Mulut kelu dan perasaan pilu, hanya tangisan yang menyelimuti pipiku. Bukan tidak menerima takdir-Mu, tapi mengapa waktu tak berpihak padaku. Hanya kepasrahan. Tidak ada salahnya untuk belajar ikhlas dan memahami bahwa kabar terbaik-Mu adalah skenario terindah bagi mama dan kami. -Nanas-
Malam sebelum 29 Desember adalah malam yang cukup menguras tenaga, pikiran dan hati bagi kami mahasiswa Teknik Lingkungan semester 3 yang dikejar deadline tugas besar Ilmu Ukur Tanah (IUT). Hanya bersisa 4 hari menuju hari pengumpulannya setelah 4 bulan sebelumnya kami sudah melalui fase pengukuran di lapangan, fase proses perhitungan dan hanya tinggal proses pembuatan kontur. Mata kuliah yang penuh pembelajaran, belajar untuk menajamkan pikiran, menguatkan fisik dan mengelola hati. Setiap tugas yang ada pada pundak, rasanya bukan lagi sekadar untuk meningkatkan kapasitas otak kita, tapi tentang bagaimana seluruh aspek dalam tubuh dapat terus mengupgrade secara sinergi.
Malam itu pukul 23.05 WIB saat kami sedang menggambar kontur ada perasaan yang membuat dada berdegup kencang, memang belakangan ini rasanya berbeda, ada kesedihan mendalam yang terasa, hingga shalat adalah satu-satunya ruang yang tak pernah absen menjadi tempat curahan dan tangisan. Akhirnya, malam itu ku memutuskan untuk berjalan sejenak menuju tempat pengukuran IUT. “Nazla ke depan twin tower dulu ya, mau ngukur jarak di sana” ucapku . Padahal itu bukanlah alasan utama, hanya alibi belaka. Hanya ingin sedikit menenangkan hati. Setelah malam semakin larut, sekitar pukul 1 dini hari akhirnya kami memutuskan untuk pulang dan berniat melanjutkan keesokan harinya.
Pagi itu, tepat tanggal 29 Desember. Meski malam hanya tidur 3 jam tapi ku merasa hari ini segar dan penuh gairah. Pagi itu ku langsung memutuskan untuk memasak setelah beberapa hari tidak masak karena disibukan dengan tugas besar. Pagi itu ku putuskan memasak capcay dari resep dan step yang pernah Mama ajarkan.
Pukul 07.15 WIB masak telah selesai, ku membuka hp dan ada pesan whatsapp dari kakak sepupu yang menanyakan keberadaanku saat ini. Tumben, pikirku. Tidak berselang lama, kakakku menelpon mengabarkan kepergian mama, “Nas mama tos ngantunkeun, Nanas yang sabar ya. Fokus dulu UAS dulu aja.” Mulutku kelu tak bisa berkata hanya tangisan yang sudah tidak bisa terbendung. Ternyata ini adalah jawaban kesedihan dan firasatku belakangan ini. Bukan ku tak menerima takdir-Nya namun mengapa waktu tidak berpihak padaku. Terhalang jarak membuatku tidak bisa bertemu dan memeluk mama untuk yang terakhir.
Emosiku yang tak terkendali membuat tangisan itu terus menjadi. Kedua teman kos terus berusaha menenangkan. Saat itu ku bergegas membuka gallery untuk melihat screenshoot videocall terakhir dengan Mama. Ternyata tanggal 29 November 2018. Itu artinya tepat satu bulan sebelum kepergian Mama dan semenjak saat itu aku tak pernah berkomunikasi lagi dengan mama. Akhirnya, ku memutuskan untuk mengambil wudhu dan shalat Dhuha. Hanya sejadah yang sudah penuh dibasahi air mata yang membuat hatiku lebih tenang. Saat itu aku langsung mencari tiket pesawat dibantu oleh Bapak Ibu kos dan kedua temanku.
Sekitar pukul 11.30 WIB, Bapak mengirim whatsapp bahwa mama akan dikebumikan namun menunggu kabarku. Aku menarik nafas dan dengan sedikit berat hati memutuskan agar tidak perlu menunggu kedatanganku. Itu artinya aku tidak bisa lagi melihat dan bertemu mama lagi. Namun tidak salahnya untuk belajar ikhlas dan berusaha memahami bahwa kabar terbaik-Nya adalah skenario indah untuk mama dan kami. Pukul 14.30 WIB aku menuju Bandara Djuanda diantar ketiga temanku menuju Bandung. Emosi dan kesedihan sudah tidak lagi menguasai hatiku. Hanya kepasrahan. Pukul 17.20 WIB pesawat take off. Tangisan turun perlahan menyelimuti pipi saat mataku menikmati langit sore di jendela. Senja datang sangat lembut seperti mengabarkan agar ku tidak perlu terlarut dalam kesedihan dan kebahagiaan akan segera datang.
Pukul 18.18 WIB pesawat landing dan di Bandara Husein Sastranegara Bandung kedua teman SMP ku sudah menunggu. Aku diantarkan ke tempat pemberhentian bis dan Alhamdulillah sekitar pukul 21.00 WIB ada satu-satunya bis yang menuju Singaparna Tasikmalaya. Meski bus sesak dan aku hanya duduk diemperan bis tapi ku sangat bersyukur karena malam itu ku bisa memaknai setiap waktu yang ku jalani. Sungguh perjalanan yang penuh pembelajaran. Sekitar 00.30 WIB aku sampai di Tasikmalaya tempat mama dikebumikan. Di rumah masih banyak orang yang baru saja selesai tahlil untuk mama. Ku menghela nafas dan sudah tidak ada mama di kamar yang biasanya mama tempati. Sudah tidak ada lagi kesedihan. Bismillah, Allah akan selalu memberi kami kekuatan.
Dan, hari ini genap 1 tahun kepergian mama. Ku bersyukur hari ini ku bisa bertemu mama dengan berziarah ke pemakamannya. Setidaknya ku bisa melepaskan rindu dan memeluknya dengan doa. Meski kini raga sudah terhalang dimensi, tapi inspirasi, nasihat, doa dan kasih sayangnya akan selalu abadi.
Terima kasih, Ma.
Semoga Allah mempertemukan kita di tempat terbaik-Nya.
Ditulis
29 Desember 2019; 1 tahun setelah kepergian mama
19.34 WIB
Tasikmalaya,
Thayyibah Nazlatul Ain
0 Komentar