“Environment is everything. That isn’t me” Albert Einstein
Fenomena perubahan iklim menjadi salah satu momok yang menjadi perhatian global. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memprediksi bahwa pada tahun 2030 terjadi peningkatan temperatur hingga 1,5 derajat Celcius. Angka kenaikan tersebut akan memicu badai angin, panas berkepanjangan, kekeringan bahkan kepunahan massal. Artinya, kita hanya memiliki waktu 11 tahun untuk melakukan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Tidak dapat dipungkiri, meski kita telah merasakan dampaknya secara langsung namun kita juga yang menjadi kontributor utama dari perubahan iklim. Berdasarkan data Journal Nature pada tahun 2012 satu dari tiga penyumbang gas rumah kaca terbesar adalah dari aktivitas manusia salah satunya agrikultur dan menyumbang 86% CO2. Selain itu, permasalahan keterbatasan air bersih menjadi ancaman karena sebanyak 7.7 miliyar orang di dunia ini memperebutkan ketersediaan air bersih layak yang hanya 0.007 persen di bumi. Seorang saintis, Peter Gleick dari Pasific Institute memprediksi bahwa pada tahun 2020 sebanyak 135 juta orang di dunia akan meninggal karena kekurangan air bersih (Joe Quirk & Patri Friedman, 2017).
Dalam menangani hal tersebut, dunia meresponnya melalui Sustainable Development Goals (SDGs) 2030 yang direpresentasikan secara spesifik melalui Coference of Parties (COP) tahun 2017 sebagai bentuk komitmen untuk memerangi perubahan iklim. Sebenarnya 2 (dua) tahun sebelum konferensi tersebut dilaksanakan, para cendekiawan islam dunia berkumpul di Istanbul Turkey dalam the International Islamic Climate Change Symposium. Pada simposim tersebut dibahas peran muslim untuk merespon aktif fenomena perubahan iklim melalui kajian-kajian dalam perspektif islam.
Menangani perubahan iklim secara preventif melalui perspektif islam tentu merupakan pendekatan yang sangat relevan. Hal tersebut karena islam sebagai agama rahmatalill ‘alamiin memiliki pedoman hidup yang berisi petunjuk bahkan proyeksi atau “pemodelan” masa depan yang lengkap dengan solusi yang dicantumkan secara implisit maupun eksplisit. Hal itu dapat dibuktikan dengan ditemukannya berbagai fenomena yang dapat dibuktikan secara saintifik dan sudah tersirat sejak beberapa abad yang lalu dalam Al-quran. Sebagai contoh, kita dapat merasakannya secara langsung yang terjadi di masa kini yang sebenarnya sudah termaktub dalam Al-quran surat Ar-Rum ayat 41 yang berbunyi, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.
Ayat tersebut menujukan bahwa fenomena yang terjadi di masa kini telah diprediksi secara akurat dalam kitab petunjuk umat manusia khusunya muslim.
Peran muslim dalam memerangi perubahan iklim salah satunya diimplementasikan melalui program Eco-Masjid yang diluncurkan pemeritah. Menurut laman ecomasjid.id, konsep Eco-Masjid ini berasal dari dua kata yaitu Eco dan Masjid. Eco yang berarti Ecology yang berarti erat kaitannnya dengan kesetimbangan ekosistem yang terbentuk antara makhluk hidup dan ligkunganya. Serta kata “Masjid” yang merupakan tempat bersujud. Secara syara yaitu tempat yang disediakan untuk shalat. Sehingga, konsep Eco-Masjid ini menyediakan tempat beribadah yang tetap memperhatikan dan peduli terhadap hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya.Ketercapaian kehidupan yang ramah lingkungan ini merupakan representasi dari hati dan pikiran yang bersih sebagai umat beragama dan sebagai titik tolak upaya menciptakan negeri yang asri, nyaman dan aman “Baldatun Thayyibun Wa Robbun Ghafur”.
Program dari Eco-Masjid tersebut menyasar pada aspek teknis dalam perencanaan bangunan masjid yang ramah lingkungan. Perencanaan tersebut meliputi: perencanaan keran air wudhu dengan lubang (orifice) kecil untuk mengurangi debit air, perencanaan sistem daur ulang air wudhu, penampungan air hujan sebagai air wudhu, pengelolaan sampah masjid untuk dijadikan kompos maupun produk daur ulang serta penghijauan dan pengadaan energi terbarukan seperti solar cell untuk atap masjid.
Implementasi perencanaan teknis tentu tidak akan bisa optimal tanpa adanya upaya non teknis untuk mewujudkan eco-masjid. Optimalisasi dan sustainabilitasnya didorong dari program non-teknis dalam bentuk komunitas eco-masjid yang berfokus pada kajian dan pembedayaan di bidang lingkungan melalui kajian dalam perspektif islam.
Komunitas eco-masjid ini bisa dijalankan dari jaringan lembaga-lembaga Islam, masjid, maktab dan madrasah serta sekolah-sekolah muslim untuk terlibat mendalami kajian ekologis berdasarkan perspektif islam (Mohamed, 2014).
Selain sebagai upaya untuk konservasi lingkungan, hal tersebut menjadi salah satu cara untuk memakmurkan masjid. Masjid menjadi salah satu simbol Islam yang paling terlihat. Kemakmuran masjid bergantung pada umat muslim memanfaatkannya.
Upaya memakmurkan masjid melalui kajian secara intensif terhadap berbagai permasalahaan lingkungan tentunya sangat representatif dan efektif apabila dapat dilakukan dengan pendekatan islam. Karema islam adalah agama yang memiki pendoman yang solutif bagi kehidupan.
Komunitas eco-masjid sebagai upaya optimalisasi aspek teknis sangat mungkin dapat diimplemntasikan. Begitu pula dapat mendorong memunculkan awareness melalui berbagai pendalaman intelektual dan spiritual. Melalui berbagai pengembangan pemikiran dari pendekatan islam tersebut tentu akan menjadi langkah awal membangun mindset masyarakat yang ramah lingkungan. Hal itu berkontribusi terhadap upaya konservasi lingkungan.
Demikian, eco-masjid dapat diimplentasikan melalui aspek teknis yang meliputi perencanaan bangunan ramah lingkungan yang didorong dengan aspek non-teknis yang menghadirkan peran muslim untuk menjaga sustainabilitasnya.
Surabaya,
Ahad, 18 November 2019
19.24 WIB
0 Komentar