan. Meski di tengah jalan terkadang kedua orang tua saya mengubah konsep karena mungkin dipengaruhi oleh lingkungan.

Sempat suatu ketika Bapak menghampiri saya dan menceritakan hasil obrolannya dengan rekan-rekan di kantornya. Satu kalimat yang cukup mengambil atensi Bapak saat itu, “Masa sih Pak (menyebut nama Bapak) menikahkan anak putrinya gak di gedung, ya pasti bisa lah.” Saat itu hati saya cukup tidak enak karena barangkali bapak tersinggung dengan kalimat yang disampaikan rekannya itu. Namun, tak disangka Bapak menanggapi pernyataan itu dengan santainya, “Ya bukan gak bisa, anaknya yang gak mau, katanya mau diganti jadi beli tanah dari pada ramai-ramai satu hari.” Huaaa, lega rasanya mendengar jawaban bapak.

Saya bersyukur kelegowoan bapak, terlebih memang kepribadian bapak yang tidak mudah tergoyah dan gak gengsian. Cenderung cuek tetapi sangat memikirkan hal-hal yang esensial bagi pernikahan kami. Karena ternyata ada saja memang orang tua yang memiliki gengsi yang tinggi ketika akan menikahkan putrinya. Harus mengadakan pernikahan megah sampai-sampai menuntut anaknya atau utang sana-sini. Ya karena sebagaimana saya sudah jelaskan sebelumnya prinsip saya nikah semampunya, sesuai budget dan jangan sampai ada utang sedikit pun. Jangan utang sedikit pun, Pak, Bu; yang selalu kami wanti-wanti kepada kedua orang tua kami. Karena kami tidak ingin setelahnya justru malah akan merepotkan orang tua kami.

Biarin utang juga, yang penting hajat rame, nanti juga balik modal!’

Pernah denger gak istilah balik modal dalam hajatan? Sejujurnya saya baru mendengar istilah itu setelah akhir-akhir ini mengobrol sana sini dengan teman-teman yang sudah menikah. Istilah itu juga ramah di telinga orang tua saya. Ternyata budaya hajatan rame demi balik modal itu masih saja melekat di masyarakat. Berharap setelah hajat akan mendapatkan banyak amplop untuk menutup biaya yang telah dikeluarkan. Bahkan bapak saya pernah bercerita sampai ada yang hajat itu seperti berbisnis, bagaimana caranya mengeluarkan seminim mungkin, balik modal lebih besar. Udah kaya hukum ekonomi yee bund.

Jujurly, kami kurang sepakat dengan menggaungkan ‘nanti bakal balik modal’. Karena berarti ada misorientasi alam tujuan hajatan dalam hal ini resepsi pernikahan. Resepsi yang seyogianya menjadi lahan syukur bagi keluarga, akhirnya berkurang kekhidmatannya karena melencengnya niat karena budaya. Resepsi pernikahan yang harus rame kan tidak wajib. Kalo dalam Islam, diajurkan diadakan walimah setelah akad. Walimah adalah acara syukuran dengan makan-makan setelah akad nikah. Walimah bukan berarti resepsi yang harus di gedung, ramai, ada hiburan mahal.

Bahkan dalam hadits Rasulullah SAW bersabda, “Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam melihat pada pakaian Abdurrahman bin Auf ada bekas minyak wangi. Nabi bertanya: ada apa ini Abdurrahman? Abdurrahman menjawab: saya baru menikahi seorang wanita dengan mahar berupa emas seberat biji kurma. Nabi bersabda: baarakallahu laka (semoga Allah memberkahimu), kalau begitu adakanlah walimah walaupun dengan seekor kambing” (HR. Tirmidzi no. 1094, An Nasa-i no. 3372, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi).

Dalam hadits yang lain bahkan ada sahabat yang mengadakan walimah dengan dua mud gandum. Artinya, dalam hal ini anjuran dan kewajiban walimah adalah dengan makan-makan yang tidak terpaku standarnya seperti apa. Tentu akan menyesuaikan dengan budaya daerahnya masing-masing. Yang pasti esensi walimah ini perlu dipahami, yaitu bentuk syukur dan ruang mengabarkan kabar baik pernikahan kepada orang lain.

Saya mengobrol kepada Bapak mengenai konsep ‘hajat balik modal’ ini. Saya menyampaikan ketidaknyamanan saya jika pernikahan ini bertujuan untuk balik modal. Syukurnya bapak memiliki pemikiran yang sama. Kata bapak, ‘Nikah ya nikah, ngeluarin biaya ya wajar, luruskan niat untuk syukuran, yang penting berkah.” Alhamdulillah lega, ternyata saya dan orang tua memiliki value yang sama.

Begitulah cerita pro kontra pernikahan kami. Tentunya masih banyak lagi pro kontranya, saya ceritakan pada masing-masing tulisan dengan topik yang berbeda. Pernikahan itu bukan berarti harus sederhana seperti pernikahan kami. Namun, perlu sadar betul dengan tujuan pernikahan tersebut, bagaimana pun konsepnya. Karena bukan tentang mahal dan murahnya biaya, adalah tentang keberkahannya ketika kita benar-benar melakukannya dengan kesadaran dan tentang bagaimana memilih langkah yang paling maslahat dan sedikit kemadharatannya.

Wallahu’alam Bishawwab.

Posting Komentar

0 Komentar