(Refleksi Hidup Berkesadaran dari Sampah Makanan)
“Neng, makannya harus habis ya, nanti nangis, lo!”
“Itu yang tertinggal di jari-jari, diabiskan!”
Kalimat-kalimat yang diulang-ulang oleh Mama sejak aku kecil dulu. Lama-lama bosan juga sampai sudah hafal betul bagaimana nada dan intonasi mama mengucapkannya. Bagaimana tidak? Setiap hari makan minimal 3 kali di rumah dan kalimat-kalimat itu selalu penyerta di sela-sela aku sedang makan. Aku yang semakin bertumbuh besar, semakin mengabaikan kalimat itu. Mana mungkin nasi nangis. Nasi menangis, ah tidak masuk akal, pikirku. Sejak kecil dengan kebawelan mama, memang kami akhirnya terbiasa untuk menghabiskan makanan, meski terpaksa hingga kami kekenyangan. Saat itu aku selalu menuruti kata mama hanya karena takut tanpa benar-benar memahami alasan mengapa aku harus melakukannya.
Juara Sampah Makanan, Aku Tidak Merasa!
Saat aku berkuliah, aku membaca sebuah post instagram yang menyajikan data bahwa Indonesia juara kedua penghasil sampah makanan terbesar yaitu 300 kg/orang/tahun. Itu angka yang besar, pikirku. Artinya jika dalam seharinya setiap orang rata-rata makan 3 kali, sampah makanan yang dihasilkan setiap kali makan sebanyak 0,28 kg. Ironinya, di samping itu, ‘sebenarnya’ dengan total sampah makanan 13 juta ton di Indonesia per tahunnya tersebut bisa menyelesaikan masalah stunting di Indonesia yang mencapai 27,67 persen menurut Survei Status Gizi Balita Indonesia tahun 2019.
Sejujurnya saat mengetahui data tersebut tidak lantas membuatku benar-benar sadar. Aku hanya sekadar tau dan tidak ada internalisasi nilai yang masuk ke dalam hatiku. Hingga aku masih saja tidak benar-benar aware saat menghasilkan sampah, apalagi hanya satu atau dua remah saja, ah dikit kok! atau sesekali buang makanan, gak sebanyak 0,28 kg kok, pikirku.
Hingga pada suatu titik, dalam sebuah perjalanan aku menemukan alasan mengapa aku harus lebih ‘sadar’ berkonsumsi, menghargai makanan meski hanya seremah atau dua remah nasi. Perjalanan yang membuatku banyak diam mendengarkan.
Refleksi dari Sekotak Nasi
Saat itu, aku sedang melakukan observasi lapangan untuk melihat pengelolaan sampah di suatu kota. Aku melihat ada sekotak nasi dan lauk yang masih utuh di sebuah tumpukan sampah. Mengapa dibuang begitu saja? Kalo tidak mau dimakan, mengapa tidak dikasihkan saja? Ah, gemas sekali melihatnya! Saat itu yang ada dibayanganku adalah begitu banyak dampak yang dihasilkan dari sekotak nasi yang terbuang tersebut. Sampah kresek, kemasan plastik, kertas, duplex, residu, sampah makanan. Belum lagi plastiknya beragam jenis yang tentu penanganannya pun berbeda-beda.
Sekotak nasi tersebut memiliki potensi dampak lingkungan yang begitu kompleks. Sisa makanan akan terdekomposisi sehingga menyebabkan emisi gas CO2, CH4, H2S, NOx dan banyak lagi. Apalagi jika proses pengelolaannya menggunakan alat pengolah yang pasti membutuhkan material dan bahan bakar tambahan yang tentu menambah jejak karbon dari prosesnya.
Senyawa kimia dari proses dekomposisi sampe akan terdispersi ke udara akan penyebabkan pencemaran yang menurunkan kualitas udara, hal tersebut berpotensi terhadap pemanasan global. Potensi eutrofikasi yang disebabkan peningkatan nutrient dari hasil dekomposisi sampah menyebabkan terganggunya ekosistem perairan. Asidifikasi dari senyawa H2S hasil dekomposisi sampah meningkatkan keasaman tanah yang menyebabkan hujan asam. Serta masih banyak lagi potensi dampak lingkungan yang sangat kompleks dan saling berhubungan.
Itu masih bahas sampah makanan, belum lagi sampah an-organiknya, plastik yang terurai bisa lebih dari 500 tahun, tergantung jenis plastiknya. Plastik yang terurai menjadi mikroplastik akan mengganggu ekosistem perairan dan bukan hal yang tidak mungkin jika kembali terakumulasi di tubuh sebagai konsekuensi dari proses panjang rantai makanan.
Disaat aku sedang sibuk dengan pikiranku akan dampak lingkungan yang kubayangkan, aku melihat seseorang datang dan mengeruk sampah. Dia melihat sekotak nasi yang tadi ku perhatikan. Lalu, dibukanya sebuah kotak makanan dengan nasi dan lauk yang masih utuh namun sudah tidak layak dimakan. Kulihat mimik mukanya yang penuh kecewa dan menghela nafas panjang. Mengorbankan perasaan orang lain ternyata, saat dengan mudahnya kita membuang makanan, pikirku. Belum lagi kita tidak tau seberapa banyak keringat dan energi yang dikeluarkan oleh seseorang hingga bisa menghidangkan sekotak nasi tersebut. Ah, ternyata dampaknya sekompleks itu. Beberapa detik momen tersebut membuatku banyak refleksi, sebuah turning point bahwa ternyata seremah nasi yang tersisa bukan hanya berdampak pada masalah lingkungan, tetapi kesehatan, sosial, ekonomi, budaya dan kompleks sekali ternyata.
Momen itu yang akhirnya membuat aku bisa memahami nilai dari kalimat yang selalu diulang-ulang mama sejak dahulu, ‘nanti makanannya nangis’. Benar, mereka menangis jika tidak dimakan, karena mereka akan membawa dampak buruk yang begitu kompleks yang membuat manusia bahkan lingkungannya menangis.
Sebuah Etika, Gaya Hidup Minim Sampah Makanan
Hierarki pengelolaan sampah dari hulu ke hilir dinyatakan dalam diagram segitiga terbalik. Hal ini menunjukan bahwa prioritas pengelolaan sampah itu seyogianya dioptimalkan dari sumber sampah. Pengelolaan sampah makanan perlu dilakukan di hulu karena penanganannya lebih mudah dan murah. Bayangkan saja jika setiap rumah tangga hanya ‘memindahkan’ masalah ke TPS, TPS 3R atau TPA, berapa banyak material dan energi yang dibutuhkan untuk mengelola dengan komposting, misalnya? Semakin pengolahannya dilakukan di hilir, semakin banyak sumber daya yang digunakan, semakin banyak potensi dampak lingkungan yang dihasilkan. Maka, kebijaksanaan berawal dari kita sebagai konsumen tingkat hulu dengan melakukan upaya dalam pengelolaan sampah secara sinergi dan holistik.
Upaya yang dilakukan di hulu salah satunya dengan menerapkan gaya hidup minim sampah makanan sebagai salah satu etika dalam berkonsumsi. Memaknai beretika terhadap makanan dan menerapkan gaya hidup minim sampah makanan memang tidak mudah. Membutukan proses panjang untuk terus menumbuhkan dan merawat nilai hingga dapat diinternalisasi dalam diri. Begitupun aku yang masih perlu teman untuk merawat kekuatan dan mempertahankan keyakinan itu. Namun banyak hal yang menarik selama aku melakukan perjalanan dalam memaknai gaya hidup minim sampah makanan yang ternyata sebenarnya agama bahkan budaya kita sudah mengajarkan dan mewariskan dengan begitu kaffah.
Dalam agama islam, dianjurkan untuk mawas diri terhadap berkonsumsi. Sebagaimana dalam salah satu ayat Q.S Al-Araf ayat 31 yang berbunyi,”Hai anak adam, pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap ke masjid, serta makan dan minum, tetapi jangan berlebihan. Sesunggunya, Allah tidak menyukai orang yang berlebihan.” Pada tafsir Al-Madinah Al-Munawarroh dijelaskan bahwa dalam ayat tersebut kita dianjurkan untuk bisa mengendalikan diri dalam berkonsumsi, tidak makan dan minum secara berlebihan. Karena berlebih-lebihan sebenarnya membuat kita lemah akal serta meninggalkan makanan sebenarnya kita sedang bunuh diri dan menjerumuskan diri kita ke dalam neraka. Jika dilihat secara utuh, bisa jadi memang 0,28 kg sampah yang kita ‘buang’ setiap harinya secara tidak sadar ternyata membawa kemadharatan kepada orang lain dan bumi ini.
Beretika dalam berkonsumi dengan menghargai makanan bahkan dijelaskan dalam sunnah untuk menjilat makanan sampai benar-benar tidak tersisa. Sebagaimana terdapat dalam hadist yang diriwayatkan Bukhari bahwa “Jika salah seorang di antara kalian makan, maka janganlah ia mengusap tangannya sebelum ia menjilatnya atau yang lain yang menjilatnya.”
Selain sebagai bentuk menghargai makan, islam secara kaffah membahwa pesan bahwa segala aturannya membawa kebermanfaatan. Menjilat makanan memiliki manfaat untuk kesehatan yang dijelaskan secara saintifik. Disampaikan oleh dr. Charles Gerba dari University of Arizona, Amerika Serikat bahwa makan menggunakan tangan dan menjilat jari jemari sesudahnya memiliki manfaat kesehatan karena di sela-sela jari manusia mengandung enzim Rnase yang berfungsi sebagai pengikat bakteri dan berfungsi sebagai kekebalan tubuh manusia.
Jadi ini jawabannya kalo mama bilang, “Neng, Itu yang tertinggal di jari-jari, diabiskan“. Ternyata remah yang tertinggal di jari pun memiliki manfaat saat kita mindful dan tau bagiamana harus menyikapinya.
Gaya hidup minim sampah makanan juga sebenarnya sudah diajarkan oleh nenek moyang kita sejak dulu. Aku menemukan sebuah nilai saat aku melakukan perjalanan ke masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi di pelosok Kabupaten Sukabumi. Mereka memiki kearifan lokal yaitu sangar ‘menghormati padi’, sumber pangan utama mereka. Bertani menggunakan konsep pertanian alami dengan tidak menggunakan bahan kimia dan teknologi modern karena diyakini berpotensi merusak ekosistemnya. Mereka tidak menjual padi dan menyimpannya di lumbung padi yang bisa kuat hingga 40 tahun. Sebegitu beretikanya pada padi karena bagi mereka menjual padi adalah menjual kehidupan.
Menariknya lagi, proses pemasakan nasi dilakukan secara tradisional menggunakan seeng dan aseupan yang dimasak diatas tungku kayu bakar. Selain baik untuk kesehatan, pemasakan ini juga dapat memperpanjang umur nasi yang dimasak karena tidak mudah basi sebagaimana jika kita menanak nasi di rice cooker. Proses penanaman padi hingga menjadi nasi yang melalui proses panjang dan dilakukan dengan mindful membuat mereka lebih menghargai setiap yang mereka makan. Tidak boleh ada nasi yang bersisa, pamali, katanya. Selama ini karena terlalu mudah mendapatkan makanan mungkin tanpa sadar kita terlalu menyepelekan. Berlomba-lomba mengikuti trend dengan pergi ke resto all you can eat. Padahal setiap keputusan yang kita buat akan berdampak. Memang selama kita hidup, dampak lingkungan adalah keniscayaan, namun kesadaran dan kebijaksanaan kita dalam memutuskan adalah upaya untuk memilih dampak negatif atau kemadharatan paling kecil.
Data dan fakta memang memuaskan logika, namun belum tentu ada internalisasi nilai yang masuk ke hati kita. Gaya hidup minim sampah makanan adalah proses panjang perjalanan hidup berkesadaran. Berawal dari diri kita sendiri, lebih sadar dengan mengetahui alasan saat melakukan dan bijak dalam menentukan setiap keputusan. Kesadaran akan menumbuhkan keresahan yang perlu dikelola dan dirawat. Salah satu caranya dengan mengajak orang lain terlibat dalam memaknai hidup berkesadaran dan mengupayakan bersama untuk menemukan kenyamanan (kebiasaaan, red) baru –gaya hidup minim sampah makanan– yang juga ‘menyamankan’ diri dan bumi.
Sendiri itu memang berat, makanya harus bareng-bareng. Salah satu ruang agar kita bisa tetap merawat energi dan saling menguatkan bisa terlibat di berbagai program bandungfoodsmartcity.com yuk ikuti sosial media dengan berbagai program kerennya!
Fanpage : bandungfoodsmartcity
Twitter : @bdgcerdaspangan
Instagram : @bandungfoodsmartcity
Youtube : bandungfoodsmartcity
Referensi:
Andersen, J. K., Boldrin, A., Christensen, T. H., & Scheutz, C. (2010). Greenhouse Gas Emissions from Home Composting of Organic Household Waste. Waste Management, 30(12), 2475–2482.
Aziz, R., Chevakidagarni, P., & Danteravanich, S. (2016a). Life Cycle Sustainability Assessment of Community Composting of Agricultural and Agro Industrial Wastes J. Ournal Of Sustainability Science and Management, Volume 11(Number 2,), 57–69.
Banar, M., Cokaygil, Z., & Ozkan, A. (2009). Life Cycle Assessment of Solid Waste Management Options for Eskisehir, Turkey. Waste Management, 29(1), 54–62.
Colón, J., Martínez-Blanco, J., Gabarrell, X., Artola, A., Sánchez, A., Rieradevall, J., & Font, X. (2010). Environmental Assessment of Home Composting. Resources, Conservation and Recycling, 54(11), 893–904.
Derwent, R. G. (2020). Global Warming Potential (Gwp) For Methane: Monte Carlo Analysis of The Uncertainties in Global Tropospheric Model Predictions. Atmosphere, 11(5), 486.
Jonson, J. E., Borken-Kleefeld, J., Simpson, D., Nyíri, A., Posch, M., & Heyes, C. (2017). Impact of Excess No X Emissions from Diesel Cars on Air Quality, Public Health and Eutrophication in Europe. Environmental Research Letters, 12(9), 094017.
Khorramdel, S., Shabahang, J., Ahmadzadeh Ghavidel, R., & Mollafilabi, A. (2019). Evaluation of Carbon Sequestration and Global Warming Potential of Wheat in Khorasan-Razavi Province. Agritech, 38(3), 330. Https://Doi.Org/10.22146/Agritech.28430
Murray, C. J., Müller-Karulis, B., Carstensen, J., Conley, D. J., Gustafsson, B. G., & Andersen, J. H. (2019). Past, Present and Future Eutrophication Status of The Baltic Sea. Frontiers in Marine Science, 6, 2.
Nurunissa, S., & Aziz, R. (2020a). Kajian Dampak Lingkungan Sistem Pengelolaan Sampah Di Kawasan Wisata Pantai Pariaman Menggunakan Metode Lca (Life Cycle Assessment). Prosiding Sinta 3.
Nurunissa, S., & Aziz, R. (2020b). Kajian Dampak Lingkungan Sistem Pengelolaan Sampah Di Kawasan Wisata Pantai Pariaman Menggunakan Metode LCA (Life Cycle Assessment). Prosiding Sinta 3.
Yousefi, M., Damghani, Abdolmajid Mahdavi, & Khoramivafa, Mahmud. (2016). Comparison Greenhouse Gas (Ghg) Emissions and Global Warming Potential (Gwp) Effect of Energy Use in Different Wheat Agroecosystems In Iran.
www.bandungfoodsmartcity.com
0 Komentar