Meminum Jamu, Melestarikan Biodiversity?

Pendahuluan

           Keanekaragaman hayati (biodiversity) merupakan sumberdaya vital bagi keberlanjutan hidup manusia. Keanekaragaman hayati adalah suatu bentuk kehidupan yang mencakup gen, spesies tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme serta ekosistem dan proses-proses ekologi (Sutoyo, 2010). Keanekaragaman hayati sangat berperan untuk keseimbangan hidup dalam berbagai aspek: produksi, estetika, proses alam dan fungsi alam. Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak di garis khatulistiwa sehingga Indonesia dikenal julukan megabiodiversity, yaitu negara dengan tingkat keanekagaraman hayati tertinggi ketiga setelah Brazil dan Zaire atau Republik Demokratik Kongo (Sameda, 2015). Indonesia diperkirakan memiliki 25% dari spesies tumbuhan berbunga yang ada di dunia atau merupakan urutan negara terbesar ketujuh dengan jumlah spesies mencapai 20.000 spesies, 40% merupakan tumbuhan endemik atau asli Indonesia (Kusmana dan Hikmat, 2015). Kekayaan Indonesia ditunjang dengan adanya hutan hujan tropis seluas 59% dari luas daratan Indonesia atau sekitar 10% dari luas hutan di dunia (Direktorat Jenderal Pariwisata, Seni dan Budaya, 1999). Indonesia memiliki kawasan hutan hujan tropis yang terbesar di Asia Pasifik, yaitu diperkirakan 1,148.400 km yang menjadi sumber berbagai makanan dan obat-obatan bagi makhluk hidup (Sutoyo, 2010). Menurut Sampurno (2008) Indonesia memiliki 30.000 jenis tumbuhan dan 7.000 di antaranya ditengarai memiliki khasian sebagai obat. Jumlah itu sebesar 90% tumbuhan obat di kawasan Asia yang tumbuh di Indonesia (Tilaar dan Widjaja, 2014).

            Namun, dewasa ini keanekaragaman hayati di Indonesia semakin hari kian menurun bahkan mengalami kepunahan. Hutan tropis sebagai salah satu gudang keanekaragaman hayati diduga telah menyusut lebih dari setengahnya. Kepunahan tinggi tersebut diakibatkan oleh laju kerusakan lingkungan (Kuussaari et al., 2009 dalam Marhaento dan Faida, 2015). Keterancaman atau kepunahan tersebut terutama disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu (a) pemanfaatan keanekaragaman hayati yang berlebihan, termasuk secara ilegal; dan (b) kerusakan habitat yang disebabkan oleh konversi dan penggunaan bahan-bahan berbahaya dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil penelitian  Marhaento dan Faeda (2015) bahwa tingkat kerusakan di Taman Nasional Gunung Merapi masuk pada rawan tinggi sebesar 91,22% atau seluas 5.605,68 ha yang diakibatkan aktivitas masyarakat yang masuk ke dalam kawasan. Sedangkan, risiko kepunahan keanekaragaman hayati  menunjukkan bahwa 2.185,6 ha (35,6%) kawasan berisiko tinggi, 3.910,1 ha (63,6%) kawasan berisiko sedang, dan 49,8 ha (0,8%) adalah kawasan berisiko rendah.

            Berdasarkan fakta di atas, sudah seharusnya dilakukan upaya konservasi untuk mencegah dan mengatasi ancaman kepenunahan keanekaragaman hayati. Hal tersebut dilakukan karena keanekargaman hayati sangat berkontribusi untuk menunjang keberlanjutan hidup manusia dengan waktu yang tidak terbatas dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) yang terbatas. Beberapa upaya konservasi telah dilakukan oleh pemerintah melalui penegakan hukum dan edukasi kepada masyarakat. Sistem hukum ditegakan untuk mencegah kepunahan keanekargaman hayati, karena tanpa hukum keanekaragaman hayati akan terus menurun hingga mengalami kepunahan, sehingga menghilangkan potensialnya. Sistem hukum yang memadai dilakukan dengan pelaksanaan dan penegakan yang dilakukan secara efektif di lapangan dan relevan dengan kebutuhan masyarakat, sehingga akan menjamin kelestarian sumber daya alam secara berkelanjutan (Semedi, 2015).

            Upaya pemerintah dilakukan melalui penegakan hukum yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya selanjutnya di ikuti dengan ditetapkanya Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru, Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam, Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, serta Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 1 ayat (2) menyebutkan bahwa “Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya”. Konservasi ini dilakukan melalui tiga kegiatan yaitu: a. Perlindungan sistem penyangga kehidupan, b. pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan c. pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Pasal 5 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya). Selain melalui aturan hukum, pemerintah malakukan upaya preventif melalui edukasi kepada masyarakat dalam bentuk beberapa program yang diadakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup maupun BKSDA. Salah satunya melalui program pembentukan Saka Kalpataru oleh Kementerian Lingkungan Hidup yang salah satu kegiatannya berfokus pada keanekaragaman hayati dan edukasi melalui ‘Kartu Soulmate’; yaitu kartu mengenai satwa dan puspa endemik daerah di Indonesia. Begitu pula Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) yang secara rutin melakukan pelatihan kader konservasi sebagai bentuk upaya edukasi untuk menjaga kelestarian sumber daya alam. Selain itu, melakukan edukasi seperti sekarang diadakan Peringatan Hari Keanekaragaman Hayati tahun 2019 untuk membangun awareness masyarakat terhadap keanekaragaman hayati.

            Upaya konservasi keanekaragaman hayati ini bisa berjalan secara berkelanjutan apabila dilakukan konsisten dan sinergis oleh berbagai pihak, termasuk kita sebagai masyarakat yang menjadi pengguna dan pemanfaat lingkungan secara langsung. Banyak hal yang bisa dilakukan untuk turut berkontribusi melestarikan keanekaragaman hayati, diantaranya: melakukan penanaman, tidak mengeksplor sumber daya alam secara berlebihan dan lain sebagainya. Selain itu, ada hal sederhana yang bisa kita lakukan untuk menjadi kontributor alam upaya konservasi keanekaragaman hayati yaitu meminum jamu secara rutin. Bagaimana jamu bisa berkontribusi sebagai upaya konservasi keanekaragaman hayati?

            Jamu adalah salah satu minuman tradisional dibuat dari bahan-bahan yang berasal dari alam seperti daun-daunan, rimpang, rempah-rempah maupun kulit batang pohon. Menurut Tilaar dan Widjaja (2014), jamu berasal dari kata “jampi” yang berarti ‘ramuan ajaib’ dalam karma Jawa kuno. Arti jampi berarti menggunakan mantra yang dilakukan oleh dukun dengan berdoa pada Tuhan untuk menyembuhkan. Menurut pendapat lain jamu berasal dari kata jampi dan oesodho, arti jampi adalah mencari kesembuhan dan agar tubuh tetap sehat sedangkan oesodho berarti kesehatan atau hidup sehat yang diperoleh dari upaya pengobatan dan tindakan lain (Tilar dan Widjaja, 2014). Jamu bukan hanya sebagai salah satu pengobatan alternatif tradisional, namun sebagai gaya hidup sekaligus upaya preventif untuk menjaga kesehatan tubuh.

Lini Masa Perkembangan Jamu

            Kearifan lokal jamu ini diwariskan secara turun-menurun melalui lisan (mulut ke mulut) sejak zaman pra-sejarah hingga sekarang. Setelah diteliti ternyata pada zaman pra-sejarah, penyakit yang diderita oleh manusia purba beraneka ragam, hal ini ditemukan dari bukti yang diperolah dari struktur tulang-tulang, gigi dan tubuh manusia purba tersebut. Telah ditemukan bukti bahwa Pithecanthropus erectus menderita exostosis pada femurnya, Homo Sapiens lebih banyak yang menderita sakit gigi, karies, arthritis, trauma dan lainnya. Pada kondisi sejak itu, manusia purba hanya mengandalkan daun-daunan untuk mengobati penyakitnya. Pada zaman sebelum kolonial jamu menjadi ramuan keseharian dan obat untuk penyakit masa itu. Hal ini bisa dilihat dari relief Candi Borobudur yang menggambarkan pohon kalpataru yang berarti pohon kehidupan. Di bawah pohon tersebut perempuan yang sedang menghancurkan bahan-bahan dan sedang mencampur tanaman untun pembuatan jamu. Selain itu, resep jamu terdapat pada kitab Kakawin Ramayana yang ditulis dalam Bahasa Sansekerta atau Bahasa Jawa Kuno dengan istilah ‘usada’ atau ‘usadi’ yang berarti obat. Pada zaman kolonial pula ditemukan naskah-naskah kuno yang berisi mengenai resep-resep jamu obat tradisional dari tanaman masyarakat Jawa. Pada periode Jepang, jamu sudah mulai dikembangkan melalui pembentukan panitia jamu yang bertugas untuk menghimbau pengusaha jamu untuk secara sukarela mendaftarkan resep mereka untuk didaftarkan dan diperiksa oleh Jawatan Kesehatan Rakyat. Pada periode kemerdekaan, sudah mulai ada penelitian untuk mengklasifikasikan tanaman tradisional dengan berbagai khasiatnya. Hingga kini, dunia internasional melalui WHO sudah menghimbau agar seluruh negara anggotanya turut menggali dan memanfaatkan tanaman tradisional sebagai obat alami (Tillar, 2011).

            Dewasa ini trend jamu sudah mulai mengalami kemuduran. Hal ini dapat dilihat dari semakin jarangnya penjual jamu gendong yang dapat kita temui. Hal itu sangat berpengaruh pada semakin menurunnya perkembangan jamu. Meminum jamu sudah bukan lagi tradisi rutin yang dilakukan sebagaimana leluhur kita sejak dahulu. Generasi millennials kini sudah menganggap meminum jamu adalah hal yang kuno. Hal itu dibuktikan dengan menjamurnya penjual soft drink yang bisa kita dapatkan dimana-mana, sekarang banyak anak muda yang lebih memilih meminum Hazelnut Latte daripada jamu beras kencur atau lebih bangga mem-posting minuman squash lemonade daripada sekadar meneguk segelas jamu kunyit asam di halaman rumah yang dibeli dari mbok penjual jamu gendong.

Ibu penjual jamu dan pelanggannya

Sumber: Dok. Pribadi

Meminum jamu itu kuno?

            Masih ada harapan untuk menepis trend kuno jamu tradisional yang terus mengalami kemunduran. Di samping semakin menjamurnya kedai soft drink, ada beberapa kelompok yang sudah memulai hidup dengan prinsip tetap melestarian keberlanjutan lingkungan melalui konsep back to nature dan clean eating. Konsep back to nature ini mengedepankan bahan alam sebagai bahan baku untuk pembuatan produk. Sehingga, kini banyak produk yang berlabel natural. Sedangkan, clean eating adalah sebuah interpretasi dari back to nature. Konsep clean eating mengedepankan bahan-bahan alami yang berasal dari tumbuhan maupun unsur hewani untuk dijadikan konsumsi sehari-hari dan memanfaatkan proses alami sehingga mengurangi proses pemasakan.

            Begitu pula dengan tradisi meminum jamu bisa dikatakan termasuk dalam trend clean eating karena jamu berasal dari bahan yang berasal dari alam. Selain sehat, karena proses pemasakan yang minimal, jamu sangat terjangkau. Harga jamu hingga kini masih berkisar di harga Rp. 2000 hingga Rp. 10.000, bahkan hampir seluruh harga jamu yang dijual mbok gendong masih seharga Rp. 2000 sejak dahulu.

Berbagai Macam Jamu

Sumber: Dok. Pribadi

Meminum Jamu Sebagai Upaya Konservasi

            Sebagaimana telah dijelaskan pada awal pembahasan bahwa degredasi hutan dibeberapa tempat menyebabkan menurunya keanekaragaman hayati. Meskipun pemerintah sudah berupaya melalui hukum dan berbagai program untuk memperlambat hilangnya biodiversity, namun kepunahan tidak akan bisa dihentikan jika pemanfaatannya belum dilakukan secara seimbang dan bijaksana.

            Upaya konservasi oleh masyarakat sebenarnya bukan hal baru bagi bangsa Indonesia. Melalui kearifan lokal jamu yang diturunkan secara turun menurun, leluhur kita selalu berpegang pada prinsip-prinsip konservasi keanekaragaman hayati. Hal ini tertuang dalam nilai-nilai kearifan lingkungan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam 7 kearifan budaya konservasi yang disebut Sapta Mahayuning Buwana, sebagai berikut (Tilaar dan Widjaja, 2014):

  1. Tanah dan Lingkungan Sumber Hidup Utama

            Tanah merupakan sumber dari kehidupan. Tanaman muncul subur dari tanah bisa menjadi sumber makanan dan obat bagi keberlangsungan hidup. Bahkan dalam prinsip ini, diyakini secara mendalam bahwa manusia berasal dari tanah dan akan kembali ke tanah. Selain sebagai sumber makanan dan obat, di dalam tanah mengandung berbagai unsur minyak bumi, mineral, batu bara dan gas yang menunjang kehidupan. Maka dari itu, menjaga tanah dan lingkungan dan memanfaatkannya dengan bijak merupakan upaya melestariakan manusia dan memelihara keberlanjutan hidup manusia. Tanah dan lingkungan yang tidak dijaga keseimbangannya akan menyebabkan kehancuran bagi manusia, hal ini ditandai dengan terjadinya bencana alam.

  1. Alam bagian dari kehidupan yang memiliki kekuatan lain yang harus dihormati

            Beberapa daerah meyakini bahwa hutan dikuasai oleh kekuatan spiritual yang bila diganggu akan mendatangkan malapetaka. Kepercayaan ini melahirkan konsep konservasi tradisional yang efektif, karena munculnya berbagai larangan untuk penebangan hutan atau berbagai aktivitas yang dilakukan di kawasan konservasi. Selain itu telah dibuktikan bahwa ‘hutan-hutan keramat’ di Indonesia kaya akan biodiversity, hal ini merupakan tanda bahwa kepercayaan akan kekuatan spiritual merupakan sarana efektif untuk konservasi alam.

  1. Kekayaan Alam pasti ada batasnya

            Sejak dahulu leluhur kita mengajarkan bahwa alam harus dimanfaatkan sesuai kebutuhannya, tidak boleh berlebihan. Setiap orang memiliki rezekinya masing-masing sehingga jika dieksporasi secara berlebihan dianggap mengambil hak orang lan. Oleh karena itu, untuk mengambil hasil alam mereka memiliki aturan tertentu sebagai acuan agar alam selalu bersahabat dengan mereka.

  1. Alam memberi pengetahuan kosmologi dan tanda-tanda

            Alam merupakan sumber informasi bagi manusia. Sebuah kawasan yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman bisa menjadi petunjuk tentang kesuburan kawasan tersebut. Keadaan iklim, angin dan cuaca pun bisa dijadikan acuan para nelayan untuk berlayar. Kearifan itulah yang dijaga masyarakat untuk tetap menjaga keseimbangan alamnya.

  1. Sumber daya alam selalu seimbang dan saling menjaga

            Alam sebenarnya sudah berjalan seimbang berdasarkan ekosistemnya. Kerusakan ekosistem itulah yang sangat berpengaruh pada berkurangnya bahkan menyebabkan kepunahan terhadap ketersediaan alam. Ketersediaan tumbuhan langka maupun endemik tidak terlepas dari tumbuhan yang ada disekitarnya karena mempengaruhi keseimbangan hidupnya. Maka leluhur kita meyakini bahwa merusak tanaman sembarangan meskipun tanaman itu tidak dimanfaatkan, maka akan mengganggu kehidupan mereka secara keseluruhan.

  1. Tumbuhan sebagai analogi tubuh manusia

            Adat yang diyakini sejak dahulu menganalogikan tubuh manusia dengan tumbuhan. Mereka percaya bahwa perkembangan manusia sejak lahir hingga mati itu tidak berbeda dengan tumbuhan. Maka, suatu lahan yang ditanam hingga dipanen itu dihormati dengan dilakukan ritual. Ini dilakukan agar perkemabangannya selalu dalam kondisi baik, sebagaimana manusia. Pola pikir ini menumbuhkan rasa kecintaan terhadap alam, dan diyakini bahwa jika menyakiti alam dengan merusak maka hal itu sama dengan memenderitakan diri sendiri.

  1. Alam adalah guru kehidupan

            Alam terkembang menjadi guru adalah istilah ciri khas bangsa Indonesia dalam menghargai alam sebagai bagian dari hidup mereka. Alam memberikan inspirasi, ide dan petunjuk dalam membangun suatu aturan di masyarakat. Hancurnya alam berarti merusak masa depan dan keturunannya karena tidak akan ada lagi petunjuk kehidupan yang alamiah.

            Konsep 7 kearifan budaya konservasi (Sapta Mahayaning Buana) akan terus berlaku selama manusia masih berkenan untuk peduli dan melestarikan alam. Menjadikan jamu sebagai tradisi akan mendorong kita untuk menjaga keanekaragaman hayati karena bahan bakunya yang berasal dari alam. Sehingga, adanya ‘keterpaksaan’ dalam melestarikan berbagai keanekaragaman hayati tersebut yang akan menunjang kehidupan manusia dan keberlanjutan ekosistem.

Penutup

            Kepunahan yang terjadi terhadap keanekaragaman hayati menjadi momok yang mengancam keberlanjutan ekositem. Maka harus dilakukan upaya untuk melestarikan keanekaragaman hayati yang dilakukan secara sinergis oleh seluruh pihak. Bagi pemerintah, langkah yang dilakukan dengan melakukan edukasi kepada masyarakat dalam bentuk sosialisasi maupun pelatihan kader konservasi serta penegakan hukum. Bagi kita masyarakat bisa dilakukan dengan penanaman, tidak berlebihan dalam mengekspolasi alam dan hal sederhana dilakukan dengan rutin meminum jamu. Jika meminum jamu menjadi suatu kebutuhan maka akan ‘memaksa’ kita untuk menjaga keanekaragaman hayati, karena bahan baku jamu yang berasal dari alam. Hal ini sejalan dengan tema pada Hari Keanekaragaman Hayati tahun 2019 yaitu Sustainable Use of Biodiversity For Our Food and Our Health.

Referensi

Indrawan, M., Primack, R. B., & Supriatna, J. (2007). Biologi Konservasi . Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Marhaento, H., & Faida, R. W. (2015). RISIKO KEPUNAHAN KEANEKARAGAMAN HAYATI DI TAMAN NASIONAL. Jurnal Ilmu Kehutanan, Volume 9 Nomor 2.

Risiko Kepunahan Keanekaragaman Hayati di Taman Nasional . (2015). Jurnal Ilmu Kelautan, Volume 9 No. 2.

Samedi. (2015). Konservasi Keanekaragaman Hayati di Indonesia: Rekomendasi Perbaikan Undang-Undang. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Volume 2 Issue 2.

Sutoyo. (2010). UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN Tinjauan : Masalah dan Pemecahannya. Buana Sains, Volume 10 No. 2.

Tilaar, M., & Widjaja. (2014). The Power of Jamu Kekayaan dan Kearifan Lokal Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Posting Komentar

0 Komentar