Jelajah di Tengah Pandemi

Nas, kok pandemi gini malah jalan-jalan ke luar kota?”

Aku nekat ke luar kota bukan tanpa alasan tapi tidak juga menentukan banyak tujuan. Memutuskan untuk berjelajah setelah lebih dari 1 tahun diam di rumah. Aku memang sudah merencanakannya cukup lama, ini caraku untuk menjaga mental tetap waras. Meski aku seorang introvert tapi bukan berarti aku bisa kuat terus berada di dalam ruangan, namun bukan berarti aku juga harus keluar bertemu banyak orang. Keluar dan melihat dunia bukan berarti aku harus berinteraksi langsung dengan banyak orang. Cukup banyak diam, mendengar dan melihat itu sudah sangat cukup bagiku. Maka, sebelum menjalani perjalanan aku sudah antisipasi dengan keadaan yang sedang tidak baik-baik saja ini. Tetap selalu memakai double masker, membawa hand sanitizer, menjaga jarak dan tidak ke tempat ramai (karena aku gak suka mall wkkw juga tempat wisata yang terlalu padat, huuuh bikin kehabisan energi, bund).

Hari ini tepat hari keempat PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat semenjak meningkatnya kasus covid gelombang 2. Tidak terbayangkan sebelumnya, karena regulasi ini benar-benar mendadak. Pengumumannya keluar saat aku sedang ada di Jogja dan sudah membeli tiket pemberangkatan ke Surabaya. Syukurlah aku sudah menjalani vaksin di Sukabumi, karena salah satu syarat untuk transportasi harus menyertakan kartu vaksin selain diharuskan test antigen. Masa-masa ini memang sulit, namun bagiku cukup menarik juga di usiaku 22 tahun ini aku mengalami masa pandemi ini. Setidaknya ada cerita untuk anak cucu nanti.

Pandemi, benarkah ini konspirasi?

Kemarin beberapa orang meminta pendapatku mengenai pandemi, beberapa diantaranya mengirimkan video yang menjelaskan pandemi itu konspirasi. Pandemi yang semula berasal dari kebocoran lab untuk membuat senjata biologi hingga sebuah strategi untuk memasukan chips ke tubuh kita. Saat aku berdiskusi dengan mereka akan kondisi pandemi sekarang aku juga kadang-kadang mengiyakan. Apalagi setelah terjadi kenaikan harga yang gak wajar saat panic buying. Memang sih secara ekonomi, supply demand saat mempengaruhi harga pasar. Namun, apakah dijelaskan mengapa selisihnya sebegitu besarnya? Ditambah jangan lupa, kasus korupsi bansos besar-besaran, apa itu bukan konspirasi? Sulit bukan memahami bahwa korupsi sebesar itu hanya dilakukan oleh satu orang?

Selain itu, beberapa percaya bahwa vaksin tidak berguna, hanya menghabiskan uang negara. Banyak yang dipositifkan agar mendapat bantuan. Hingga aku pernah mendengar celoteh seorang warga, “Oh yang kena covid dapet 20 juta? yaudah aku mau daripada cari duit susah di masa pandemi.” Miris sekali bukan? Ditambah semenjak PPKM darurat kemaren untuk transportasi darat yang awalnya menggunakan GENOSE, metode untuk mendeteksi apakah seseorang terinfeksi virus COVID-19 hasil riset UGM, kini wajib menjadi rapid antigen yang harganya cukup mahal daripada genose. Prinsip kerja Genose itu cukup sederhana dan mudah dipahami, yaitu mendeteksi VOC (Volatyle Organic Compound) yang khas COVID-19 pada hembusan nafas seseorang. Dan hasil uji coba menunjukkan genose jauh lebih baik dari rapid antibody, dan setara dengan swab antigen. Lah, terus sekarang kenapa diubah jadi rapid antigen dan genose sudah gak berlaku lagi (kalo aku naik kereta, sih hehe)?

Ah, ntahlah. Mungkin mereka ‘hanya’ oknum yang memanfaatkan kesempatan dan sedang ‘khilaf’ bahwa mereka manusia sampai mengorbankan banyak orang (ini positive thinking, loh!). Namun, sejujurnya yang lebih sebal lagi bagiku saat ada pandemi ini adalah karena adikku yang masih duduk di bangku SD akhirnya sekarang sangat sulit belajarn dan lebih sering bermain gadget. Sistem daring yang secara tiba-tiba sangat sulit diadaptasi dengan baik oleh anak seusia SD. Banyak sekali kasus yang ku dengar dari kawan-kawanku yang guru terutama atau bahkan aku melihatnya langsung ke lapangan, adanya kegagalan beradaptasi dengan sistem pendidikan yang terlalu instan. Guru-guru yang sudah sepuh yang tidak ramah dengan teknologi menjadi sangat kelabakan, pendidikan di pelosok dipaksa harus daring sedangkan mereka sangat kekurangan fasilitas dan jaringan yang tidak memadai, bahkan anak yang secara psikologi belum siap menerima pendidikan dalam sistem dalam jaringan (ditambah TikTok datang saat pandemi) membuat mereka akhirnya menjadi terbiasa dengan gadget dan gadget lagi. Ini bukan salah mereka, bukan salah guru kita, bukan salah orang tua kita, namun sistem yang memaksa kita.

Menurutku ini adalah suatu perubahan perilaku yang sangat massif dan merugikan jika tidak dipahami secara sadar. Dalam Theory of Change digambarkan bahwa untuk mengubah masyarakat perlu ada intervensi secara masif yang didesain secara utuh dan terstruktur. Dalam hal ini pandemi membuat adanya perubahan perilaku (behaviour change). Theory of Behaviour Change membuat masyarakat didesain untuk dapat memahami suatu hal dengan mudah. Semuanya mengubah perilaku secara subtleno effort, dan tidak ada ajakan apalagi himbauan. Membiarkan sistem otomatis untuk merespon sehingga suatu stimulus mudah, cepat, tepat direspon. Perilaku pun cenderung mudah diubah dengan menerapkan prinsip ini yang fokus pada automatic system dan heuristik. Ya, seperti anak-anak sekarang bermain gadget seharian, apakah ada yang memaksa? itu terjadi sendirinya.

Percaya Konspirasi? Tetap perlu mawas diri!

Dengan kondisi itu, aku juga kadang bingung untuk menentukan sikap, aku sebal jika memang covid ini konspirasi, kok ada orang yang sejahat itu untuk kepentingannya sendiri? Tapi aku sebal juga ke para penganut teori konspirasi covid-19 yang akhirnya menyepelekan protokol kesehatan. Gak mau pake masker dan tetap bercanda tawa nongkrong tanpa henti dan tidak membatasi diri. Heeeeeei! iyaiya gapapa kalo kamu percaya covid itu konspirasi. Namun, kita juga perlu membuka mata bahwa banyak orang yang dikorbankan dengan kejadian ini, banyak tangisan dan beberapa hari ini berita duka membanjiri dan terus datang berganti, suara ambulans yang terdengar dimana-mana, apakah tidak membuat trauma? Tenaga kesehatan banyak yang tumbang karena kelelahan, banyak rumah sakit yang over capasity sampai banyak IGD yang ditutup sementara, bahkan pasien yang terlalu banyak sampai memenuhi lorong-lorong rumah sakit. Miris dan menyakiti.

Kejadian Tidak Terjadi Kebetulan

Oke, anggaplah covid itu diciptakan, tapi bukankah sekarang sudah menyebar di antara kita dan tak bisa kita kendalikan. Aku selalu percaya kalo semua hal terjadi dengan alasan dan tidak terjadi kebetulan. Kalau pun memang covid itu terjadi karena kondisi alam, tentu merupakan suara alam untuk memulihkan diri. Aktivitas manusia yang mempengaruhi perubahan iklim sangat berhubungan dengan kejadian pandemi karena alam sudah tidak seimbang. Bukankah kondisi tersebut kita ciptakan secara tidak langsung? Kalau pun covid diciptakan segelintir orang, aku yakin kecerdasan mereka dan kejadian ini dikehendaki oleh-Nya. Bagiku yang beragama islam yakin bahwa kecerdasaran dan ilmu yang diberikan adalah anugerah. Jika virus ini dibuat, itu adalah anugerah kecerdasan yang Allah berikan pada mereka. Terlebih kita menggunakannya untuk kebaikan atau keburukan itu adalah pilihan. Termasuk pandemi ini terjadi atas izin dan kehendak-Nya.

Oleh karenanya, perlu kita lebih memahami secara utuh apa yang terjadi. Tidak ada salahnya untuk mendengar konspirasi covid tapi perlu juga membuka mata akan kondisi masyarakat saat ini, serta perlu berefleksi terhadap apa pelajaran yang perlu diinternalisasi dalam diri.

Adanya pandemi membuat kita lebih sadar dan lebih sehat, mencuci tangan dan menggunakan masker. Ini tentu behavior change yang sangat bagus! Namun dibalik itu, kalo kata Mang Bubun (seorang petani yang kutemui), perlu disadari bahwa ada filosofi hidup dibalik pandemi. Saat dunia kisruh seperti ini, kita disadarkan untuk menjaga jarak, di mana saat ini kita sangat lupa batasan untuk berhubungan antar manusia, lawan jenis yang terlalu berdekat-dekatan padahal bukan mahram. Kita diharuskan memakai masker untuk membatasi pembicaraan, disaat kita selama ini terlalu sering mengghibah, ceplas ceplos sampai menyakiti, ghosting dan banyak berbicara padahal tidak perlu. Kalo dalam hadits, “Berkata baik atau lebih baik diam“.

Mengenai mencuci tangan aku ingat betul saat SD dulu, guru ngajiku berkata bahwa ada bacaan saat kita wudhu, termasuk mencuci tangan di awal wudhu. Berwudhu bukan hanya tentang membersihkan secara fisik namun secara bathin. “Allahummah fadya dayya mimma asikaa kullihaa (Ya Allah peliharalah kedua tanganku dari semua perbuatan maksiat pada-Mu)“. Begitulah bacaannya. Pandemi seyogianya membuat kita lebih sadar secara bathin untuk berefleksi berapa banyak maksiat yang kita lakukan dengan tangan kita. Mungkin tidak seekstrim mencuri, namun meminjam barang teman tanpa bilang bukankah itu gashab? sebuah maksiat yang terlihat kecil dan tidak terasa, padahal kita tidak tau dosa-dosa kecil mana yang menghalangi langkah kita. Apalagi di akhirat nanti yang akan bersaksi adalah seluruh anggota tubuh kita termasuk tangan. Bukan mulut. Karena apa yang kita perbuat lebih jujur dari apa yang kita ucapkan.

Ntahlah, ini hanya sebuah persepsi bukan kebenaran. Aku sedang belajar untuk lebih sadar menentukan sikap dan menginternalisasi nilai yang kudapat, semoga kamu juga ya! Tulisan ini kubuat untuk mengekspresikan pikiran ku yang selalu berisik dan hatiku yang sering berbisik. Biarlah menjadi catatan pengingat agar aku lebih mawas diri dan merekam perjalanan hidup yang semoga anak cucuku bisa memetik pelajaran. hihihi.

Surabaya, 6 Juli 2021

05.33 s.d. 07.10 WIB

Posting Komentar

0 Komentar