Belajar dan Menebar; Dua Mata Koin Esensi Kehidupan

(Sebuah Refleksi dari Sesanti Bakuning Hyang Mrih Guna Santya Bhakti)

Oleh: Thayyibah Nazlatul Ain

Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti, sebuah kalimat yang membuat mata saya tertuju dan membacanya berulang-ulang meski belum mengetahui artinya saat itu. Ntah mengapa, sejak dahulu saya selalu jatuh cinta pada pribahasa kuno. Meski tidak mengetahui maknanya, tapi rasanya selalu ada ruh pada setiap katanya. Saya memutuskan untuk mencari makna kalimat tersebut pada laman google dan ternyata kalimat itu adalah sesanti (semboyan) dari sebuah universitas di Bandung, yaitu Universitas Katolik Parahyangan

Setelah saya browsing, saya menemukan sebuah buku pdf yang berjudul SINDU, sebuah pedoman spritualitas dan nilai-nilai dasar universitas tersebut. Setelah membaca bukunya, akhirnya saya mengetahui bahwa arti dari kalimat tersebut adalah berdasarkan ketuhanan menuntut ilmu untuk dibaktikan kepada masyarakat. Jujur, pertama kali saya membacanya membuat saya merinding dan merenung. Mengembalikan saya kepada memori ketika awal terjadinya pandemi yang sempat membuat mental saya cukup terganggu karena terlalu sering melihat sudut-sudut yang tidak berubah.

Kondisi Covid-19
Photo Credit: Dokumentasi Pribadi, 2021

Jeda; Hikmah Pandemi Covid-19

Saat awal masa pandemi, saya sedang menjalankan kuliah semester 6 di jurusan teknik. Sebagai mahasiswa teknik, kami dituntut untuk gerak cepat, diberikan projek besar yang harus diselesaikan selama satu semester, hingga menuju deadline pengumpulan tidak jarang kami harus bergadang selama berhari-hari. Belum lagi harus menyelesaikan tugas di organisasi. Waktu terasa berputar begitu cepat. Belajar di bangku perkuliahan membuat saya terus menerus mengikuti sistem yang terkadang membuat saya terlena, bahkan tak benar-benar memaknai apa yang sebenarnya saya lakukan selama ini.

Namun, saat pandemi datang semua berubah signifikan, segala aktivitas dikerumahkan. Menuju New Normal ternyata tetap sama, kegiatan perkuliahan selama dua tahun akhirnya diselesaikan dengan sistem dalam jaringan (daring). Namun ada hal yang tak pernah kudapatkan sebelum adanya pandemi, yaitu makna dari jeda. Jeda saat pandemi menjadi ruang bagi saya mengobrol dengan diri sendiri, membuat saya lebih mengenal diri seutuhnya, mengetahui apa yang benar-benar saya butuhkan, dan lebih mengevaluasi nilai hidup yang selama ini dipegang. Hingga membuat saya bertanya pada diri sendiri, ‘Apa yang dilakukan dan dipelajari selama ini? Untuk apa berkuliah? Mengapa saya hidup?“. Pertanyaan-pertanyaan yang esensial bagi hidup saya sekarang, muncul saat pendemi. Ya, itu ‘berkat’ pandemi.

Mengobrol dengan Masyarakat Setelah New Normal
Photo Credit: Dokumentasi Pribadi, 2020

Mendengar Suara Masyarakat

Setelah memasuki masa New Normal, akhirnya saya memutuskan keluar rumah untuk sekadar menghirup udara segar. Jeda ternyata membuat saya lebih berenergi untuk bertemu dengan masyarakat. Setiap melakukan perjalanan, saya selalu berusaha merendahkan harapan, berjalan dengan keterbukaan dan membawa gelas kosong dalam setiap obrolan. Dari situlah saya merasa selalu mendapatkan pandangan-pandangan baru yang membukakan pikiran, menguatkan idealisme dan menumbuhkan empati untuk lebih peka terhadap sekitar.

Terlibat dalam Kegiatan Masyarakat
Photo Credit: Dokumentasi Pribadi, 2021

Bertemu masyarakat yang berada di daerah pedesaan atau terkadang menemui masyarakat adat untuk sekadar mengobrol santai. Semakin bertemu banyak orang dan mengobrol, membuat saya sadar bahwa kehidupan kampus yang selama ini saya agungkan ternyata hampa saat pembelajaran lapangan saya kosong. Permasalahan di masyarakat yang saya temui tidak bisa dengan mudah diselesaikan dengan perhitungan teori yang ideal di kelas tanpa mengetahui faktor X Y Z yang ada di lapangan. Semakin terjun ke masyarakat akhirnya membuat saya ‘kembali’ merawat idealisme yang sempat hilang. Dulu, saya bermimpi untuk bisa terjun ke masyarakat untuk melakukan pemberdayaan setelah lulus kuliah. Namun, saat berkuliah idealisme itu sempat memudar karena saya berpikir ‘Saya gak bakal bisa apa-apa tanpa mengetahui banyak ilmunya, harus kuliah S2 dulu, cari beasiswa, jadi konsultan dulu, harus kaya dulu biar bisa berbagi dan blablabla.’ Akhirnya, saya menjadi seorang yang apatis terus memikirkan diri sendiri dan ntah kapan kembali ke masyarakat. Kuliah sangat berguna untuk pembentukan pola pikir dan membuat saya lebih mawas diri ketika ingin menyampaikan sebuah ilmu yang didapatkan. Namun, kembali ke masyarakat membuat saya sadar bahwa ilmu kemasyarakatan juga perlu diperlajari dari sekarang. Untuk apa terlalu mendalami sebuah bidang, terlalu banyak teori di perkuliahan saat ternyata tidak relevan saat diaplikasikan ke masyarakat. Nyatanya, di perkuliahan pun tidak diajari ilmu jalanan yang saya dapatkan saat ‘berada’ di masyarakat.

Kegiatan Mengajar ke Pelosok
Photo Credit: Dokumentasi Pribadi, 2021

Menebar Untuk Memaknai Esensi Belajar

Pada awal tahun 2021 lalu, saya berkesempatan mengikuti kegiatan mengajar ke pelosok di daerah saya sendiri. Meski hanya empat jam dari pusat kota, ternyata ketimpangannya sangat terasa, terutama di bidang pendidikan. Di sana saya menemukan banyak orang yang tidak seberuntung saya dalam memaknai pendidikan. Masih banyak yang belum ‘sadar’ bahwa pendidikan adalah yang salah satu yang terpenting. Terkendala biaya seringnya menjadi hambatan. Hal tersebut jika dibiarkan akan menjadi lingkaran setan yang akan terus bergulir. Jangankan untuk mendapatkan pendidikan yang layak, fasilitas pun tidak memadai. Hanya terdapat 2 ruang untuk 6 tingkatan kelas sekolah dasar. Ironinya lagi, hanya ada satu guru untuk mengejar enam kelas tersebut. Beberapa bulan yang lalu, satu-satunya guru tersebut diangkat menjadi ASN. Saya bersyukur saat mendengar kabar baik itu karena telah mengabdi menjadi guru honorer selama 12 tahun di sana, namun di sisi lain saya juga sedih karena anak-anak tidak bisa belajar. Kondisi pandemi selama ini, jangankan untuk sekolah daring, gadget pun tidak semua memiliki. Terlebih sinyal di pelosok sangat sulit didapatkan. Mereka harus pergi ke bukit untuk mendapat sinyal dan belajar ramai-ramai dari satu gadget yang dimiliki oleh satu orang tua siswa.  

Perenungan saat pandemi hingga saya melihat realita di lapangan, membimbing saya menemukan jawaban tentang apa makna hidup dan mengapa orang tua saya menyekolahkan hingga berkuliah. Dahulu, kakak tingkat ‘mendoktrin’ saya, “Kamu harus kuliah yang bener biar IPKnya bagus, harus rajin ikut seminar biar bisa dapet sertifikat. Itu semua nanti kamu bisa masukkin buat Curiculum Vitae. Ngebantu banget buat kerja nanti.” Kini, saya sadar bahwa hidup ini tidak seklise itu, sekolah-kuliah-kerja-nikah. Kuliah itu bukan selalu untuk bekerja. Saya sekarang tidak sekaku kalo kuliah jurusan A berarti harus kerja di bidang B. Karena pada akhirnya pekerjaan akan bergantung pula pada kepribadiaan masing-masing. Seorang yang berbakat menulis belum tentu bisa bekerja di korporasi. Begitu pula, seorang yang punya bakat menjadi pekerja yang professional akan sulit survive di dunia seniman yang penuh kebebasan. Bisa sih, tapi sayang sekali jika apa yang kita lakukan tidak bisa mengoptimalkan potensi diri hanya karena terus menerus mengikuti tuntutan dunia. Tetapi, setiap manusia punya kewajiban, mempunyai ‘peran’ untuk berkontribusi dan punya caranya masing-masing untuk menebar kebermanfaatan.

Nilai Mendalam dari Sebuah Semboyan

Saya benar-benar merinding ketika membaca sesanti Bakuning Hyang Mrih Guna Santyaya Bhakti. Dalam buku SINDU ada tiga poin yang yang menjabarkan sesanti tersebut. Poin pertama menjabarkan tentang agar cendekiawan mampu beriman kepada Tuhan melalui disiplin ilmunya masing-masing demi terwujudnya situasi yang saling melengkapi dalam pencarian para cendekiawan akan kebenaran. Saya setuju betul bahwa semakin kita mencari ilmu dan memaknainya, akan semakin mendekatkan kita kepada-Nya dan membimbing kita membuktikan kebesaran-Nya. Namun, kok bisa banyak koruptor yang lahir dari kampus ternama bahkan bergelar tinggi? Ya, tapi saya yakin bukan ilmunya yang salah tapi karena ilmunya tidak berkah, akhirnya apa yang dipelajarinya hampa dan tidak terinternalisasi dalam diri. Karena kan ilmu itu seperti padi, semakin berisi semakin merunduk.

Poin selanjutnya tentang sesanti ini adalah menuntut ilmu berarti menjadi cendekiawan yang bijaksana dan berbelarasa terutama kepada kaum marjinal dalam masyarakat. Poin yang benar-benar meaningful, penjelasan tersebut menjadi reminder bagi saya untuk terus menyadari bahwa kita punya tanggung jawab untuk masyarakat. Kini saatnya kita membuka mata. Setelah selama ini di perkuliahan disibukkan dengan tugas yang bejibun membuat kita kadang menyerah bahkan ada kasus mahasiswa yang mengakhiri hidupnya karena depresi kuliah. Kini saatnya keluar dan melihat dunia dengan utuh, melihat kondisi masyarakat yang tidak memiliki kesempatan yang sama. Karena melihat realita di sekitar akan menjadi energi kita dalam memaknai ilmu untuk selanjutnya menjadi bekal ke masyarakat.

Poin ketiga adalah membaktikan ilmu sesuai dengan profesinya masing-masing kepada masyarakat. Hal ini dimaksudkan demi membangun kehidupan sejati yang hendak memprioritaskan pemberdayaan kaum marjinal dan pelestarian lingkungan hidup. Benar bukan, kuliah tidak selalu untuk bekerja? Meski mungkin bisa saja mengabdi ke masyarakat lewat bekerja. Namun ini tentang bagaimana kita memaknai apa yang kita lakukan selama ini. Misalnya, menjadi ASN guru, tentu merupakan abdi negara yang mencerdaskan putra bangsa bukan? Tapi jangan biarkan maknanya terlalu sempit, ingin menjadi ASN karena hanya untuk gaji besar dan terjamin. Namun maknailah, menjadi ASN adalah jembatan untuk mengabdi kepada masyarakat, karena kalo gaji kan kepastian hehe. Maka, tinggal orientasi hidup kita saja yang perlu terus di-upgrade, jangan cuma gadget yang di-upgrade.

Tiga poin yang semakin merawat nilai hidup yang saya yakini. Pandangan tersebut tentunya lahir dari proses panjang. Saya bersyukur lahir di keluarga yang sangat mengedepankan pendidikan. Bukan sekadar menerima materi dan menghafalkannya, namun belajar bagaimana memaknai setiap ilmu yang didapatkan serta keberkahannya akan tercermin dari adab dan kebermanfaatan yang kita tebar, begitu kata mama saya.

Refleksi Memaknai Ilmu dari Perjalanan Panjang

Tulisan ini adalah hasil refleksi panjang yang membawa saya pada pemaknaan hidup bahwa tiada lagi alasan hidup kecuali untuk menebarkan kebermanfaatan pada sesama dan semesta; makhluk-Nya. Ntahlah, semoga bukan sekadar pengaruh sesaat dari sebuah kalimat, “Khairunnas Anfauhum Linnas” (Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat) yang saya yakini di agama saya. Setiap ilmu yang kita pelajari dan tebar pasti meninggalkan jejak jika dijalankan dengan sebuah ‘pemaknaan’. Akan menuntun kita pada proses menemukan kebenaran dan membimbing kita melihat kekuasaan-Nya jika dilalui dalam jalan keberkahan. Karena pada akhirnya, semua proses panjang itu menjadikan kita menuju manusia yang paripurna untuk menebarkan kebermanfaatan.

Ini hanya sebuah cerita retrospeksi dan persepsi, bukan sebuah kebenaran. Serta dilombakan dalam #LombaBlogUnpar Ekspresi Parahyangan #BlogUnparPengabdian

Referensi:

Lembaga Pengembangan Humaniora. 2015. Spiritualitas dan Nilai-Nilai Dasar Universitas Katolik Parahyangan

Posting Komentar

0 Komentar