Jika kendali rasio dan rasa dimiliki oleh setiap jiwa manusia, maka hanya kedamaian dan energi positif yang seharusnya tercipta dan ditebarkan pada dunia. Mungkinkah manusia ‘lupa’ akan fitrahnya?
Fitrah merupakan potensi dasar manusia yang harus terus dijaga. Potensi dasar dapat diartikan sebagai keadaan asal manusia dalam keadaan suci sesuai dengan tujuan penciptaannya oleh Allah SWT. Fitrah tersebut yang sebenarnya mendorong manusia untuk menjadi manusia sejati yang menjalankan kehidupannya tanpa alfa dan dosa. Dalam firman Allah Q.S. Ar-Ruum (30) ayat 30 berbunyi, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.” Berdasarkan Tafsir Jalalayn dijelaskan bahwa mengadapkan wajah itu untuk cenderung pada agama Allah yaitu dengan cara mengikhlaskan dirimu dan orang-orang yang mengikutimu di dalam menjalankan agama-Nya (fitrah Allah) ciptaan-Nya (yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu) yakni agama-Nya. Makna yang dimaksud adalah tetap atas fitrah atau agama Allah. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah pada agama-Nya dengan tidak menggantikannya dengan cara menyekutukannya. Maka, selama manusia hidup sebenarnya manusia memiliki kecenderungan untuk mengikuti jalan Allah secara kaffah karena begitulah fitrahnya.
Tentang menyadari
Sebagai analogi, jika sebuah industri tekstil yang sudah mendesain dan menargetkan outputnya dalam bentuk kain dengan kualitas dan diperuntukan untuk baju. Maka, fitrahnya kain tersebut sebagai bahan untuk membuat baju. Apakah kain tersebut bisa digunakan untuk bahan pembuatan celana, gorden atau taplak meja? Tentu bisa, namun tentu karena bukan peruntukannya akan terlihat kurang estetik, tidak sesuai dengan fungsinya dan tentu tidak akan disebut berkualitas jika digunakan untuk peruntukan lainnya. Begitu pula manusia bisa saja melangkahi fitrahnya, namun tentu tidak akan bisa menjadikan potensi dan kualitas yang telah Allah ciptakan disecara optimal.
Fitrah itu ‘bukan’ pilihan
Setiap manusia dikaruniakan kemampuan intelektual, mental dan spiritual agar manusia dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan fitrahnya. Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim disebutkan bahwa, “Setiap manusia dilahirkan ibunya di atas fitrah. Kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”. Berdasarkan hadist tersebut berarti Allah dengan segala Rahman dan Rahim-Nya menciptakan setiap manusia dalam keadaan suci yaitu telah menetapkan standar kualitas hidupnya sesuai dengan tujuan penciptaannya. Adapun manusia yang menyimpang dari fitrahnya itu tergantung pilihan hidup masing-masing. Namun fitrah akan selalu melekat pada manusia selama hidup, hanya tinggal kita yang memilih untuk mengoptimalkan potensi tersebut atau tidak mengacuhkannya.
Mengenal Stoa
Memahani fitrah kita sebagai manusia artinya kita hidup selaras dengan alam. Sebagaimana dalam prinsip utama filsafat stoisisme yang disadur dari buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring bahwa kita harus hidup selaras dengan alam (in accordance with nature). Stoisisme atau stoa adalah sebuah konsep filsafat yang sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu yang hingga kini masih relevan unruk diimplementasikan. Konsep stoa berarti jalan hidup yang lebih mengedepankan penafsiran kita pada sesuatu hal, baik yang tergantung pada kita maupun tidak. Konsep stoa menekankan bahwa hidup selaras dengan alam dengan menyadari bahwa ada satu hal yang membedakan manusia dengan makhluk yang lainnya, yaitu nalar, akal sehat, rasio dan kemampuan untuk menggunakan hidup dalam kebajikan (virtue). Banyak yang menyalahartikan bahwa rasionalitas membuat manusia semakin angkuh dengan lingkungan sekitar karena mengesampingkan perasaan. Padahal fitrahnya, manusia yang menggunakan nalarnya akan lebih bijaksana dan dapat mengendalikan perasaannya karena mereka meyakini bahwa perasaan berawal dari persepsi nalar yang bisa kita kendalikan.
Manusia ‘akan’ terus bersosial
Nalar yang digunakan akan menghasilkan kebajikan untuk diri sendiri maupun energi bagi sekitarnya. Fitrah manusia yang hanya ingin berbuat kebajikan akan terintrepretasi dari perilaku yang kita lakukan. Bagaimana perasaan kita jika berbohong kepada orang lain? Khawatir bukan? Merasa bersalah? Ya, tentu. Tapi, apa yang dirasakan saat kita melihat pengemis yang mengucap terima kasih berulang-ulang dengan rona diwajahnya saat kita hanya sekadar memberinya sebungkus nasi campur? Bahagia bukan? Itu karena fitrah manusia yang sebenarnya sudah di-setting untuk melakukan hal kebajikan. Selain itu, berdasarkan prinsip stoisisme bahwa secara alamiah manusia selalu hidup bersosial (social creature) karena meyakini tidak akan disebut nalar dan kebijaksanaan jika tidak direpresentasikan melalui hubungan. Penggunaan nalar dan hidup sosial akan terus berjalan beriringan. Begitu pula dalam menjalin kehidupan, mau tidak mau semua aspek dan keputusan yang kita ambil setiap harinya sangat berhubungan dengan kehidupan sosial.
‘Hidup itu interconnectedness’
Naluri manusia yang menggunakan nalar dan turut cenderung hidup sosial menunjukan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini ada keterkaitan satu sama lain atau disebut interconnectedness. Segala keputusan yang diambil, segala kejadian yang menempa kita tidak akan ada yang benar-benar terjadi kebetulan. Sebagai contoh, tiba-tiba kita bertemu dengan mantan pacar di sebuah stasiun. Apakah itu peristiwa yang kebetulan? Tentu saja tidak! Saat itu mungkin kita sedang memutuskan untuk pergi ke luar kota untuk menjemput orang tua yang di sisi lain mantan pacar kita ternyata kemarin ketinggalan kereta karena harus mengantarkan adiknya ke sekolah hingga memutuskan hari ini kembali ke stasiun untuk membeli tiket. Dalam setiap peristiwa yang terjadi bisa jadi kita menghadirkan perasaan dengan mempersepsikan nalar buruk hingga memunculkan emosi negatif. Seperti contoh di atas, jika bertemu mantan pacar adalah hal yang sangat menjengkelkan dan kamu menyesalkan pertemuan itu, apakah kamu akan menyelesaikan persaanmu? Bukankan saat menyalahkan keadaan hati kita semakin risau, kesal bahkan lama kelamaan memicu depresi, bukan? Ya! Karena kembali lagi ‘hidup selaras dengan alam’ menyadari bahwa setiap kejadian adalah konsekuensi dari mata rantai peristiwa hidup yang sangat panjang, yaitu gabungan banyaknya peristiwa dan keputusan-keputusan yang diambil para pelaku hidup di sekitar kita.
Hiduplah selaras dengan alam!
Menyakini konsep inteconnectedness mendorong kita untuk hidup selaras dengan alam karena kembali ke fitrah manusia yang menggunakan akal untuk bijaksana dalam memahami dinamika kehidupan. Manusia yang tidak menggunakan nalarnya dalam kebijaksanaan hidup artinya tidak memahami fitrahnya, atau mungkin saja lupa akan fitrahnya. Oleh karena itu, hidup selaras dengan alam berarti kita memahami fitrah kita sebagai manusia. Dengan kembali pada fitrahnya, tentu tidak hanya kedamaian diri yang tercipta namun menebarkan kebajikan yang menjadi energi positif pada dunia.
Feb 12th 2020 pukul 06.22 WIB
Thayyibah Nazlatul Ain
di
Feb 12th 2020 pukul 06.22 WIB
0 Komentar