Beberapa hari yang lalu, aku beberes beberapa berkas yang menumpuk di lemari. Decluttering seluruh dokumen dari TK hingga aku kuliah sekarang. Membuang beberapa kertas yang udah gak kepake lagi. Tiba-tiba aku menemukan selembar sertifikat hasil test minat bakatku di tahun 2009, tepatnya saat aku SD kelas 5 kalo tidak salah.

Aku cukup tercengang dengan hasil test minat bakatku. Bahwa ternyata aku berminat dan cocok menjadi seorang penulis, seniman atau pengajar. WOW! Saat SD dulu mungkinaku tidak mengerti, tidak menerima atau mungkin denial dengan hasil tersebut, hingga aku mengabaikannya. Karena sebenarnya sejak dahulu aku sangat menikmati pelajaran IPA saat SD lalu fisika, makanya kini berkuliah teknik lingkungan. Bahkan ketika SD dulu mama selalu mendorongku untuk mengikuti lomba puisi terkadang aku malas-malasan dan kurang menikmatinya.

Justru saat kini setelah 12 tahun akhirnya aku membuka lembaran itu lagi aku baru sadar memang mungkin sepertinya aku cocok untuk menjalani pekerjaan seperti itu. Hal ini ditunjang dengan hasil test MBTI ku, bahwa kepribadianku adalah INFP-T yang memang kurang suka dengan aturan yang mengikat, berjiwa bebas dan sangat idealis (tepatnya sangat memegang value yang aku yakini). Sampe sering dibilang “Ah elu mah gak realistis, sadar aja sama dunia yang udah kaya gini, mati kamu kalo terus idealis”.

Ah ntah lah, yang pasti aku sangat tenang mengikuti prinsip hidup yang kuyakini sampe sekarang meski suatu saat itu akan berkembang dan terus berubah. Aku sangat menikmati proses perjalanan spiritualku ini.

Balik lagi, ternyata aku cenderung untuk menjadi seorang independen. Kilas balik, bahwa dulu saat SMP aku pernah mengikuti lomba fisika lanjut saat SMA mengikuti OSN Fisika ya meski gak lolos sih di Kota hihihi. Hingga sekarang aku kuliah di Teknik Lingkungan. Semua proses itu sangat aku nikmati tanpa tapi, Alhamdulillah aku bisa mengikuti semua mata kuliah dengan baik yang dilihat dari hasil IPK ku yang cukup baik bagi seorang mahasiswa teknik.

Tapi hingga kini, di penghujung masa kuliah ku, minggu depan bahkan aku akan menjalani sidang akhir, aku masih dilema dengan apa yang akan aku lakukan setelah ini. Jurusanku Teknik Lingkungan, prospek kerjanya cukup luas, aku bisa menjadi konsultan, pekerja proyek, terjun berkarir di industri atau melamar di dinas atau kementerian. Namun dari semua pekerjaan itu tidak ada yang benar-benar masuk hati atau kalo kata bahasa sundanya kahatean. Terlebih dengan kepribadianku yang sulit diatur dan berjiwa bebas wkwkwk. Aku jadi ingat sebelum mamaku meninggal di Oktober 2018 pernah mendikte masa depanku “Ah, Nanas mah masa depan paling terjun ke sosial, pekerja sosial, soalnya gak mau diatur sistem”. Ahaaa, semakin memperkuat bahwa aku sepertinya gak bisa kerja di bawah sistem yang terlalu belibet.

Balik lagi, setelah melihat hasil test ku aku baru sadar ternyata memang aku sangat menikmati diriku saat aku sedang menulis, aku sangat mencintai seni ketika aku berjalan-jalan ke situs sejarah, menikmati lukisan orang, mendengar budayawan bercerita hingga telenggelam untuk memahami semua filosofi dari setiap bahasa karyanya. Meski aku gak pandai gambar atau musik. Tapi kalo kata temanku, “Kamu tuh Nas kalo nulis pun ada filosofinya dan itu seni”. Ntah apa lah itu. Lalu, ketika aku mengajar aku selalu mendapatkan banyak nilai dan kebahagiaan yang tak bisa aku definisikan. Apalagi ketika saat itu menjadi relawan di pelosok, aku benar-benar bahagia dan merasa tenang menjalaninya.

Ah, ternyata benar dugaan mamaku saat medikte masa depanku. Tentang pekerjaan, kalo kata temanku “Kalo kita mau cari tau pekerjaan yang cocok buat kita, coba liat nasabnya, ada gak keluarga kita yang kesana arahnya”. Jeng jeng jeng, aku baru sadar memang keluarga besarku tidak ada yang terjun berkarir di industri atau konsultan apapun itu. Basicnya petani, pembisnis, pengajar, seniman. Yaaaaa, pantas saja secara tidak langsung nilai hidupku mengarah ke sana, bahwa aku sangat merasa tenang jika aku menulis, mempelajari suatu filosofi seni dan mengajar.

Tapi tenang aja, aku gak pernah menyesal berkuliah di Teknik Lingkungan, justru ternyata ketika aku mempelajari lingkungan secara utuh aku bisa banyak kontemplasi akan kehidupan. Bahwa alam semesta ini saling berkaitan dan mendorongku untuk hidup lebih berkesadaran.