Beberapa waktu lalu, aku bertukar pesan dengan teman lamaku. Sejak enam bulan kebelakang kami tidak pernah berkomunikasi setelah aku memutuskan untuk berpuasa gawai, khususnya media sosial. Ku tahu dia memang sosok kawan yang menanyakan kabar bukan sekadar untuk berbasa-basi, lalu dengan tidak terduga dia lanjut menanyakan "Ambu Tingtrim gimana sekarang? Masih ada?"
Dengan pertanyaan yang tak pernah kuduga, lalu aku menjawab, "Masih ada dan akan selalu ada, meski secara fisik tidak terlihat
tapi nilainya tak akan pernah hilang", jawabku mantap.
Ambu Tingtrim memang dikenal oleh sebagian besar karena 'warung
minim sampah'nya yang saat itu dibuka pada tahun 2020 dan qadarullah kembali ditutup akhir di
2021, hihi bentar banget ya. Namun, nama Ambu Tingtrim dengan segala nilai dan mimpi dalam cetak birunya sebenarnya sudah ada sejak bertahun-tahun yang lalu, bahkan sejak aku masih
kecil. Kok bisa?
Ia bukanlah sekadar bangunan fisik sebagaimana yang saat itu dikenal sebagai warung minim sampah. Nama ambu tingtrim lahir dari seorang rahim kehidupan, tepatnya yang melahirkanku, mamaku, yang saat ini sudah mendahului kami berpulang ke pangkuan-Nya. Al-fatihah, untuknya. Tanpa aku pernah bertanya apa maknanya, sedangkal yang aku pahami dia menyematkan nama Ambu Tingtrim kepada dirinya sebagai harapan dan doa untuk menjadi ibu yang selalu menjadi teman dan tempat pulang yang nyaman bagi keluarga dan lingkungan sekitarnya. Ya, benar saja, kami selalu merasakan ruh di setiap tempat dimana mamaku berada, menjadikannya terasa damai dan menentramkan; tingtrim istilahnya dalam bahasa sunda. Sampai saat inipun, ruh akan segala nilai yang melekat padanya tidak pernah hilang, meski kami sudah berbeda dimensi.
Sejak dahulu, kami tumbuh dengan berbagai nilai dan prinsip hidup yang mungkin saat itu terasa asing, karena kerap kali aku merasakan didikan mama berbeda dari kebanyakan orang tua. Mulai dari segala keputusan bahan masakkan yang dipilihnya di dapur, membiasakan cara kami makan dengan sepiring nampan bersama, hingga yang paling aneh dan menyebalkan dulu, mamaku punya kebiasaan membuka alas kakinya ketika kami sedang jalan-jalan dan bertemu dengan jalan berbatu, pasir atau rerumputan, lalu akan merebahkan tubuhnya ke tanah ketika bertepatan dengan momen-momen kami sedang berliburan di alam. Dulu aku melihatnya begitu malu, karena sering kali dilihat banyak orang.
Perlahan, semakin aku bertumbuh remaja, hingga di titik terendahku saat dia pergi mendahului kami aku mulai menyadari segala hal yang aku 'saksikan' dari sosok mama; sang ambu tingtrim. Segala kebiasaan, perilaku, setiap keputusan yang dibuatnya dan prinsip hidup yang selalu diturunkannya, menjadikanku pelan-pelan memahami nilai-nilai yang dia yakini dan ingin selalu ditebarkan. Nilai hidup yang terejawantahkan dari cara dia berkehidupan dan memaknai setiap prosesnya.
Proses retrospeksi, perenungan dan segala lamunan yang kulalui selama 5 tahun terakhir sejak mama tiada menjadikan pemaknaanku bergeser pada nama Ambu Tingtrim itu sendiri. Ia bukan sekadar nama yang disandingkan kepada sosok mama yang merupakan doa dan harapan. Namun jauh lebih dari itu, Ambu Tingtrim adalah sebuah seni cara berkehidupan sekaligus ruang menjalani hidup tentram dan menentramkan yang sesuai dengan fitrah kehidupan yang telah dianugerakan-Nya. Menjadi rumah untuk menemukan peran dan berupaya untuk memberikan kebermanfaatkan untuk sesama dan semesta di bumi-Nya yang megah nan indah ini. Aku menyebutnya sebagai rumah belajar hidup selaras. Rumah yang bukan hanya sebuah bangunan fisik, yang terbatas ruang dan waktu. Namun di bumi manapun kami berpijak, Ambu Tingtrim akan tetap ada dan menjadi suatu proses bertumbuh seumur hidup.
Belajar menjalani hidup selaras akan menjadi proses pembelajaran seumur hidup dan perlu dipelajari secara holistik, yang berdasar pada fitrah penciptaan-Nya. Bahkan rasanya kita tidak akan memiliki usia yang cukup untuk bisa mempelajari ilmu pengetahuan di alam semesta-Nya yang tak terbatas ini. Belajar hidup selaras yang berawal dari diri sendiri; pola pikir, kesadaran, keyakinan, kebiasaan, ketaqwaan, ketawakalan dan banyak hal.
Nilai Ambu Tingtrim itu akan tercermin dalam segala aspek berkehidupan, akan mempengaruhi setiap keputusan yang kita buat dalam hidup. Keputusan di dapur, di kamar dan di segala tempat yang kita pijak. Termasuk diejawantahkan dari berbagai kontribusi yang kita berikan sesuai dengan peran kita dalam kehidupan. Kontribusi kepada diri sendiri untuk terus bertumbuh dan merawat nilai yang diyakini setiap detiknya, kontribusi kepada keluarga melalui inspirasi, serta lingkungan terdekat dengan segala peran dan upaya yang sesuai dengan potensi yang kita miliki saat ini. Berperan dalam kehidupan tentunya memiliki banyak jalan, salah satunya yang kami jalani saat ini adalah dengan membuka ruang belajar di rumah bagi anak-anak yang ada di lingkungan sekitar.
Kontribusi apapun akan membawa kebermanfaatan jika kita menjalankannya sesuai dengan panggilan jiwa sebagaimana peran yang kita temukan dalam diri kita. Tidak ada peran yang kecil dan tidak berharga dalam kehidupan ini, karena Allah sudah menyiapkan potensi unik dan kesempatan yang berbeda kepada setiap diri; sebagai aktor yang saling melengkapi peran di panggung pertunjukan dunia ini. Kalo kata aktor sagala, dalam film Sejuta Sayang Untuknya, "Tidak ada aktor yang kecil, yang ada aktor yang kerdil.". Aku menafsirkan bahwa ketika kita menganggap peran kita di hidup ini kecil dan tak berharga, justru kita sedang merendahkan diri kita sekaligus mengerdilkan Dia, Sang Skenario Kehidupan. Maka, dimanapun kita berada, aku yakin kita bisa berperan dan memberikan makna. Mungkin sekarang belum terasa, tapi tetaplah berikhtiar dan teruslah berjalan untuk menemukan peran kita dalam kehidupan. Itulah sejatinya nilai dari Ambu Tingtrim yang tak akan lekang oleh waktu dan tak terbatas ruang.
0 Komentar