(Belajar Merawat Sustainabilitas Energi Terbarukan Berbasis Kearifan Lokal dari Masyarakat Adat Ciptagelar)
Sudahkah kita semua merdeka?
Genap 75 tahun Indonesia merdeka. Meski terkadang berpikir masih belum berkontribusi apapun untuk tanah tercinta namun ketika mendengarkan lagu kebangsaan tetap merinding dan masih merasakan nafas perjuangan untuk terus memajukan tanah pusaka. Sudah tiga seperempat abad proklamasi, apakah kita sudah benar-benar merdeka? Arti merdeka menurut KBBI adalah bebas (dari penjajahan, penghambaan), berdiri sendiri, tidak terkena atau lepas tuntutan, tidak terikat, tidak tergantung kepada pihak tertentu atau dapat berbuat sekehendak hatinya. Merujuk pada makna tersebut, secara kebangsaan kita memang sudah bebas dari penjajahan bersenjata. Namun, tentu setiap orang memiliki versi yang berbeda dalam memaknai kemerdekaan. Kini setiap orang mengaungkan kemerdekaan diri, kemerdekaan dalam kehidupan, namun satu hal yang sering terlupakan yaitu terlena bahwa lingkungan dan bumi membutuhan kemerdekaan pula. Saya tidak benar-benar tahu apa yang bumi keluhkan dan kemerdekaan apa yang mereka inginkan. Tetapi, kejadian musibah pandemi covid-19 ini menjadi ruang retrospeksi dan evaluasi diri bahwa bumi sedang sakit dan membutuhkan waktu untuk memulihkan diri. Covid-19 yang menjadi musibah bagi seluruh umat manusia mungkin adalah vaksin dan obat bagi bumi karena di masa pandemi bumi diberi waktu untuk beristirahat dan self-purification. Hal ini karena berbagai aktivitas dikerumahkan dan dibatasi.Oleh karena itu, di beberapa negara pencemaran lingkungan menurun di berbagai sektor, salah satunya penurunan polusi udara. Penurunan polusi udara berhubungan dengan pembatasan perjalanan ketika pandemi,hingga terjadi penurunan polusi udara salah satunya di China. Penurunan pada Air Quality Index (AQI) menurun hingga 7,8% dan limbah komponen polusi udara yaitu SO2, PM 2,5, PM10, NO2, dan CO menurun masing-masing 6,67%, 5,93%, 13,66%, 24,67%, dan 4,58% (Bao & Zhang, 2020). Peneliti NASA juga memaparkan bahwa terjadi penurunan polusi NO2 yang terjadi di sekitar Pusat China yang menurun hingga 30% dan emisi CO2 berkurang hingga 25% di China dan 6% di dunia (Dutheil et al., 2020). Penurunan aktivitas kendaraan dan industri yang ditandai dengan berkurangnya emisi karbon tentu berpengaruh pada penurunan kebutuhan energi. Hal ini sebagaimana berdasarkan Global Energy Review 2020 IEA, saat pandemi terjadi penurunan kebutuhan bahan bahan bakar energi sebagaimana pada grafik berikut:
Berdasarkan data di atas, kebutuhan energi rata-rata turun, namun yang menarik adalah kebutuhan energi terbarukan meningkat. Hal ini karena pada masa pandemi keberpihakan pemasok listrik di sektor renewable energy diprioritaskan. Dalam hal ini pandemi bisa menjadi awal yang baik untuk terus meningkatkan potensi pengembangan energi terbarukan. Bumi yang pada saat pandemi sedang memulihkan diri karena sakit akibat terus terpapar pencemaran terutama emisi karbon, semoga menjadi ruang refleksi diri bahwa energi yang menjadi sektor terbesar dalam kontributor emisi karbon dapat menumbuhkan awareness masyarakat untuk lebih bijak dalam menggunakan energi dan dapat bersinergi dalam mendorong energi bersih atau renewable energy. Penggunaan energi bersih juga menjadi salah satu langkah untuk ‘memerdekakan’ bumi yang selama ini selalu kita jajah, sehingga kemerdekaan bisa merata untuk semua; manusia dan makhluk hidup lainnya dan bumi tempat kita berpijak.
EDM pada Masyarakat Adat, Awal Baik Akselerasi Renewable Energy
Berdasarkan data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga April 2020, rasio elektrifikasi nasional Indonesia telah mencapai 99,48 persen, angka tersebut merupakan salah satu pencapaian pemerintah yang bahkan melebihi target RPJMN tahun 2015-2019 sebesar 96 persen. Untuk mencapai rasio elektrifikasi hingga 100% pemerintah menargetkan pengembangan energi, salah satunya di bidang energi terbarukan (EBT). Pengembangan EBT ditargetkan mencapai 23% pada tahun 2025 sebagaimana tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Untuk memulai pengembangan EBT diperlukan berbagai strategi yang efektif untuk mendorong ketercapaian target EBT salah satunya dengan metode Energy Delivery Model (EDM). EDM adalah pendekatan untuk menyediakan akses energi pada masyarakat yang membutuhkan. Pendekatan ini didasarkan pada observasi bahwa penyediaan akses energi memiliki pengaruh yang luas dan berkelanjutan bagi masyarakat yang membutuhkan partisipasi masyarakat dalam pengembangannya. Hal ini agar penyediaan energi dapat sesuai dengan kebutuhan dan konteks sosial, ekonomi serta kebudayaan masyarakat tersebut.
Dalam mengimplementasikan akselerasi renewable energy dengan metode EDM ini bisa dimulai dengan penyediaan listrik bagi masyarakat adat yang belum dialiri listrik terutama di wilayah Indonesia Timur seperti Papua dan Nusa Tenggara Timur (NTT) dan beberapa daerah di Kalimantan. Hal ini sebagaimana berdasarkan laman okezone.com bahwa sebanyak 325 desa di Papua belum dialiri listrik dan berdasarkan data ESDM bahwa 306 desa di Kalimantan Utara belum mendapat akses listrik. Oleh karena itu, pengembangan EBT bisa dimulai pada desa terpencil di Indonesia terutama bagi masyarakat ada berdasarkan model EDM. Implementasi pengembangan EBT pada masyarakat adat sebenarnya sudah diinisiasi sejak tahun 2012 yang bekerja sama dengan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Namun, hingga saat ini, belum seluruh masyarakat adat teraliri listrik. Pengembangan EBT pada masyarakat adat dengan pendekatan EDM yang menekankan pada pendekatan dan berbasis partisipasi masyarakat yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat relevan diterapkan bagi masyarakat adat yang cenderung memiliki budaya gotong royong dan sangat memegang aturan adat dan nilai-nilai kearifan lokal. Partisipasi masyarakat adat dengan memegang nilai budaya ini akan menjaga keberlanjutan pada proses operasional dan perawatan EBT di daerah tersebut.
Masyarakat adat di Indonesia rata-rata tinggal di pedalaman seperti daerah pegunungan atau sebagai dekat dengan laut. Hal ini memungkinkan memiliki banyak potensi EBT yang dapat dikembangkan. Sebagai contoh, masyarakat adat di daerah Jawa Barat atau sebagian Indonesia Timur yang rata-rata bermata pencaharian di bidang agrikultur dan peternakan yang memiliki potensi dalam pengembangan PLT Biomassa atau biogas, hal ini sebagaimana target pemerintah dalam pengembangan co-firing dengan pellet biomassa serta pengembangan PLT biomassa di wilayah Indonesia Timur secara massif. Bagi masyarakat adat di daerah laut, pengembangan energi angin atau bayu bisa dipertimbangkan disesuaikan dengan potensi lokal dan kearifan budaya setempat.
Belajar Pada Ciptagelar, Merawat Sustainabilitas PLTMH
sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020
Kasepuhan Ciptagelar adalah salah satu dari beberapa kasepuhan yang tergabung dalam Kesatuan Adat Banten Kidul (SABAKI), terletak di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak yang termasuk dalam wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten. Serta merupakan salah satu masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN). Secara administrasi, Kasepuhan Ciptagelar terletak di Desa Sirna Resmi Kecamatan Cisolok Kabupaten Sukabumi yang berada di ketinggian 800 hingga 1200 di bawah permukaan laut. Kasepuhan Ciptagelar terdiri dari 360 kampung dan ditempati oleh lebih dari 29.000 pengikut adat (incu putu) yang tersebar di tiga Kabupaten yaitu Kabupaten Sukabumi, Bogor dan Lebak.
sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020
Ciptagelar termasuk masyarakat adat yang open minded dan dinamis terhadap perkembangan zaman sehingga menerima teknologi yang berkembang di masyarakat lain. Penggunaan gawai, wifi, laptop bahkan memiliki jaringan televisi lokal sendiri yaitu Ciga TV. Dalam memenuhi kebutuhan listriknya, masyarakat adat memanfaatkan energi terbarukan yaitu energi mikrohidro yang kini sudah terbangun empat PLTMh (Pembangkit Listri Tenaga Mikrohidro). Pada awalnya mikrohidro ini hanya berupa turbin berkapasitas 50 kVa yang dibangun oleh JICA Jepang pada sungai Cicemet pada tahun 1983. Lalu, pada tahun 2006-2012 dibangun turbin Situ Murni berkapasitas 50 kVa yang disupport oleh UNDP (United Nation Developement Programme) dan dilanjutkan dengan PLTMh pada 2013-2014 oleh Pemerintah Jawa Barat. Hingga kini turbin dimanfaatkan menggunakan aliran Sungai Cisono mampu mengaliri listrik untuk 1500 hingga 1700 desa. Masyarakat cukup membayar Rp. 500 per watt per bulan untuk aliran listrik setiap rumah.
Sebenarnya pengembangan turbin mikrohidro ini juga telah diimplementasikan oleh kasepuhan lain salah satunya Kasepuhan Sinar Resmi yang masih berada di kawasan yang sama dengan Kasepuhan Ciptagelar. Namun, pada tahun 1998 saat PLN masuk ke daerah ditambah dengan pengembangan turbin yang belum memadai dan belum bisa memenuhi kebutuhan listrik seluruh masyarakat adat, sehingga masyarakat beralih menggunakan aliran listrik PLN yang berasal dari PLTU. Berbeda dengan Kasepuhan Ciptagelar, karena akses jalan yang cukup sulit dengan ditunjang beberapa dukungan fasilitas dari berbagai pihak baik swasta maupun pemerintah, Ciptagelar tetap bisa mempertahankan keberlanjutan penggunaan energi terbarukan hingga saat ini.
sumber: Mongabay.co.id, 2020
Menjaga sustainabilitas PLTMh tentu membutuhkan partisipasi dan kerjasama masyarakat. Hal ini dapat tercermin dari masyarakat adat Ciptagelar bergotong royong untuk melakukan operasi dan perawatan pada PLTMh tersebut. Menurut Yoyo Yogasmana (juru bicara kepala adat) dalam wawancara pada 19 Juli 2020, masyarakat adat secara bergantian akan melakukan maintenance setiap bulan dengan cara membersihkan turbin secara rutin dari pasir yang menempel untuk menjaga kapasitas aliran listrik. Selain itu, masyarakat adat memiliki aturan adat untuk menjaga kestabilan aliran sungai. Kepala adat melarang untuk membuat bangunan atau menggarap lahan pertanian berbasis irigasi di kawasan yang bersinggungan langsung dengan mata air. Selain itu, secara turun menurun sudah ada larangan untuk membuat percabangan aliran irigasi kecil untuk menghindari pencemaran air dan stabilitas pengairan. Hal ini direpresentasikan dari pribahasa pahilir-hilir tampian pagirang-girang tampian, yang artinya diharapkan tidak menerima aliran air dari berbagai percabangan.
Selain itu, dalam menjaga stabilitas kuantitas air, terdapat kearifan lokal dalam mengelola wilayah adatnya. Pola tata ruang tersebut diatur dalam peratura hokum adat. Masyarakat adat membagi lahan berdasarkan kearifan tradisional menjadi empat wewengkon (daerah), sebagai berikut:
- Hutan Tutupan. Adalah kawasann hutan primer yang tidak boleh diganggu dan dirusak oleh manusia. Kawasan tersebut dikeramatkan sehingga tidak boleh dimasuki. Secara ekologis, kawasan tersebut merupakan kawasan yang sangat penting untuk menjaga lingkungan dan sumber kehidupan.
- Hutan Titipan. Adalah kawasan hutan yang bisa dikunjungi masyarakat dan bisa dimanfaatkan hasil hutannya untuk kebutuhan seperti hasil hutan non-kayu, tanaman obat, dan lain-lain. Secara ekologi, kawasan ini berfungsi sebagai penjaga mata air.
- Hutan Awisan. Adalah kawasan hutan yang digunakan sebagai lahan cadangan ketika akan berpindah. Karena masyarakat adat ini hidup nomaden, sehingga dibutuhkan hutan awisan untuk cadangan ketika nantinya berpindah.
- Hutan Garapan/Sampalan. Adalah Hutan untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanan, perkebuhan, pemukin dan sarana lainnya.
sumber: Dokumentasi Pribadi, 2020
Dengan adanya pola pemanfaatan lahan ini menjadi upaya untuk menjaga keseimbangan alam terutama pengelolaan sumber air yang sebenarnya merupakan konsep antisipasi yang sudah diwariskan secara turun menurun. Kudu weruh kada pituduh, kudu waspada kana papatah, yang artinya harus patuh pada pedoman atau pentunjuk leluhur dan harus waspada pada pepatah orang tua. Oleh karena itu, kearifan lokal yang dimiliki masyarakat adat memiliki potensi untuk dapat merawat sustainabilitas pengembangan energi terbarukan.
Berdasarkan hal tersebut, dalam memerdekan bumi dengan cara pengembangan energi terbarukan dapat dimulai dengan mengimplementasikan EBT pada masyarakat adat. Hal ini karena masyarakat adat memiliki kearifan lokal yang dapat mendukung kelembangaan informal dalam pengoperasian dan perawatan EBT, sehingga dapat menjaga sustainabilitasnya.
Referensi:
Hasil Wawancara dengan Juru Bicara Kepala Adat (Yoyo Yogasmana) pada 18 Juli 2020
Aini, S. N., & Syafi’, Moh. (2019). Tradisi mipit pare di kasepuhan ciptagelar. Kontemplasi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, 7(01), 133–150. https://doi.org/10.21274/kontem.2019.7.01.133-150
Aldrian, E., & Karmini, M. (n.d.). Perubahan Iklim di Indonesia. 186.
Brown, Sandra, 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer.(FAO Forestry Paper – 134). FAO, Rome.McDonnell, 1979. Biomass measurement: a synthesis of the literature. Proc. For. Inventory Workshop, SAFIUFRO. Ft. Collins, Colorado: 544-595.
Bao, R., & Zhang, A. (2020). Does lockdown reduce air pollution? Evidence from 44 cities in northern China. Science of The Total Environment, 731, 139052. https://doi.org/10.1016/j.scitotenv.2020.139052
Dewi, I. K. (2016). Mitigasi Bencana Pada Masyarakat Tradisional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim Di Kampung Naga Kecamatan Salawu Kabupaten Tasikmalaya. 23(1), 7.
Dutheil, F., Baker, J. S., & Navel, V. (2020). COVID-19 as a factor influencing air pollution? Environmental Pollution, 263, 114466. https://doi.org/10.1016/j.envpol.2020.114466
FWI. 2009. INFOFWI: Perhitungan Karbon. Report. fwi.org
Joe Quirk & Patri Friedman. 2017. Seasteading. FreePress
Iskandar, J., & Iskandar, B. S. (2018). Etnoekologi, Biodiversitas Padi dan Modernisasi Budidaya Padi: Studi Kasus Pada Masyarakat Baduy dan Kampung Naga. Jurnal Biodjati, 3(1), 47. https://doi.org/10.15575/biodjati.v3i1.2344
IEA; Global Energy Review 2020. The Impact of the Covid-19 Crisis on Global Energy Demand and CO2 Emission. Projected Change in Primary Energy Demand by Fuel in 2020
Muziansyah, Devianti. Rahayu Sulistyorini. Syukur Sebayang. 2015. Model Emisi Gas Buangan Kendaraan Bermotor Akibat Aktivitas Transportasi (Studi Kasus: Terminal Pasar Bawah Ramayana Koita Bandar Lampung). JRSDD, Edisi Maret 2015, Vol. 3, No. 1, Hal:57 – 70 (ISSN:2303-0011)
Mawaddahni, S. (2017). Tipomorfologi Permukiman Kasepuhan Sinar Resmi, Kabupaten Sukabumi. Local Wisdom : Jurnal Ilmiah Kajian Kearifan Lokal, 9(1), 74–89. https://doi.org/10.26905/lw.v9i1.1868
Muslim, C. (n.d.). Mitigasi Perubahan Iklim dalam Mempertahankan Produktivitas Tanah Padi Sawah (Studi kasus di Kabupaten Indramayu). Jurnal Penelitian Pertanian Terapan, 12.
Pearson, T., Sandra Brown. 2004. Exploration of the carbon sequestration potential of classified forests in the republic of Guinea. Report submitted to the USAID. Winrock International, Arlington, VA, USA.
Syahni, Della. 2020. Belajar dari Kasepuhan Cipta Gelar, Panen Energi Air dan Matahari. Sites. Retrieved Agustus 19, 2020. From https://www.mongabay.co.id/2020/04/07/belajar-dari-kasepuhan-ciptagelar-panen-energi-dari-air-dan-matahari/
Peranginangin, J., Syarif, A. R., Cahyadi, E., & Rohayati. (2012). Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim oleh Masyarakat Adat. Cordaid.
Wellece Well, D. (2019). Bumi Yang Tak Dapat Dihuni. New York time.
Wihardjaka, A. (2016). MITIGASI EMISI GAS METANA MELALUI PENGELOLAAN LAHAN SAWAH. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 34(3), 95. https://doi.org/10.21082/jp3.v34n3.2015.p95-104
Wibowo, Ari. 2016. IMPLEMENTASI KEGIATAN REDD+PADA KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA (Implementation of REDD+ Activities in Conservation Area of Indonesia) Jurnal
0 Komentar