“Manusia adalah makhluk yang paling gila. Mereka memuja Tuhan yang tidak terlihat dan merusak alam yang terlihat tanpa menyadari bahwa alam yang sedang mereka rusak sebenarnya adalah manifestasi Tuhan yang mereka puja.”
Hubert Reeves (Ahli Astrofisika)
Hutan dan Udara, Kebutuhan Pokok Manusia
Tidak ada orang yang akan menolak untuk memandang hamparan hijau dan pohon rindang yang menyejukan mata. Pun mustahil ada orang yang tak membutuhkan udara bersih yang menyegarkan pikiran dan raga. Nyatanya, setiap orang membutuhkan 18 kg udara bersih setiap harinya untuk bernafas menurut Panasonic saat memaparkan teknologi nanoeTM dengan konsep Quality Air for Life (QAFL). Sebagaimana dilansir dari laman benenden.co.uk menyebutkan bahwa menghirup udara segar serta mencium aroma bunga dan pepohonan akan mengurangi stress dan gangguan kecemasan. Oksigen yang dihirup akan menghasilkan serotonin yang dihasilkan dalam tubuh. Hormon tersebut akan berkontribusi meningkatkan kebahagiaan dan relaksasi. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan di Cincinnati, Ohao bahwa anak-anak balita yang terpapar polusi udara saat masa remaja akan lebih rentan mengalami gangguan kecemasan, depresi atau bahkan perilaku bunuh diri. Hal ini, tanpa kita sadari sebenarnya secara alamiah tubuh dan pikiran kita membutuhkan ‘keberadaan’ udara yang segar dan hamparan hijau –hutan-. Meskipun nyatanya kebutuhan hidup mungkin memaksa kita ada di kota besar dengan gedung pencakar langit yang indeks kualitas udaranya (AQI) mungkin sudah memasuki angka lebih dari 200 atau level merah-tidak sehat bagi semua orang-.
dokumentasi pribadi, 2019
Egosentris, Terlena dan Lupa Diri
Kita menyadari bahwa oksigen adalah kebutuhan dasar untuk bertahan hidup yang dihasilkan dari proses metamorphosis tumbuhan. Namun nyatanya, aktivitas kita pula yang menyebabkan udara terganggu. Kegiatan transportasi, industri, energi, agrikultur bahkan rumah tangga secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kualitas udara kita. Berdasarkan data Journal Nature pada tahun 2012 satu dari tiga penyumbang gas rumah kaca terbesar adalah dari aktivitas manusia salah satunya agrikultur dan menyumbang 86% CO2 (Joe Quirk & Patri Friedman, 2017). Memang tidak salah karena toh tidak dapat dipungkiri hidup kita sudah sangat tergantung pada sektor-sektor tersebut, untuk bertahan hidup pula, bukan? Namun kita terlalu mengagungkan dan mendahulukan kebutuhan materi –yang katanya, untuk bertahan hidup-. Tanpa disadari, kebutuhan kita terhadap alam yang rindang dan segar tidak lagi menjadi prioritas. Padahal, hal itu yang menunjang kehidupan kita pula secara alamiah. Akhirnya memunculkan sebuah pandangan egosentris yang menganggap manusia adalah titik pusat pemikiran. Dampaknya, membeli kendaraan berapapun hanya asal punya duit untuk bayar pajak tapi gak pernah kepikiran membayar kerugian untuk lingkungan, penggundulan dan kebakaran hutan tak terkendali untuk kepentingan beberapa orang, bahkan menghalalkan berbagai cara untuk lolos mendirikan bangunan dengan ‘mengelabui’ izin lingkungan .
Bukan Lagi Nafas
Hutan dan udara, kedua aspek yang sangat berhubungan untuk menunjang keberlangsungan kehidupan. Hutan yang disebut paru-paru dunia memang adalah nafas seluruh umat manusia. Proses alami yang terbentuk sebagai penyimpan karbon dari aktivitas manusia merupakan peran yang krusial tanpa terasa. Namun apakah hutan akan selalu menyelamatkan dunia? Bukankah kemampuannya menyimpan karbon menjadi momok saat ‘terganggu’ oleh aktivitas manusia? Berdasarkan laman Forest Watch Indonesia bahwa segala aktivitas manusia yang meyebabkan konversi hutan untuk peruntukan lain tentu akan memicu terjadi pelepasan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer. Dampak konversi hutan tersebut membuat terlepas cadangan karbon dalam biomassa tumbuhan dan memicu adanya degradasi tanah yang akan menyebabkan karbon dari material organik tanah terlepas. Lebih menyeramkannya lagi, perubahan vegetasi pada hutan tidak hanya melepas karbon yang tersimpan tetapi proses tersebut akan menjadikan hilangnya fungsi hutan sebagai penyerap karbon. Dikutip dari laman unicef.org emisi tata guna lahan menyumbang hampir dari seperlima (sekitar 6 GT) dari total emisi dunia dan hampir semuanya disebabkan karena deforestasi dan pengrusakan hutan. Setengah dari total emisi deforestasi ini berasal dari Brazil dan Indonesia, dengan Indonesia penyumbang laju deforestasi dua kali dari Brazil atau setara dengan menyumbang sepertiga emisi deforestasi di dunia atau sekitar tujuh persen dari emisi dunia. Dengan angka persentase tersebut, deforestasi ini penyebab terbesar kedua perubahan iklim setelah emisi penggunaan bakar fosil. Begitu pun bagi negara berkembang termasuk Indonesia, deforestasi menjadi penyebab terbesar perubahan iklim.
Buah Keputusasaan, New Normal Iklim
Berdasarkan buku David Wallece-Wells berjudul “The Unhibitable Earth” bahwa tahun 2017, terjadi musim gugur terburuk di California yang meluas 20.000 hektar yang akhirnya membakar 1.100 kilometer persegi dan memaksa lebih dari 100.000 orang harus dievakuasi. Kejadian tersebut disebut Kebakaran Thomas, yang ternyata hanya mampu ditangani sekitar 15% dan kebakaran yang memicu munculnya bencana-bencana lain. Kebakaran tersebut diduga kuat karena cuaca ekstrim akibat perubahan iklim. Kebakaran hutan menjadi sebuah probabilitas, terjadi disengaja oleh oknum tertentu ataupun tidak sengaja, lebih tepatnya bukan tidak sengaja sih, tetapi fenomena alam yang tidak lagi alami akibat ketidakbijaksanaan aktivitas manusia. Dianggap sebagai New Normal (Wellece, 2019), buah dari keputusasaan, kebakaran yang dianggap akan terus terjadi.
Dampak dari kebakaran, penggundulan atau pohon mati secara alami pun akan menyebabkan karbon yang tersimpan menjadi ter-release ke atmosfer. Mirip seperti batu bara bukan? Itulah mengapa efek kebakaran hutan adalah yang paling ditakuti sebagai lingkaran umpan balik iklim, hutan yang awalnya menyelamatkan dunia dengan kemampuan menyerap karbonnya menjadi sumber masalah penghasil karbon. Setiap ekosistem hutan memiliki kemampuan menyerap karbon yang berbeda-beda tergantung jenis pohon yang dapat tumbuh. Hutan tropis rata-rata dapat menyerap karbon sebanyak 163,5 ton/Ha/tahun dengan produksi oksigen 7.09 ton/Ha/tahun sedangkan perkebunan kelapa sawit mampu menyerap karbon 160 ton/Ha/tahun dengan produksi oksigen sebesar 18,7 ton/Ha/tahun (Henson, 1999 and PPKS, 2005). Hal itu dapat dibayangkan berapa gas karbon yang akan terlepas ke atmosfer saat diusia 20 tahun pohon tersebut terbakar. Dampak kebakaran hutan juga lebih dramatis saat kebakaran hutan yang tumbuh di atas lahan gambut. Hal ini seperti yang terjadi pada tahun 1997, kebakaran lahan gambut di Indonesia menyebabkan terlepasnya 2,6 milliar ton karbon atau setara dengan 40% emisi global tahunan ke atmosfer (Wellece, 2019). Indonesia mempunyai sekitar 21 juta ha lahan gambut dengan simpanan karbon bawah tanah (below ground) sekitar 37 giga ton (Gt) (Wahyunto, 2007). Selain menjadi lahan menyimpanan karbon, gambut juga memiliki kemampuan menyerap air yang lebih tinggi daripada lahan tanah mineral. Hal tersebut dikarenakan bahan organik yang terakumulasi secara dominan di lahan gambut. Air yang terkandung dalam lahan tanah gambut bisa mencapai 300-3000% bobot keringnya, jauh lebih tinggi dibanding dengan tanah mineral yang kemampuan airnya hanya berkisar 20-35% dari berat keringnya (Dariah, 2014). Namun, dibalik kemampuan lahan gambut yang dapat menyerap air hingga 20 kali lebih tinggi dari lahan tanah mineral, sifat gambut dapat mudah berubah dari hidrofilik menjadi hidrofobik apabila mengalami proses pengeringan. Hal ini terjadi apabila lahan gambut terbakar. Tingkat penyerapan air akan lebih rendah setelah lahan gambut terbakar karena sifatnya menjadi hidrofilik (menolak air). Oleh karena itu lahan gambut memerlukan kebutuhan air yang lebih tinggi saat terjadi kebakaran.
Kausalitas Semesta
Terlepasnya emisi karbon ke atmosfer akibat kebakaran hutan, tidak hanya akan me-release emisi CO atau CO2, tetapi juga particulate metter (PM), SOx, NOx dan lain-lain. Dengan konsentrasi tinggi, emisi tersebut akan mempengaruhi kesehatan manusia secara akut maupun kronik, bahkan akan berujung kematian. Tiap tahun, di seluruh dunia antara 260.000 dan 600.000 meninggal dunia akibat asap dari kebakaran hutan, paparan polusi partikulat dalam jangka pendek akan menyebabkan infeksi saluran pernafasan secara akut. Setiap penambahan sepuluh mikrogram per meter kubik partikulat akan menyebabkan kenaikan diagnosis sebanyak 15 sampai 32 persen (Wellece, 2019). Pada tahun 2017, menurut riset The Lancet menunjukan bahwa sembilan juta kematian prematur di seluruh dunia disebabkan oleh polusi partikulat. Begitu pula berdasarkan laporan dari the Royal College of Physicians menunjukan bahwa terjadi 40.000 kematian di UK disebabkan oleh paparan polusi udara. Paparan tersebut berperan pada memicu berbagai isu kesehatan seperti kanker, asma, struk, penyakit hati dan dementia. Hal ini juga terjadi pada saat kebakaran hutan dan lahan gambut di Pulau Sumatera dan Kalimantan pada taun 2019 menyebabkan 10 juta anak terpapar risiko polusi udara.
Secara tidak langsung, efek dari kebakaran hutan dalam jangka panjang akan menyebabkan kekeringan karena adanya perubahan sifat pohon yang menjadi hidrofobik. Kekeringan ini akan berdampak langsung pada kualitas udara, berpotensi menghasilkan debu dan penyakit yang pada zaman Mangkuk Debu Amerika disebut ‘pneumonia debu’ yang menyebabkan kematian meningkat dua kali akibat polusi. Selain itu, kebakaran hutan menyebabkan kemampuan ‘menyejukan’ lingkungan akan hilang dan menjadi lebih panas. Kondisi ini akan meningkatkan produksi ozon yang berkontibusi pada asap kabut (smog) ozon yang tidak sehat. Pada tahun 2090, diprediksi sampai 2 milliar orang di dunia akan menghirup udara di atas batas aman menurut WHO (Wellece, 2019).
sumber: dokumentasi pribadi, 2020
Sebuah Titik Balik
Berdasarkan hal tersebut, hutan bisa menjadi penyelamat dunia tapi bisa pula menjadi bencana. Dahulu, alam semesta ini berjalan dengan penuh keseimbangan dan keadilan. Bukankah akan mudah bagi para peneliti memprediksi potensi bencana? Keteraturan musim akan membuat kita antisipasi menghadapinya. Di Indonesia, sejak dini kita diajarkan bahwa setiap musim akan berlangsung selama beberapa bulan tertentu. Namun saat kita dewasa ini rasanya itu hanya sebuah ‘kebohongan’. Padahal, nyatanya dahulu alam memang begitu teratur, namun kini untuk memperkiraan alam terlalu banyak variable yang menggangu. Kini bencana alam sudah tidak lagi alami, para saintis menyebutnya sebuah bencana yang terjadi adalah sebuah ketidakpastian. Ketidakpastian itu bukan menggambarkan ketidaktahuan mengenai alam, melainkan kebutaan terhadap dunia manusia dengan berbagai aktivitas manusia sebagai variable yang cukup sulit diprediksi. Itulah mengapa kini hidup ini melampaui ‘akhir alam’, dimana tindakan manusia lebih dominan menetukan nasib alam di masa depan, bukan sistem yang berada di luar kendali kita dan dahulu dengan mudah dipetakan (Wellece, 2019). Oleh karena itu, hal ini tergantung dari bagaimana kita sebagai manusia yang berperan dalam pemanfaatannya sekaligus pengelolanya. Upaya penurunan emisi pada sektor kehutanan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada prinsipnya, pengurangan emisi ini dengan mempertahankan stok karbon dan meningkatan serapan melalui penanaman. Selain itu, mekanisme pengurangan emisi ini dilakukan dengan dikembangkan mekanisme Reducing Emission from Deforestation and Degradation Plus (REDD+). REDD+ adalah sebuah pendekatan kebijakan dan insentif positif pada isu-isu yang berkenaan dengan mengurangi emisi dari penurunan kerusakan hutan dan tutupan hutan di negara berkembang dan peran konservasi, pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan di negara berkembang (Wibowo, 2016). Implementasi kebijakan tersebut tentu perlu didorong dengan partisipasi dan peran dari berbagai pihak secara sinergis. Begitu egoisnya, saat alam harus dikorbankan untuk ‘sebuah kepentingan’ dengan tidak mempertimbangkan keberlangsungan ‘kehidupan’ banyak orang. Kini saatnya kita menyadari bahwa egosentris tidak hanya akan membunuh diri sendiri secara perlahan, namun merugikan generasi mendatang.
Kita memang tidak bisa terlepas dari alam, begitu pula alam yang membutuhkan tangan manusia untuk mengelolannya. Alam pun akan hancur jika manusia punah dari dunia. Berbagai hewan peliharaan akan mati, bangunan akan runtuh karena tiada kehidupan dan rantai makanan tidak akan lagi teratur. Oleh karena itu, bukan tentang ada atau tidaknya ‘kehadiran’ manusia di bumi yang akan menjadikan bumi ini lestari. Namun, tentang bagaimana manusia bisa menyadari dan menghilangkan ego diri, mulai berpikir kritis, lebih humanis dan bertindak lebih bijak bahwa kelestarian itu tentang keseimbangan dan keteraturan ekosistem.
Referensi:
Brown, Sandra, 1997. Estimating Biomass and Biomass Change of Tropical Forests: a Primer.
(FAO Forestry Paper – 134). FAO, Rome.
Clark III, A. 1979. Suggested procedures for measuring tree biomass and reporting free
prediction equations. Proc. For. Inventory Workshop, SAF-IUFRO. Ft. Collins, Colorado
Conversation. 2020. Coronavirus has Slash CO2 Emission here’s how to keep them down. thenextweb.com
FWI/GFW, 2001. Potret Keadaan Hutan Indonesia. Bogor, Indonesia Hitchcock III, H.C. & J.P.
McDonnell, 1979. Biomass measurement: a synthesis of the literature. Proc. For. Inventory Workshop, SAFIUFRO. Ft. Collins, Colorado: 544-595.
FWI. 2009. INFOFWI: Perhitungan Karbon. Report. fwi.org
Joe Quirk & Patri Friedman. 2017. Seasteading. FreePress
Muziansyah, Devianti. Rahayu Sulistyorini. Syukur Sebayang. 2015. Model Emisi Gas Buangan Kendaraan Bermotor Akibat Aktivitas Transportasi (Studi Kasus: Terminal Pasar Bawah Ramayana Koita Bandar Lampung). JRSDD, Edisi Maret 2015, Vol. 3, No. 1, Hal:57 – 70 (ISSN:2303-0011)
Pearson, T., Sandra Brown. 2004. Exploration of the carbon sequestration potential of classified forests in the republic of Guinea. Report submitted to the USAID. Winrock International, Arlington, VA, USA.
Syahrianto. 2019. Ruanya Stres Bisa Timbul Akibat Polusi Udara, Begini Penjelasannya. Sites. Retrieved Juni 19, 2020. From www.warteekonomi.co.id: https://www.wartaekonomi.co.id/read261063/rupanya-stres-bisa-timbul-akibat-polusi-udara-begini-penjelasannya
Sumartiningtyas, Holy Kartika Nurwigati. 2020. Dampak Pandemi Virus Corona pada Lingkungan, Polusi Udara Global Turun. Kompas.com. https://www.kompas.com/sains/read/2020/03/17/190300123/dampak-pandemi-virus-corona-pada-lingkungan-polusi-udara-global-turun?page=3.
Unicef.org. 2019. Site. Retrieved Juni 19, 2020. From unicef.org: unicef.org/indonesia/id/ppress-release/indonesia-10-juta-anak-terancam-dampak-polusi-udara-akibat-kebakaran-hutan-dan-laha
Wallace-Well, David. 2019. Bumi Yang Tak dapat Dihuni. Gramedia
Wellness. 2016. Come Outside why Fresh Air is Essential. Sites. Retrieved Juni 19, 2020. From benenden.co.uk : https://www.benenden.co.uk/be-healthy/lifestyle/come-outside-why-fresh-air-is-essential/
Wibowo, Ari. 2016. IMPLEMENTASI KEGIATAN REDD+PADA KAWASAN KONSERVASI DI INDONESIA (Implementation of REDD+ Activities in Conservation Area of Indonesia) Jurnal
Saya sudah berbagi pengalaman soal perubahan iklim. Anda juga bisa berbagi dengan mengikuti lomba blog “Perubahan Iklim” yang diselenggarakan KBR (Kantor Berita Radio) dan Ibu-Ibu Doyan Nulis (IIDN). Syaratnya, bisa Anda lihat di sini
Thayyibah Nazlatul Ain
Sukabumi, 21 Juni 2020
7.36 WIB
0 Komentar