“Climate change is intrisically linked to public health, food, water security, migration, peace, and security. It is a moral issues. It is an issues of social justice, human right and fundamental ethics. We have a profound responsibility to the frigile web of life on this Earth, and to this generation and those that will follow” -UN Secretary, Ban Kin Moon-
Virus Corona kini menjadi momok yang menjadi perhatian dunia dan telah ditetapkan menjadi pandemi global karena telah menjangkit 197 kota di dunia. Hingga 24 Maret 2020 kasus virus covid-19 ini sebanyak 420.718 orang dengan 18.800 meninggal dunia dan 108.323 telah sembuh. Di Indonesia yang baru ditemukan kasus pertama pada 1 Maret 2020 hingga kini sudah ada 686 kasus positif Covid-19. Pandemi ini tidak hanya mempengaruhi aspek kesehatan global, namun juga mempengaruhi multi aspek seperti aspek ekonomi, sosial dan lain sebagainya.
Sumber gambar : National Geographic Indonesia
Awal muncul virus Corona ini berasal dari Wuhan China yang setelah diteliti berasal dari hewan liar kelelawar. Virus tersebut diduga memang sudah ada sejak lama dan secara alami berinang pada kelelawar. Virus tersebut lalu menular dari hewan ke manusia atau disebut dengan zoonosis.Sebelum virus corona atau 2019-nCov ini SARS dan MERS juga disebut sebagai penyakit zoonosis. Penyakit menular tersebut sebesar 80% memang bersumber dari hewan. Sementara sekitar 75% penyakit baru pada manusia disebabkan oleh mikroba yang berasal dari hewan. Namun, apa yang menyebabkan virus itu berzoonosis? Apakah krisis iklim berkontribusi pada penyebaran virus corona?
Perubahan iklim adalah bencana yang sebenarnya tidak kalah menyeramkan dari pandemi virus corona. Pada November 2019, sebanyak 11.000 ilmuan dunia telah mendeklarasikan kondisi darurat krisis iklim, bukan lagi perubahan iklim. Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merilis sebuah laporan panjang berjudul "Climate Change and Human Health - Risks and Responses" pada 2003 silam. Laporan sebanyak 38 halaman, tersebut menyatakan bahwa perubahan iklim akan berdampak pada : a) paparan langsung dari perubahan cuaca ekstrem; b) dampak kesehatan dari kondisi lingkungan yang secara bertahap memburuk akibat perubahan iklim; c) konsekuensi ganguan kesehatan yang beragam (trauma, penyakit menular, kekurangan gizi, gangguan psikologis, dan lain-lain), akibat dislokasi populasi dari perubahan iklim.
Efek Zoonosis
Zoonosis adalah penyakit atau infeksi yang ditularkan secara alamiah oleh hewan vertebrata kepada manusia. Dengan demikian, zoonosis merupakan ancaman baru bagi kesehatan manusia. Hingga saat ini lebih dari 300 penyakit hewan yang dapat menulari manusia. Dalam 20 tahun terakhir, 75% penyakit baru pada manusia terjadi akibat perpindahan patogen dari hewan ke manusia atau bersifat zoonotik, dan dari 1.415 mikroorganisme patogen pada manusia, 61,6% bersumber dari hewan. Zoonosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan hewan pengidap zoonosis dan kontak tidak langsung melalui vektor atau mengonsumsi pangan yang berasal dari ternak sakit, atau melalui aerosol di udara ketika seseorang berada pada lingkungan yang tercemar. Tiga faktor yang memengaruhi persebaran zoonosis dari satwa liar. Pertama, keanekaragaman mikroba satwa liar dalam suatu wilayah tertentu; kedua, perubahan lingkungan; dan ketiga, frekuensi interaksi antara hewan dan manusia. Jika salah satu faktor ini terganggu, dipastikan zoonosis pun menyebar.
Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan menjadi salah salah faktor yang mempengaruhi persebaran zoonosis. Berubahnya demografi dan ruang hidup seperti penggundulan hutan juga menjadi penyebab terjadi peningkatan kontak antara satwa liar dan manusia. Sebagai contoh, hilangnya karnivora penyantap hewan pengerat membuat agen penyebar penyakit seperti leptospirosis (virus melalui air seni hewan yang terinfeksi).
Deforestasi dan pembukaan tutupan hutan akan mendekatkan manusia dengan virus yang seharusnya hidup di habitat liarnya. Doktor Luis mengatakan, sedari ribuan tahun lalu virus-virus ini sudah hidup berdampingan dengan manusia dan hewan. Virus ini berinang ke hewan-hewan liar tersebut. Namun perilaku manusia yang merusak alam, mengubah ekosistem dan perilaku para satwa ini. Satwa pun bermigrasi atau bahkan berinteraksi dengan manusia. Padahal, satwa liar dan virus itu sudah berevolusi bersama sampai ke tingkat tidak membahayakan bagi alam. Virus membutuhkan inang, untuk tetap hidup dari generasi ke generasi dan bisa hidup tanpa membuat hewan yang ditempatinya sakit.
Krisis Iklim
Sumber Gambar : National Geographyic Indonesia
Tahun 2020 ini suhu di Antartika memecahkan rekor panas tertinggi hingga 18 derajat celcius. Kenaikan suhu tersebut sebagai tanda krisis iklim memang sudah di depan mata. Selain itu, seorang profesor Mikrobiologi dari Johns Hopkins University’s Bloomberg School of Public Health Arturo Casadevall menyatakan bahwa setiap kejadian adanya hari sangat panas di bumi, manusia mengalami suatu peristiwa besar. Profesor Arturo menjelaskan bahwa patogen (bakteri, virus, dan jamur yang menimbulkan penyakit) bisa bertahan, berkembang biak, dan beradaptasi lebih baik pada suhu yang menghangat, termasuk di suhu tubuh manusia.
Mencairnya es di kutub menyebabkan penyebaran penyakit menular. Menurut Dr. Tracey Goldsten dalam laporan bertajuk "The Ocean and Cryosphere in a Changing Climate", pada September 2019 lalu menyatakan bahwa hilangnya lapisan es di Kutub Utara mendorong satwa laut liar di dalamnya untuk bermigrasi. Selain itu, ketika iklim dan bentang alam habitat induknya berubah, virus pun mengalami adaptasi. Fakta ini menunjukkan bahwa iklim akan mempengaruhi kecepatan penyebaran virus.
Korelasi antara kenaikan suhu bumi dengan kecepatan penyebaran penyakit berbasis virus dari induk kelelawar, memang belum ada data ilmiah yang disepakati bersama. Namun, sudah ada kajiannya tentang korelasi perubahan iklim. Dalam laporan WHO di atas, disebutkan bahwa kenaikan suhu 2-3 derajat celcius, akan meningkatkan terjadinya demam berdarah dan malaria 3-5 persen. Peneliti dari Universitas Florida, menguatkan estimasi WHO tersebut. Laporan di jurnal PNAS berjudul "Amazon deforestation drives malaria transmission, and malaria burden reduces forest clearing" yang terbit Oktober 2019 menunjukkan bahwa korelasi kuat antara pembukaan tutupan hutan tropis dan penyebaran penyakit.
Berdasarkan hal tersebut, krisis iklim yang semakin parah, mempercepat prosesnya. Apalagi globalisasi membuka ruang manusia untuk berpindah tempat dalam waktu cepat. Ironisnnya, pada kasus penyebaran penyakit hewan ke manusia, korban paling rentan terdampak adalah penduduk di wilayah padat dan miskin. Mereka yang hidup dalam tempat dengan sanitasi buruk, udara yang terpolusi, dan nutrisi kurang, akan menyebabkan imun tubuh melemah, sehingga membuka ruang untuk masuknya patogen. Padatnya populasi kota, juga mempercepat penyakit menular ini.
Krisis Iklim, Virus Purba akan Muncul?
Pada tahun 2015 peneliti dari China dan Amerika mengambil sampel es yang bertujuan untuk mencari petunjuk iklim di masa lalu. Namun yang ditemukan justru jendela evolusi mikroba (virus). Dalam proses penelitiannya, tim menemukan 33 generasi virus yang 28 virus diantaranya tidak teridentifikasi.
Berdasarkan temuan ini, tim menduga bahwa perubahan lingkungan dan krisis iklim menyebabkan es di kutub mencair sehingga berpotensi membebaskan perangkap es yang membekukan mikroba dan virus purba. Jika krisis iklim terus terjadi,patogen tersebut mungkin saja dapat kembali ke lingkungan dan membuat pandemi pada hewan atau manusia. Sebab itulah, selain ancaman mutasi virus, manusia harus bersiap menghadapi ancaman kemunculan virus purba di lingkungan.
Menyadari, #dirumahaja ramah terhadap iklim!
Kemunculan virus corona telah mengalihkan perhatian dunia. Berbagai pemimpin dunia mengeluarkan berbagai kebijakan untuk memutus rantai penyebaran virus. Banyak faktor yang menyebabkan penyebaran virus corona berkembang dengan cepat. Di Indonesia, pemerintah mengeluarkan intruksi untuk Social Distancing untuk mengurangi kontak antar manusia. Selain itu, kini dikampanyekan #dirumahaja. Tanpa disadari, tantangan #dirumahaja tidak hanya berkontribusi terhadap menurunnya penyebaran virus korona, tetapi berkontribusi terhadap krisis iklim. Dengan #dirumahaja, emisi yang dikeluarkan dari aktivitas kendaraan tentu akan berkurang. Seperti peneliti dari Columbia University yang menyatakan terjadi pengurangan Karbon Monoksida (CO) di New York sebanyak 50% dari tahun sebelumnya. Selain itu, di China penggunaan energi dan emisi menurun hingga 25%. Oleh karena itu, meskipun belum ada penelitian lanjutan mengenai hubungan antara corona virus dengan krisis iklim. Namun ternyata sikap dan aksi bijak sederhana yang bisa kita lakukan berkontribusi terhadap iklim.
Referensi
Khairiyah. 2011. Zoonosis Dan Upaya Pencegahannya (Kasus Sumatera Utara). Jurnal
Litbang Pertanian, 30(3)
Christiyaningsih. 2020. Perubahan Ekosistem Bisa Pengaruhi Wabah Virus. Republika.
Conversation. 2020. Coronavirus has Slash CO2 Emission here’s how to keep them down.
thenextweb.com
Harvard C-Change. 2020. A Conversation on Covid019 with Dr. Aaron Bernstein
“Coronavirus, Climate Change and the Environment.
Kuebler, Martin. 2020. Corona Stimulus Plan Overlook ‘historic’ chance for climate crisis.
dw.com.
Margaret, Rounauli. 2020. Dampak Perubahan Iklim Memicu Wabah Penyakit Berbahaya.
tagar.id
Padana. 2020. Virus Corona, Perubahan Iklim, dan Hubungannya. Padana.id
Putri, Aditya Widya. 2020. Ancaman Virus dan Kemunculan Virus Purba. Tirto.id
Redaksi Warta Ekonomi. 2020. Pakar Bilang Virus Corona Bisa Kuat karena Dipengrahui Perubahan Iklim, Ini Penjelasannya. wartaekonomi.id
World Meter. Corona Virus Information. https://www.worldometers.info/coronavirus
March, 25th 2020
Sukabumi,
Thayyibah Nazlatul Ain
0 Komentar