“In an abundant world knowladge is about filtering, rather than gathering information.” --Vizi Andrei--
Pandemi corona kini menjadi momok yang menyita perhatian manusia di dunia. Berbagai kebijakan pemerintah dikeluarkan untuk mengurangi dan membatasi kontak sosial. Dimulai dari physical distancing hingga lockdown di beberapa negara. Di Indonesia, kini sudah mulai diberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Hal ini menuntut kita untuk stay at home, melakukan work from home, study from home dan melakukan aktivitas apapun di rumah.
Penggunaan media sosial di masa karantina memang sangat menunjang untuk berkomunikasi dengan orang lain, mendukung perkuliah, rapat bahkan ruang mengembangkan diri dan berkarya. Media sosial juga dapat menjadi mood booster, penghilang stress atau membuat bahagia bagi beberapa orang. Tidak terkecuali menjadi salah satu ruang untuk mendapatkan informasi mengenai kabar terbaru dari perkembangan Covid-19 ini. Tapi, tiap hari disuguhi kabar itu otak kita rasanya dibombardir dan lama-lama memunculkan stress, hal itu tentu mempengaruhi kesehatan mental.
Selain itu, work from home atau study from home ini menuntut kita untuk selalu aktif media sosial. Bagaimana tidak, dulunya kita setiap hari pergi kuliah dan bertegur sapa dengan teman atau bahkan gila-gilaan di kelas. Pekerja yang dengan sigap tiap pagi bergegas menuju kantor. Kini, cukup duduk atau bahkan tiduran di depan laptop lalu seharian berkutat dengan gawai, internet dan media sosial. Kuliah online mulai dijadwalkan dalam seminggu, meskipun memang sih saat kuliah tetap saja bisa sambil scrolling instagram atau sambil menonton film.
Dulu, rasanya nyaman dengan rutinitas kerja atau kuliah yang membuat kita bisa sementara lepas dari gawai, minimal 1 atau 2 jam bisa detox media sosial. Meski terpaksa karena kuliah atau kerja, tapi setidaknya tuntutan itu membentuk kebiasaan baik bagi diri kini untuk membatasi penggunaan media sosial. Namun bagaimana dengan tuntutan penggunaan media sosial di masa karantina ini?
Aktivitas apapun jika dilakukan secara berlebihan akan berdampak buruk bagi diri kita, tidak terkecuali penggunaan media sosial. Berdasarkan sebuah artikel dari Harvard University peneliti Trevor Haynes menyebutkan bahwa ketika kita mendapatkan sebuah notifikasi dari media sosial, otak kita akan mengirimkan sebuah chemical messanger yang bernama dopamin yang membuat kita merasa senang. Dopamin merupakan suatu neurotransmiter yang dibentuk oleh tubuh melalui asam amino tirosin. Dopamin berhubungan dengan makanan, olah raga, percintaan dan media sosial. Ketika hal-hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah, perilaku itu memunculkan dopamin yang lebih banyak sehingga membentuk kebiasaan. Seperti halnya menggunakan media sosial akan menghasilkan dopamin yang tinggi yang memicu rasa senang sehingga secara tidak sadar kita akan cenderung melakukannya terus menerus. Sehingga, menjadi kecanduan dan kebiasaan.
Bukan berarti tidak baik mengerjakan hal-hal yang dapat mengahasilkan dopamin. Namun apabila kita mengutamakan aktivitas yang menghasilkan dopamin yang tinggi seperti menggunakan media sosial, maka akan sulit bagi kita untuk melakukan aktivitas yang hanya menghasilkan dopamin yang rendah, seperti sekadar olah raga, jalan-jalan dan membaca buku.
Secara sadar atau tidak sadar,media sosial membuat kita kecanduan karena tubuh kita ingin mendapatkan dopamin yang tinggi. Padahal, media sosial membuat kita buruk dalam multitasking dan menyebabkan phantom vibration syndrom atau sindrom ketika kita merasa handphone ita berdering padahal tidak. Lalu bagaimana media sosial mempengaruhi mental kita?
- Pseudo Happiness
Berdasarkan riset dari University of Pennsylvania menyebutkan bahwa membatasi penggunaan media sosial akan mengurangi efek gangguan psikologi. Setelah dilakukan pemindaian otak pada seorang pecandu media sosial didapatkan bahwa kondisi otaknya mirip dengan pecandu narkoba. Ada perubahan yang jelas di wilayah otak yang mengendalikan emosi, perhatian dan pengambilan keputusan seseorang. Dalam hal ini terjadi ketika seseorang memposting foto di media sosial dan mendapatkan banyak likes dan feedback. Hal itu akan menstimulasi otak untuk menghasilkan dopamin sehingga secara tidak sadar ingin mengulanginya lagi hingga membentuk kebiasaan. Secara psikologi, hal ini membuat kita menggantungkan kebahagiaan pada likes dan feedback yang diberikan kepada orang lain.
- Social Comparison
Media sosial membuat kita mudah membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Padahal kita sadar dan tau bahwa apa yang terihat di media sosial atau di-posting di instagram adalah versi terbaik seseorang atau bahkan dimanipulasi. Hal itu yang terjadi pada diri kita yang akan mendediksikan banyak waktu hanya untuk mengedit foto dengan filter terbaik, menyiapkan caption yang menarik dan memperhitungkan waktu yang paling cocok untuk upload. Tanpa kita sadari, kita tetap terlalu memperhatkian kehidupan orang lain yang akhirnya membuat kita insecure.
- Fear of Missing Out (FOMO)
Dengan terlalu sering bersentuhan dengan sosia media tanpa sadar kita selalu dituntut untuk mengikuti trend dan kabar terbaru. Sehingga akan ada rasa takut ketinggalan. Ketinggalan gossip terhangat, thread terbaru, dan informasi viral di media sosial.
- Loneliness
Pada sebuah study dari University of Pennsylvania menemukan bahwa penggunaan Facebok, Snapchat dan Instagram meningkatkan perasaan kesendirian. Sebaliknya, dengan mengurangi penggunaan media sosial bisa membuat perasaan lebih bahagia dan meningkatkan kesejahteraan hidup.
- Mental Ilness
Media sosial tidak hanya membuat perasaan loneliness tetapi juga memunculkan gangguan mental seperti anxiety dan depresi ketika penggunaanya terlalu berlebihan dan tanpa hati-hai. Apalagi di masa pandemi ini, informasi beredar dengan sangat masif dan terkadang kita tidak bisa memfilter berita yang muncul sehingga dapat memicu ketakutan yang berlebihan dan menjadi anxiety disorder. Pada bulan Maret 2018, dilaporkan bahwa lebih dari sepertiga dari Generasi Z dari survei terhadap 1.000 orang menyatakan bahwa mereka berhenti dari media sosial dan 41 persen menyatakan bahwa platform media sosial membuat mereka merasa cemas, sedih atau tertekan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, seyogyanya kita lebih bijak dalam menggunakan media sosial. Hal ini dilakukan untuk menunjang kesehatan mental yang otomatis berdampak baik bagi kesejahteraan fisik. Salah satunya dengan melakukan detox social media. Detox social media ini dilakukan dengan menghentikan aktivitas bermain media sosial dalam jangka waktu tertentu. Selain dapat me-refresh otak kita, hal ini membuat kita dapat melakukan aktivitas yang menghasilkan dopamin rendah tanpa kesulitan dan terganggu. Jangka waktu ditentukan sesuai dengan kebutuhan kita. Di masa pandemi ini, memang agak sulit untuk menghentikan sosial media full dalam waktu 1 minggu, misalnya. Namun kita bisa melakukannya di hari Sabtu atau Minggu saat tidak ada jam kerja atau jam kuliah. Selain itu kita juga bisa melakukan dengan pembatasan platform yang digunakan. Misalnya, untuk satu bulan meng-uninstall twitter dan instagram, sedangkan masih menggunakan whatsapp dan line untuk kuliah atau kerja. Cara lain juga, bagi yang kepribadiannya cenderung rapi dan terstruktur bisa juga membuat jadwal menggunakan media sosial per hari, hal itu yang akan mengerem atau membatasi dalam menggunakannya.
Sebenarnya banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan detox media sosial. Tergantung pada kemauan dan upaya dalam memahami kebutuhan diri kita yang sebenarnya. Dalam hal ini, media sosial itu bersifat netral. Bisa baik atau bisa jadi buruk tergantung penggunanya. Oleh karena itu, bagaimana kita menggunakan adalah representasi dari keputusan yang kita buat untuk memenuhi kesejahteraan fisik dan mental kita.
Referensi:
Bilal, Hüseyin, Gamze, Orhan. A Research On Social Media Addiction And Dopamine Driven
Feedba. 2018. Journal of Mehmet Akiv Ersoy
Hea, Qinghua, Ofir Turelb, Damien Breversb, Antoine Becharab. 2017. Excess Social Media
Use In Normal Populations Is Associated With Amygdalastriatal But Not With Prefrontal Morphology. Pcychiatry Research; Nouroimaging
Barr, Sabrina. 2019. Six Ways Media Sosial Negatively Affect Your Mental Health. Independent.co.uk.https://www.independent.co.uk/life-style/health-and-families/social-media-mental-health-negative-effects-depression-anxiety-addiction-memory-a8307196.html
Mcsweeley, Kelly. 2019. This is Your Brain on Instagram: Effects of Media sosial on the Brain Media sosial use high makes. https://now.northropgrumman.com/this-is-your-brain-on-instagram-effects-of-social-media-on-the-brain/
Parnell, Bailey. 2018. Is Social Media Hurting Your Mental Health. TEDx talks.
https://www.youtube.com/watch?v=Czg_9C7gw0o
Better Thay Yesterday Channel. 2020. How I Trick My Brain To Like Doing Hard Things
(Dopamine Detox). https://www.youtube.com/watch?v=9QiE-M1LrZk&t=15s
Thayyibah Nazlatul Ain
Sukabumi, 21 Apriil 2020
pukul 12.40 wib
0 Komentar