Jamu Lifestyle; Warisan ‘Clean Eating’ Nusantara sebagai Gaya Hidup Sehat Berdasarkan Al-quran

Kesehatan merupakan salah satu unsur vital dalam kehidupan manusia. Menurut World Health Organization, “Kesehatan adalah suatu kondisi yang tidak hanya terhindar dari suatu penyakit dan lemahnya fisik. Namun, suatu keseimbangan antara fisik, mental dan sosial secara sinergis” (WHO, t.thn.). Dewasa ini, permasalahan kesehatan kian hari semakin menjamur. Prevalensi tersebut terlihat dari semakin maraknya kasus penyakit baru dan peningkatan masalah kesehatan pada penyakit kronis. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2018 bahwa, “Terjadi peningkatan signifikan terhadap masalah status kesehatan pada obesitas dari 14,8 pada tahun 2013 menjadi 21,8 pada tahun 2018” (Depkes, 2018). Obesitas adalah kondisi ketidakseimbangan asupan (intake) dengan pemakaian (expenditure) energi yang menyebabkan penimbunan lemak pada tubuh jauh di atas normal (Octari, Liputo, & Edison, 2014). Kasus obesitas ini menjadi epidemis global karena pada tahun 2016 lebih dari 1,9 miliyar orang dewasa pada usia 18 tahun ke atas mengalami kelebihan berat badan (overweight) dan 650 juta di antaranya mengalami obesitas (WHO,2016). Obesitas disebabkan oleh faktor genetik, perubahan gaya hidup, sosial ekonomi, aktivitas fisik, pola dan jenis makan yang dipilih (Octari, Liputo, & Edison, 2014). Obesitas salah satunya disebabkan oleh gaya hidup, terutama dalam konsumsi makanan yang tidak sehat dan berlebih. Makan tersebut biasanya berasal dari jenis makanan instan dan makanan siap saji (junk food) (Sartika, 2011). Junk food adalah makanan yang memiliki tinggi kalori dan sangat sedikit mengandung mikro nutrien seperti vitamin, mineral, serat dan asam amino (Ashakiran & Deepth, 2012). Makanan siap saji yang memiliki tinggi kalori tersebut berpotensi menyebabkan obesitas (Sartika, 2011). Padahal, obesitas adalah salah satu penyebab mayor yang menyebabkan penyakit kronis. Menurut WHO, “Obesitas sangat berpotensi untuk
menyebabkan penyakit diabetes mellitus, hipertensi, penyakit kardiovaskular, stroke dan kanker (WHO, 2016). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh McKenzie bahwa, “Adanya hubungan timbulnya penyakit kanker dengan obesitas dan pola makan yang berlebih pada makanan berlemak, berminyak dan daging merah” (McKenzie, et al., 2016). Berdasarkan penelitian di atas, pola makan yang seimbang sangat berkontribusi untuk mengurangi risiko obesitas. Hal ini sejalan dengan konsep dalam Islam yang tercantum dalam penggalan Q.S. Al Araf ayat 31 sebagai berikut:
….وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلََ تُسۡرِفُوٓاْْۚ ……
“….Makan dan minumlah tetapi jangan berlebihan…..”
Ayat tersebut diperkuat oleh H.R At-Tirmidzi bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tidak ada ‘kantong’ yang lebih buruk yang diisi oleh manusia daripada perutnya sendiri. Cukuplah seseorang itu mengonsumsi beberapa suap makanan yang dapat menegakan tulang punggungnya. Kalau terpaksa, maka ia bisa mengisi sepertiga perutnya dengan makanan, sepertiganya dengan minuman dan sepertiga sisanya untuk nafasnya” (Al-Jauziyyah, 2018). Gaya hidup yang diatur dalam Al-quran dan hadist tersebut juga sejalan dengan konsep tradisional yang diwariskan secara turun menurun, yaitu pada tradisi pengobatan tradisional preventif mengunakan jamu. Berdasarkan hal tersebut, penulis merasa perlu melakukan kajian mengenai, “Jamu Lifestyle; Warisan ‘Clean Eating’ Nusantara sebagai Gaya Hidup Sehat Berdasarkan Al-quran”
Lini Masa Perkembangan Jamu
Jamu adalah minuman tradisional yang diwariskan turun menurun secara lisan. Menurut Tilaar dan Widjaja bahwa, “jamu dalam krama Jawa kuno berarti jampi yang artinya ‘ramuan ajaib’, sedangkan dalam pendapat lain disebutkan bahwa jamu berasal dari dua kata yaitu jampi berarti mencari kesembuhan dengan mantra (doa) dan oesodho yang berarti obat yang berasal dari tumbuhan” (Tilaar & Widjaja, 2014).
Pengetahuan jamu diwariskan sejak zaman pra sejarah hingga sekarang. Menurut Tilaar dan Widjaja (2014) bahwa:
Jamu sudah dikenal sejak masa pra-sejarah. Hal ini dibuktikan dengan penemuan kerangka Pitechantrupus erectus yang diketahui menderita exostosis dan kerangka Homo sapiens yang diketahui pernah menderita sakit gigi, karies dan trauma hingga pulih. Saat itu, pengobatan dilakukan dengan tanaman obat tradisional. Pada masa pra-kolonial, jamu sudah dikenal di masyarakat, hal ini dibuktikan dengan ditemukan istilah ‘usada’ atau ‘usadi’ yang berarti obat. Istilah tersebut ditemukan pada naskah kuno yaitu kitab Kakawin Ramayana. Begitupula pada masa kolonial ditemukan naskah-naskah kuno berkaitan dengan resep tanaman tradisional diantaranya Serat Kawruh Bab Jampi-Jampi dan Serat Wulang Wanita. Pada periode Jepang, jamu semakin berkembang dengan dibentuknya panitia produksi jamu. Pada periode kemerdekaan hingga kini, perkembangan jamu semakin meluas dengan dilakukannya berbagai penelitian mengenai khasiat berbagai tanaman.
Jamu Sebagai Pengobatan Alamiyah Dan Ilahiyah
Filosofi jamu mengacu pada dua aspek, yaitu: jamu sebagai pengobatan dari bahan alami sebagai gaya hidup dan tradisi magis yang merupakan bentuk penghambaan kepada Tuhan untuk meminta kesehatan. Kearifan tersebut sejalan dengan konsep Al-quran bahwa menurut Ibnu Qayyum, “Terdapat tiga metode pengobatan nabi, yaitu: pengobatan Alamiyah, pengobatan Ilahiyyah dan kombinasi antara keduanya” (Al-Jauziyyah, 2018). Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa jamu merupakan metode pengobatan kombinasi antara pengobataan Alamiyah dan pengobatan Ilahiyah.
Jamu disebut sebagai pengobatan Alamiyah karena jamu berasal dari berbagai bahan alam terutama tumbuhan. Keanekaragaman tumbuhan tercantum dalam Q.S. Ar-Rad ayat 4 sebagai berikut:
وَفِي ٱلَۡۡرۡضِ قِطَ ٞ ع مُّتَجََٰوِرََٰ ٞ ت وَجَنَٰ ٞ ت منۡ أَعۡنََٰبٖ وَزَرۡ ٞ ع وَنَخِي ٞ ل صِنۡوَا ٞ ن وَغَيۡرُ صِنۡوَانٖ يُسۡقَىَٰ بِمَآءٖ وََٰحِدٖ وَنُفَ ضلُ بَعۡضَهَا
عَلَىَٰ بَعۡضٖ فِي ٱلُۡۡكُلِْۚ إِ ن فِي ذََٰلِكَ لَۡٓيََٰتٖ لِ قَوۡمٖ يَعۡقِلُونَ
“Dan di bumi terdapat bagian-bagian yang berdampingan dan kebun-kebun anggur, tanamna-tanaman, dan pohon korma yang bercabang dan tidak bercabang, disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman itu atas sebahagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kesebesaramn) Allah bagi kaum yang berfikir.”
Berdasarkan tafsir Quraish Shihab bahwa, “Adanya kepingan tanah yang saling berdekatan dan berbeda-beda, ada yang tandus dan yang basah. Kalaupun sama tanahnya, terdapat lahan kurma, anggur dan pesawahan. Selain itu, meskipun tumbuhan tesebut disiram dengan air yang sama, namun rasa dan jenis buah yang dihasilkan beraneka ragam. Ayat ini mengisyaratkan tentang ilmu tanah (geologi dan geofisika) serta ilmu lingkungan hidup (ekologi) serta pengaruhnya bagi sifat tumbuhan”. (Shihab, 2015). Berdasarkan tafsir tersebut dapat diketahui bahwa jenis-jenis tumbuhan sangat beranekaragam dan tergantung geografis daerahnya sebagaimana Indonesia terletak di khatulistiwa, sehingga Indonesia dikenal dengan megabiodiversity. Menurut Sampurno dalam Tilaar dan Widjaja menyatakan bahwa, “Indonesia, memiliki sekitar 30.000 jenis tumbuhan dan 7.000 tumbuhan di antaranya memiliki khasiat obat. Sekitar 90% tumbuhan obat di kawasan Asia, tumbuh di Indonesia” (Tilaar & Widjaja, 2014).
Jamu disebut juga sebagai pengobatan Ilahiyah karena bersandar pada tradisi penghambaan kepada Tuhan yang sejak dahulu disebut mantra atau magis. Bentuk pengobatan dengan berpasrah dan menghamba kepada Allah dilakukan karena umat islam meyakini dalam penggalan ayat Q.S. Al-Isro: 82 sebagai berikut:
وَنُنَ زلُ مِنَ ٱلۡقُرۡءَانِ مَا هُوَ شِفَآ ٞ ء وَرَحۡمَ ٞ ة لِ لۡمُؤۡمِنِينَ …..
“Dan kami menurunkan Al-Quran sebagai penawar dan rahmat bagi orang yang beriman”
Tradisi mantra yang menjadi kearifan leluhur juga diajarkan oleh Rasulullah SAW dalam Sahih Bukhori dan Muslim, dikisahkan bahwa, “Ada seorang pandai mantra yang mengobati seorang kepala kampung dengan mantra dan melaporkan kejadian tersebut pada Rasulullah, lalu Nabi bersabda,’Dari mana kalian tahu bahwa surat Al-Fatihah itu merupakan mantra?’ Rasulullah melanjutkan sabdanya,’Kalian telah melakukan sesuatu yang benar’.”(Al-Jauziyyah, 1999).
Berdasarkan hal tersebut, jamu disebut sebagai pengobatan Ilayihah dan Alamiyah sangat relevan karena mengkombinasikan antara pengobatan yang berasal dari alam dan tradisi mantra yang menjadi bentuk penghambaan kepada Tuhan.
Clean Eating; Jamu Sebagai Life-Style
Kemunculan berbagai penyakit terutama peningkatan angka obesitas sebesar 7% menjadi momok yang seharusnya menjadi perhatian seluruh pihak. Pola makan yang sehat adalah salah satu kunci yang bisa dikendalikan untuk meminimalisasi potensi terjadinya obesitas. Menjaga kesehatan secara preventif dengan menghindari makanan yang mengandung bahan sintetik, salah satunya dengan mengonsumsi jamu secara rutin. Menurut Tilaar dan Widjaja, “Jamu pada prinsipnya bukan mengobati, namun untuk menjaga kesehatan” (Tilaar & Widjaja, 2014). Prinsip tersebut sejalan dengan islam yang menganjurkan pada upaya menjaga kesehatan secara preventif yaitu menjaga kesehatan sebelum sakit yang disepakati oleh para ahli bahwa ‘menjaga kesehatan lebih baik daripada mengobati’ (Raqith, 2007).
Dewasa ini, perkembangan jamu mengalami kemunduran, hal ini terlihat dari semakin berkurangnya penjual ‘jamu gendong’. Selain itu, pada kacamata generasi millenials mengonsumsi jamu sudah terkesan kuno. Kini banyak anak muda yang lebih memilih memakan burger daripada singkong rebus bahkan dengan bangga mem-posting mango float di restauran siap saji daripada meminum beras kencur di depan rumah. Kebiasaan itu ditunjang dengan semakin mudah dan terjangkaunya restauran siap saji bisa ditemui.
Di samping terjadinya kemuduran perkembangan jamu dan semakin meningkatnya demand pada makanan siap saji (junk food), ada sekelompok orang yang sudah beralih untuk hidup sehat, trend ini disebut dengan ‘Back to Nature’ dan ‘Clean Eating’. Trend back to nature sebenarnya sudah eksis sejak tahun 2014, trend ini mengedepankan bahan alam sebagai bahan baku untuk pembuatan produk. Sehingga, kini banyak produk yang berlabel natural. Sedangkan, clean eating adalah sebuah interpretasi dari back to nature. Konsep clean eating mengedepankan bahan-bahan alami yang berasal dari tumbuhan maupun unsur hewani untuk dijadikan konsumsi sehari-hari dan memanfaatkan proses alami sehingga mengurangi proses pemasakan. Dalam hal ini, para clean eater akan lebih memilih memakan daun-daunan dan sayuran mentah untuk dijadikan makanan dan lebih rutin membuat juice atau infused water (minuman dari proses fermentasi buah,
kurma, dan semacamnya, red) dari berbagai rempah-rempah, sayur atau buah-buahan.
Prinsip pada konsumsi ‘Clean Eating” ini sejalan dengan resep warisan yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Kebiasaan clean eater mengonsumsi salad yang berasal dari sayur-sayuran mentah adalah pola makan leluhur yang terbiasa me-lalap sayuran mentah, kebiasaan meminum jus atau air infus adalah kebiasaan leluhur yang sering meminum air rebusan atau rendaman dari daun-daunan maupun rempah yang berasal dari alam. Selain berprinsip pada nilai tradisi, konsep ‘Clean Eating’ ini sudah diwariskan oleh Rasulullah SAW sejak dahulu. Menurut Ibnu Qayyum, “Ada tiga formula untuk menjaga kesehatan jasmani, yaitu: menjaga tubuh dari unsur-unsur yang berbahaya, mengeluarkan zat-zat berbahaya dalam tubuh dan menjaga kesehatan”(Al-Jauziyah, 2018).
Formula pertama adalah menjaga tubuh dari unsur-unsur yang berbahaya. Mencegah dari unsur berbahaya tersebut salah satunya dilakukan dengan membiasakan mengonsumsi makanan yang halal dan baik. Sebagaimana terdapat pada penggalan Firman Allah Q.S. Al-Maidah ayat 88 sebagai berikut:
وَكُلُواْ مِ ما رَزَقَكُمُ ٱ للَُّ حَلََٰ ا لٗ طَي ا باْۚ ……
“Dan makanlah dari rezeki yang telah Allah berikan yang halal dan thayyib (baik)”
Menurut Ibnu Qayyum, “Makanan baik dan sehat (homopetik atau non-kimiawi) adalah obat-obatan. Setiap penyakit bisa diobati dengan makanan dan pencegahannya serta tidak memerlukan obat-obatan lain” (Al-Jauziyyah, 2018). Makanan yang baik tentu tidak mengandung unsur berbahaya. Unsur berbahaya ini diantaranya makanan yang mengandung bahan kimia/sintetik seperti pemanis, pewarna dan penyedap. Tidak halal bagi muslim mengonsumsi makanan dan minuman yang membahayakan atau menyakiti serta dapat menimbulkan penyakit jika dikonsumsi dalam jangka pendek maupun panjang (Qardhawi, 2003). Bahan-bahan tambahan kimia atau food aditives tersebut sangat berdampak pada kesehatan baik jangka panjang maupun pendek. Berdasarkan penelitian Noriko, et al., “Terdapat zat pewarna, pemanis buatan dan formalin (food aditives) yang terdapat
di pasaran dan jajanan anak. Food aditives tersebut didominasi oleh penggunaan sakarin dan siklamat” (Noriko, Pratiwi, Yulita, & Elfidasari, 2011). Bahaya siklamat dan sakarin yang terdapat pada makanan menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) dapat menyebabkan kanker kandung kemih, migrain, tremor, hipertensi dan lain sebagainya (Noriko, Pratiwi, Yulita, & Elfidasari, 2011). Padahal, sejak dahulu leluhur kita sudah mewariskan berbagai resep bahan alami sebagai bahan tambahan makanan, yaitu rempah-rempah (bawang putih, bawang merah, biji adas, cengkeh dan lain sebagainya).
Formula yang kedua adalah mengeluarkan zat-zat berbahaya dalam tubuh. Secara alami, tubuh memiliki kemampuan untuk mendetoksifikasi secara berkala. Hal ini tercantum dalam penggalan Q.S. Al-Ahqaf ayat 25 sebagai berikut:
تُدَ مرُ كُ ل شَيۡءِِۢ بِأمَۡرِ رَب هَا …..
“..menghancurkan segala sesuatu dengan perintah dari Rabb-Nya…”
Dalam hidup ini berlaku hukum sebab akibat dan dalam segala penciptaan di dunia saling berlawanan, saling mengalahkan, saling menolak dan saling menguasai (secara dialektis), sehingga Allah menciptakan “anti” atau lawan pada sesuatu yang telah diciptakan (Al-Jauziyah,2018). Maka dari itu, sebenarnya tubuh memiliki kemampuan untuk menghilangkan zat-zat berbahaya dari dalam tubuh jika pola hidup yang dijalani sesuai dengan proporsi tubuh kita. Dalam hal ini makanan sehat tidak hanya menjadi obat preventif tetapi sebagai upaya “self-healing” bagi toxic yang ada dalam tubuh. Jamu sebagai makanan dan minuman sehat memiliki kemampuan untuk menghancurkan zat-zat berbahaya bagi tubuh. Jamu atau racikan yang berasal dari alam memiliki bahan aktif yang berguna bagi pengobatan penyakit, di samping itu jamu memiliki bahan reaktif yang menjadi penyangga bagi bahan aktif sehingga tidak menimbulkan efek samping (Tilaar & Widjaja, 2014). Jamu dijadikan pengobatan primer karena harganya terjangkau sehingga dapat diterima oleh masyarakat, cocok secara alami dengan tubuh sehingga menimimalisasi efek samping sebagaimana obat modern (Pal & Shukla, 2003). Berdasarkam hal tersebut, jamu sangat relevan untuk dijadikan konsumsi sehari-hari sebagai gaya hidup daripada dijadikan alternatif pengobatan tradisional secara refresif. Hal tersebut karena daya reaktif pada jamu yang bekerja untuk
menghilangkan zat-zat berbahaya/toxic membutuhkan waktu yang lama dan tidak instan. Sehingga, tidak akan dapat memulihkan dengan cepat dan instan sebagaimana pengobatan modern.
Diet Sehat Warisan Budaya Nusantara
Fermula yang terakhir adalah menjaga kesehatan. Menjaga kesehatan bisa dilakukan dengan menjaga aktivitas tubuh dan menjaga pola makan. Salah satunya dengan cara diet sehat. Dewasa ini banyak generasi x, y maupun z berlomba-lomba diet sehat untuk menggapai tubuh yang sehat dan tubuh yang ideal. Berbagai macam diet bermunculan, diantaranya: diet mayo (diet tanpa garam), diet paleo (diet tanpa memakan daging dan beberapa jenis makanan), diet atkins (diet tanpa nasi), diet Obsessive Combuzier Diet/OCD (diet dengan sistem puasa beberapa waktu) dan masih banyak jenis diet yang bermunculan, terutama di sekelompok masyarakat clean eater.
Diet sehat sejak dulu sudah diwariskan leluhur kita yang dilakukan melalui puasa tradisional dalam bentuk tirakat. Puasa saat itu menjadi salah satu ritual yang diyakini memiliki banyak manfaat. Berdasarkan penelitian Prof. Dr. Johanna SP dalam Tilaar dan Widjaja (2014) ada beberapa ritual puasa yang dijalankan oleh leluhur yang dapat dibuktikan secara ilmiah, sebagai berikut:
“Puasa yang dijalani oleh penderita darah tinggi yaitu puasa asprep-asrepan yaitu puasa tanpa mengonsumsi makanan yang bergaram. Bagi penderitya kolestrol menjalani puasa nyegah ulam yaitu puasa tidak memakan daging. Puasa ngalong yaitu puasa untuk tidak makan setelah matahari tenggelam dan puasa ngrowot yaitu puasa hanya memakan umbi-umbian, kedua puasa tersebut bermanfaat untuk melancarkan pencernaan, menghilangkan zat-zat sisa metabolisme tubuh, mencegan kegemukan dan darah tinggi. Selain itu, bagi yang ingin mencegah obesitas dilakukan dengan melaksanakan diet seimbang dengan pasa dina.”
Menjaga kesehatan melalui diet sehat diajarkan pula dalam Al-quran yang diwajibkan bagi umat islam, yaitu kewajiban puasa. Kewajiban puasa tercantum dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 183, sebagai berikut:
يََٰٓأيَُّهَا ٱل ذِينَ ءَامَنُواْ كُتِبَ عَلَيۡكُمُ ٱل صيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى ٱل ذِينَ مِن قَبۡلِكُمۡ لَعَل كُمۡ تَت قُونَ
“Hai, orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa.”
Saat berpuasa, tubuh akan melakukan detoksifikasi alami. Hal ini akan mencegah tubuh dari ancaman unsur asing yang dapat merusak tubuh, sehingga tubuh akan selalu siap menghilangkannya (Al-Jauziyah, 2018). Menurut ilmu kedokteran, pada saat puasa tidak ada proses kelebihan energi yang disimpan dalam bentuk glikogen, sehingga tubuh akan merombak persendiaan glikogen dan lemak menjadi enegi (Raqith, 2007). Selain dengan puasa wajib maupun sunnah, diet sehat bisa dilakukan dengan diet sehat ala Rasulullah yang muncul belakangan ini, yaitu trend Jurus Sehat Rasulullah (JSR). Trend diet sehat ala Rasulullah atau JSR (Jurus Sehat Rasulullah) dicetuskan di Indonesia oleh dr. Zaidul Akbar. Diet ini dilakukan dengan rutin mengonsumsi makanan yang berasal dari alam: sayuran, unsur-unsur nabati lain, rempah-rempah dan lain sebagainya. Salah satu resep JSR (Jurus Sehat Rasulullah) adalah mencontoh pola konsumsi Rasulullah. Salah satunya dengan membiasakan meminum Air Infus Kurma (Nabidz Water). Sebagaimana dalam H.R Muslim bahwa, “Dari Ibnu Abbas: Adalah Rasulullah SAW membuat nabidz (yang berasal dari buah kurma atau anggur tetapi tidak memabukan) pada permulaan malam hari, lalu diminumnya ketika pagi hari. Juga pada malam berikutnya, dan keesokan harinya, malam hari berikutnya, dan keesokan harinya hingga waktu Ashar. Maka jika ada sisanya maka diminmumnya oleh pelayannya atau diperintahkan untuk dibuang”. (Behreid, 1987).
Selain dengan nabidz yang terbuat dari kurma, bahan tersebut bisa diganti dengan jahe. Jahe adalah salah satu rempah yang melimpah di Indonesia yang terdapat dalam Al-quran surat Al-Insan ayat 17 sebagai berikut:
وَيُسۡقَوۡنَ فِيهَا كَأۡ ا سا كَانَ مِزَاجُهَ ا زَنجَبِي ا لٗ
“Dan dalam jannaj itu mereka diberi minuman yang campurannya dari jahe”
Jahe memiliki banyak khasiat diantaranya: dapat mengatasi permasalahan lambung, usus dan membantu mengatasi penyumbatan pada lever (Al-Jauziyah, 2018). Selain itu, kandungan minyak atrisi dan oleoresin pada jahe dapat menjadi anti oksidant yang dapat mencegah risiko kanker (Tilaar & Widjaja, 2014).
Alternatif Pengobatan Alami Berdasarkan Al-quran
Pemanfaatan tumbuhan sebagai pengobatan alamiyah yang disertai dengan pengobatan ilahiyah tentunya tidak terlepas dari resep dan pengetahuan khasiat tumbuhan yang tergantung pada kebutuhan yang hendak ingin dicapai. Tumbuhan memiliki berbagai macam jenis dengan manfaat yang berbeda di setiap jenisnya. Berkaitan dengan jenis tanaman dan khasiatnya tercantum dalam Q.S. Thaha ayat 53, sebagai berikut:
ٱل ذِي جَعَلَ لَكُمُ ٱلَۡۡرۡضَ مَهۡ ا دا وَسَلَكَ لَكُمۡ فِيهَا سُبُ ا لٗ وَأَنزَلَ مِنَ ٱل سمَآءِ مَآ ا ء فَأخَۡرَجۡنَا بِهِ أَزۡوََٰ ا جا من ن بَاتٖ
شَت ىَٰ
“Yang telah menjadikan kamu bumi sebagai hamparan dan Yang telah menjadikan bagimu di bumi itu jalan-jalan dan menurunkan dari langit air hujan. Maka, kami tumbuhkan dengan air hujan itu berjenis-jenis dari tumbuh-tumbuhan yang bermacam-macam.”
Prof. Quraish Shihab menafsirkan bahwa, “Allah yang menganugerahkan nikmat kehidupan dan yang memilihara hamba-Nya. Dia menjadikan bumi sebagai hamparan, membukakan jalan agar dapat kamu lalui, Allah juga menurukan hujan sehingga terbentuk aliran sungai yang dengan sungai itu tumbuhlah tanaman yang beraneka ragam atas warna, rasa, dan manfaatnya. Ada tumbuhan yang berwarna putih, ada pula yang putih. Ada pula yang rasanya manis dan ada pula yang pahit.” (Shihab, Tafsir Surat Taha Ayat 53, 2015). Berdasarkan tafsir di atas dapat didapatkan informasi bahwa terdapat beraneka ragam tumbuhan dengan ciri dan manfaat yang berbeda-beda.
Dahulu memang belum ada teknologi untuk riset mengenai khasiat tumbuhan utuk pengobatan. Namun, leluhur kita menggunakan metode khusus untuk mengetahui khasiat dari suatu tumbuhan dengan menganalisis ciri tumbuhan tersebut. Menurut Tilaar dan Widjaja, “Metode yang digunakan disebut Dokrin Identitas Tanaman (Doctrine of Signature). Metode Doctrin of Signature ini menggunakan konsep analisis tanda-tanda atau ciri tanaman tersebut yang akan mnemberikan informasi langsung fungsi dan khasiatnya. Misalnya pada tanaman bambu kuning (Archangelisa flava M) dengan warna yang berwarna kuning maka dipercaya mengobati sakit kuning. Selanjutnya, bayam merah (Iresine herbstii) dengan daun berwarna merah seperti darah dipercaya dapat mengobati anemia.”
(Tilaar & Widjaja, 2014). Dengan berbagai penelitian yang dilakukan dewasa ini, metode tersebut dapat dibuktikan secara ilmiah berdasarkan khasiat-khasiat yang terkandung pada setiap tanaman.
Berikut ini adalah beberapa tanaman yang memiliki khasiat sebagai upaya preventif sebagai pengobatan alamiyah dan ilahiyah:
1. Benalu
Benalu adalah tumbuhan yang hidup sebagai parasit pada inangnya. Disebut sebagai parasit, tanaman ini diduga hanya merugikan karena tumbuh menumpang pada tanaman lain. Menurut Fauzi, “Belum ada kajian ilmiah mengenai kandungan-kandungan spesifik yang ada pada benalu karena setelah dikaji kandungan yang ada pada benalu bergantung pada inang yang ditumpangi. Berdasarkan doctrine of signature benalu yang tumbuh di tanaman teh berbentuk seperti berakar-akar menyerupai sel kanker, maka dipercaya berkhasiat sebagai obat anti kanker dan tumor.”(Fauzi, 2008). Kanker adalah salah satu penyakit kronis yang mengalami peningkatan semenjak tahun 2013 sebesar 1,4% menjadi 1,8% pada tahun 2018 (Depkes, 2018). Upaya preventif untuk pencegahan kanker dan tumor selain dengan menggunakan benalu sebagai pengobatan alamiyah juga disertai dengan pengobatan Ilahiyah. Surat asyifa untuk pengobatan penyakit tumor dan kanker adalah dengan rutin membaca surat Al-Hasyr ayat 21, surat At-Thur ayat 48-49, surat An-Nahl ayat 49-50, surat A-Araf ayat 206, surat al-Isra ayat 44 dan memperbanyak membaca tasbih (Al-Malawi, 2016).
2. Jambu Biji
Jambu biji memiliki kandungan, sebagai berikut: tanin, asam ursolat, asam psidiolat, asam kratogolat, asam oleonolat, asam guajaverin dan vitamin (Fauzi, 2008). Kandungan tersebut memiliki manfaat untuk mencegah sakit lambung, mengobati kelainan brokus, mengobati luka usus dan mampu memberhentikan perdarahan (Al-Jauziyyah, 2018). Selain itu,
khasiat dari jambu biji ini dapat mengatasi penyakit diabetes melitus (Fauzi, 2008).
3. Cengkeh
Cengkeh adalah salah satu rempah-rempah yang biasanya digunakan untuk penyedap masakan. Cengkeh memiliki kandungan yang terdiri dari: minyak atsiri, eugenol, asam oleanolat, asam galatanat, fenilin, karyofilin, resin dan gom, kandungan tersebut sangat bermanfaat untuk mengatasi penyakit jantung dan kolera (Fauzi, 2008). Penyakit jantung adalah salah satu penyakit kronis yang mematikan. Pengobatan ilahiyah penyakit jantung ini bisa dilakukan dengan terapi menggunakan surat Al-Fatihah yang disertai dengan wirid dan doa secara rutin (Al-Malawi, 2016).
4. Delima
Delima adalah salah satu buah yang tercantum dalam Al-quran. Allah berfirman dalam Q.S. Ar-Rahman ayat 68:
فِيهِمَا فََٰكِهَ ٞ ة وَنَخۡ ٞ ل وَرُ ما ٞ ن
“Di dalam keduanya ada (macam-macam) buah-buahan dan kurma serta delima”
Delima memiliki kandungan alkaloid pelietierene, granatin, betulic acid, ursolic acid, isoquercitrin, elligatanin, kalsium oksalat, asam sitrat, asam malat, fosfor, glukosa, mineral, tanin dan lain-lain (Fauzi, 2008). Delima dapat mengobati lever, mengobati radang usus, menstabilkan empedu dan memperkuat organ tubuh (Al-Jauziyah,2018). Selain itu, delima dibuktikan dapat berkhasiat untuk mengendalikan infeksi virus polio, herpes dan virus HIV (Fauzi, 2008). Penyakit HIV menjadi momok bagi masyarkat karena virus HIV ini dapat berpotensi menyebar dengan berbagai cara. Pengobatan HIV ini bisa disertai dengan pengobatan ilahiyah yaitu dengan terapi pembacaan surat Al-Isro ayat 82 dan surat Al-Hasyr ayat 21-24 sebagai surat asyifa untuk HIV (Al-Malawi, 2016).
5. Cabai Rawit
Cabai rawit biasanya dioalah untuk menambah selera makan karena rasanya yang pedas. Cabai rawit mengandung komposisisi, sebagai berikut: kapsaisin, kapsantin, karetenoid, alkali asiri, resin minyak
menguap dan vitamin, kandungan tersebut bermanfaat untuk melancarkan aliran darah, mengatasi sakit perut, rematik hingga lumpuh (stroke) (Fauzi, 2008). Prevalensi pengidap stroke di Indonesia meningkat dari tahun 2013 sebesar 7% menjadi 10.9 % pada tahun 2018 (Depkes, 2018). Stroke dapat dicegah dan diatasi secara alami dengan pengobatan tradisional dan diperkuat dengan pengobatan ilahiyah melalui pengobatan terapi surat asyifa dengan surat Al-Hasyr ayat 22-24, surat Al-Isra ayat 82 dan memperbanyak shalawat nabi (Al-Malawi, 2016).
Masih banyak tanaman lokal tradisional yang dapat dijadikan sebagai pengobatan preventif melalui gaya hidup sehat. Tanaman tersebut memiliki khasiat untuk mengobati berbagai penyakit baik secara preventif maupun refresif apabila digunakan dengan cara dan dosis yang tepat sebagai pengobatan alamiyah. Prinsip pada pengobatan jamu juga tidak terlepas dari pengobataan Ilahiyah yang berkaitan dengan unsur magis, yaitu menyertakan ketawakalan dan penghambaan kepada Tuhan (Allah SWT).
Simpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa gaya hidup sehat sangat penting untuk meminimalisasi risiko obesitas dan penyakit kronis yang menjadi momok permasalahan yang semakin menjamur. Jamu menjadi alternatif yang bisa dipegang dan dilestarikan sebagai tradisi dan gaya hidup. Jamu sebagai warisan leluhur bukan hanya sebagai pengobatan tradisional, namun lebih cocok dimanfaatkan sebagai gaya hidup yang sekaligus menjadi pengobatan preventif. Pengobatan preventif dengan jamu yang mengandalkan bahan-bahan alami sangat relevan dengan gaya hidup ‘clean eating’ dan ‘back to nature’ yang sedang trend dewasa ini. Selain itu, penyertaan unsur magis dalam pengobatan menjadi salah satu bentuk penghambaan manusia kepada penciptanya. Kedua konsep tersebut sejalan dengan konsep dalam Al-quran yang dikombinasikan dari pengobatan Alamiyah dan Ilahiyah.
Daftar Pustaka
Al-Jauziyyah, I. Q. (1999). Terapi Penyakit dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Jakarta: Pustaka Amani.
Al-Jauziyyah, I. Q. (2018). Metode Pengobatan Nabi Terjemahan: Ath-Thb An-Nabawi. Jakarta Timur: Griya Ilmu.
Al-Malawi, R. (2016). The Living Quran; Ayat-Ayat Pengobatan Untuk Kesembuhan Berbagai Penyakit. Yogyakarta: Araska.
Ashakiran, & Deepth. (2012). Fast Food and their Impact on Health . JKIMSU, Vol. 1 No. 2 .
Behreid, H. (1987). Himpunan Hadits Shahih Muslim. Surabaya: Al-Ikhlas.
Depkes. (2018). Hasil Riset Kesehatan Dasar. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Fauzi, D. A. (2008). Panduan Lengkap Manfaat Tanaman Obat. Jakarta: EDSA Mahkota.
McKenzie, F., Biessy, C., Ferrari, P., Feishing, H., Rinaldi, S., & et.al. (2016). Helathy L:ifestyle and Risk of Cancer in the European Prospective Investigation Into Cancer and Nutrition Chort Study. Medicine, Volume 95 Nomor 16.
Noriko, N., Pratiwi, E., Yulita, A., & Elfidasari, D. (2011). Studi Kasus Tehadap Zat Pewarna, Pemanis Buatan dan Formalin pada Jajanan Anak di SDN Telaga Murni 03 dan Tambun 04 Kabupaten Bekasi. Al-Azhar Indonesia Seri Sains dan Teknologi, Voll 1 No. 2.
Octari, C., Liputo, M. I., & Edison. (2014). Hubungan Status Sosial Ekonomi dan Gaya Hidup dengan Kekjadian Obesitas pada Siswa SD Negeri 08 Alang Lawas Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, Volume 3 Nomor 2.
Pal, S. K., & Shukla, Y. (2003). Herbal Medicine: Current adn the Future. Asian Pacific Journal of Cancer Prevention , Vol. 3.
Qardhawi, Y. (2003). Halal Haram Dalam Islam Terjemahan: Ak-Halal Wal Haram Fiil Islam. Solo: Era Intermedia.
Raqith, H. H. (2007). Hidup Sehat Cara Islam: Seluk Beluk Kesehatan dan Penjagaannya. Bandung: Jembar.
Sartika, R. A. (2011). Faktor Risiko Obesitas Pada Anak 5-15 Tahun di Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol.15 No. 1 Hal. 37-43.
Shihab, Q. (2015). Tafsir Quraish Shihab Ar Rad : 4. Retrieved from TafsirQ: https::/tafsirq.com/13-ar-rad/ayat-4#tafsir-quraish-shihab
Shihab, Q. (2015). Tafsir Surat Taha Ayat 53. Retrieved from TafsirQ: https:://tafsirQ.com/20-ta-ha/ayat-53#tafsir-quraish-shihab
Tilaar, M., & Widjaja, B. (2014). The Power of Jamu; Kekayaan dan Kearifan Lokal Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
WHO. (2016). Fact Sheet of Overweight and Obesity. Retrieved from World Health Organization: http:://who.int/fact-sheet-of-overweight-and-obsity
WHO. (n.d.). Healthy. Retrieved from World Health Organization: https::/who.int

Posting Komentar

0 Komentar