Setelah kurang dari 4 tahun berkuliah sebagai mahasiswa Teknik Lingkungan, aku sangat bersyukur dengan semua proses yang telah kulalui dengan hasil terbaik, menurutku hihi. Meski terkadang aku merasa bahwa aku tidak begitu bekerja keras karena tidak merasakan banyak drama sampe nangis-nangis seperti teman-temanku selama menjalani tugas besar apalagi tugas akhir. Ntahlah, yang pasti aku sangat enjoy dan let it flow!

Hingga sebenarnya 1 minggu menuju waktu sidang tidak lantas membuatku takut menghadapinya justru ntah mengapa aku berpikir ‘Duh kenapa begitu cepat? Setelah ini aku gak bisa bebas tanya dosen dong, gak  bisa mengatasnamakan mahasiswa dong kalo ikut acara. Setelah ini aku berdiri atas namaku sendiri’ Walah-walah, pikiran-pikiran itu yang akhirnya membuatku dilemma menghadapi sidang. Artinya, setelah ini aku akan berkecamuk dengan pikiranku (lagi) ‘Apa yang aku lakukan setelah ini dan apa esensi hidup dan kehidupan untukku? Termasuk setelah lulus ini, ‘Apa pekerjaanku nanti? ‘Mau lanjut S2 cari beasiswa?’ ‘ Apa mau nikah tapi hidup sederhana?’ dan masih banyak lagi pertanyaan yang sangat berisik di pikiranku.

Perjalanan panjang membawaku pada setiap keputusan yang aku sangat pertimbangkan dengan kesadaran dan hati-hati. Aku sampai saat ini masih belajar untuk lebih sadar dan mawas diri dengan segala keputusan hidup yang akan aku jalani. Saat ditanya, ‘Nas prospek jurusan kamu itu apa?’ aku bisa sangat mudah menjawab, ‘Kerja di proyek, industri, konsultan lingkungan, pemerintahan, NGO, wah banyak banget deh pokoknya!’. Lalu, saat ditanya lagi, ‘kamu minat ke mana?’. Tengtong, jujur aku benar-benar tak punya pilihan dengan alternatif pekerjaan itu. Memang sih prospeknya luas banget, bahkan gajinya pun menjanjikan.

Hasil tes kepribadianku yang menunjukan aku adalah seorang INFP-T, katanya aku seorang idealis dan tidak begitu suka aturan yang terlalu terikat sebagaimana ceritaku di tulisan sebelumnya, aku benar-benar bingung pekerjaan apa yang bisa aku upayakan setelah ini. Kakak keduaku pernah bilang, ‘jangan terlalu idealis, realistis aja, ambil dulu aja tawaran kerja di D*H.” Berat banget saat dibilang begitu, aku juga tidak tau definisi idealis sebenarnya, apakah idealis itu salah? yang pasti aku sangat tidak akan nyaman ada di lingkungan yang aku sudah tau bagaimana value yang mereka pegang, sedangkan aku tau seharusnya tidak seperti itu. 4 tahun aku ada di lingkungan itu, aku hafal betul bagaimana sebuah program dibuat untuk sekadar menghabiskan anggaran, bagaimana cara memanipulasi anggaran, haduuuh kayanya aku gak akan betah. Kalo kata temanku, ‘Susah Nas, jadi orang bener di lingkaran setan’. Sampai akhirnya dia mundur juga dari pekerjaan seperti itu.

Apalagi di industri, haduh gak bisa kayanya. Selama ini aku sangat geram dengan kapitalisme yang sangat mengubah masyarakat. Kondisi pelik yang mengancam kesejahteraan bahan keberlanjutan masyarakat akibat kapitalisme yang kejam karena keserakahan ☹. Konsultan? Sebenarnya lebih bebas tapi tetap aja kalo mau dapet tender ya harus ngikut sistem yang diinginkan proyeknya. Haduh sama saja kan! Ah, sebal sekali mengapa aku begitu idealis.

Lalu, kamu ingin menikah dan hidup sederhana aja, Nas?

Aku sebenarnya sangat menginginkan hidup begitu. Hidup di desa bahkan di daerah pegunungan. Ber-homestead dengan membuat sistem lingkungan sendiri, pangan mandiri, energi terbarukan, homeschooling dan hidup selaras alam. Tidak tergantung pada kapitalis! Bisa hidup di atas tanah sendiri. Berkebun untuk memenuhi pangan di rumah agak tak perlu belanja ke pasar yang harganya tidak mensejahterakan petani, memasang panel surya dan biogas untuk kebutuhan listrik dan memasak, home schooling untuk anak-anak di rumah, membuka kawasan edukasi masyarakat dengan konsep sustainable. Hidup menuju kesederhanaan.

Tapi aku kadang bepikir, mengapa aku yang sedini ini bisa berpikir seperti ini. Kata orang-orang, usia kita ini usia produktif yang harusnya kejar karir, cari cuan sampai kaya, pokoknya manfaatkan tenaga muda ini, gitu katanya. Namun mengapa aku malah berkebalikan, aku malah merasa sudah capek mengejar kehidupan dunia yang serba cepat ini. Karena aku sebenarnya belum menemukan tujuan dan makna hidup saat aku terus mengejar, mengejar dan terus mengejar dunia. Kini malah hanya ingin hidup dalam kesederhanaan dan kemandirian.  Memang, sepertinya itu cita-cita para orang tua yang menuju pensiun bukan? hidup dengan tenang.

Tapi lagi-lagi, kenapa aku harus merasakan hal itu sedini ini? Apakah aku salah dengan pikiranku yang sekarang? menurut kalian gimana? :))

Sebuah curahan dari pikiran yang berisik,

Nanas,

Tasikmalaya, 27 Juni 2021

Pukul 09.47 WIB