“Cak wedok iku mek opo kuliah ambek sekolah duwur-duwur, sok mben yo nyambel neng powon” atau dalam masyarakat sunda menyebut,”Neng, tos we tong sakola luhur-luhur, da awewe mah ngke ge balik deui ka dapur.” Itulah paradigma sosial yang menganggap bahwa wanita yang tidak perlu memiliki pendidikan yang tinggi untuk mengembangkan potensinya karena kodrat wanita adalah mengurus pekerjaan rumah dan anak, hal ini yang dikenal dengan tradisi pingit. Hal tersebut masih melekat pada masyarakat yang masih mengedepankan tradisi yang diwariskan secara turun menurun. Budaya di Indonesia merupakan salah satu kearifan yang soyogyanya dipertahankan. Namun, budaya akan paradigma yang mengerdilkan pola pikir perlu diubah dan direkontruksi menjadi lebih baik. Padahal, sudah sejak zaman dahulu, tokoh emansipasi wanita, R. A. Kartini sudah menggemborkan pentingnya perubahan pola pikir dan perlunya pendidikan untuk wanita yang diperjuangan melalui surat yang berisi pemikiran-pemikirannnya yang dibukukan dalam Duistermis tox Licht (1911) oleh J.H. Abendnon. Kemudian oleh Armijin Pane buku tersebut diterjemahkan dalam Habis Gelap Terbitlah Terang; Boeah Pikiran (1922). Dalam surat-surat tersebut tidak jarang Kartini menyuarakan keinginannya untuk dapat memperoleh pendidikan tinggi dan ia mengutarakan ketidaksetujuannya pada tradisi pingit yang pada saat itu keluarganya sangat memegang teguh tradisi tersebut. Hal ini mendorong tokoh wanita lain menyuarakan pentingnya emansipasi wanita yang diikuti oleh R. Dewi Sartika yang mendirikan Sekolah Keutamaan Isteri di Bandung dan Rohanna Kudus yang mendirikan perusahaan penerbitan koran Soenting Malajoe.
Mengubah paradigma masyarakat memang cukup sulit karena terhalang dengan dalih budaya dan anggapan bahwa pengaruh luar atau disebut dengan era globalisasasi dewasa ini menjadi momok yang membawa dampak negatif bagi kehidupan mereka. Pola pikir masyarakat yang masih feodalisme dan tertutup terhadap perkembangan zaman menyebabkan pengerdilan intelektual. Sehingga pengembangan maayarakat masih sangat statis dan berdampak pada kesejahteraan serta taraf hidup masyarakat. Di sisi lain, emansipasi wanita sedang diagung-agungkan di masyarakat modern. Emansipasi wanita yang membebaskan wanita mengeksplor potensi, mengenyam pendidikan tinggi dan kini banyak wanita yang menyandingi lelaki dalam pekerjaannya. Namun, masyarakat zaman dahulu yang dianggap mengerdilkan intelektual karena mempertahankan tradisi ternyata memiliki tingkat kesejahteraan kepuasan individu yang lebih tinggi dibanding masyarakat zaman modern yang sudah memiliki kebebasan cara berpikir dan memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Bahkan, tingkat kriminalitas meningkat dewasa ini dan kualitas moral yang semakin menurun. Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan besar karena terdapat kesenjangan antara cara berpikir dan kualitas moral. Dalam diskusi yang pernah saya lakukan dengan beberapa teman saya mengenai tingkat pindidikan yang tidak berbanding lurus dengan kualitas hidup dan kesejahteraan wanita menyimpulkan bahwa penyebab adanya kesenjangan antara keduanya disebabkan oleh, sebagai berikut:
- Lingkungan
Lingkungan adalah salah satu yang berkontribusi membentuk karakter dan pola pikir manusia. Seperti cerita elang yang sejak kecil tumbuh berkembang di lingkungan ayam, sehingga kebiasaan dan potensinya menyamai ayam.
- Orientasi Yang Salah
Meski kini tingkat pendidikan terus berkembang, namun kesalahan orientasi terhadap pendidikan membuat perkembangan manusia yang masih statis. Kebijakan industrialisasi dewasa ini menyebabkan manusia hanya terfokus pada prosedur yang ada sehingga tidak secara bebas mengembangkan dan mengimplementasikan pemikiran dan idenya. Selain itu, orientasi yang salah juga dialami oleh pelajar dan mahasiswa yang mengenyam pendidikan karena sekadar untuk mengejar nilai, mendapat ijazah dan mendapat pekerjaan. Tentu hal itu adalah kesalahan orientasi yang mengerdilkan pola pikir. Hal ini tentu berdampak pada menurunnya kreativitas manusia untuk hidup produktif dan untuk lebih berpikir terbuka.
- Kualitas Moral
Tingkat pendidikan yang semakin struktural ternyata tidak secara komprehensif mendorong meningkatnya kuliatas moral manusia, terutama wanita. Kualitas moral ini terlihat dengan semakin tinggi arus media sosial yang menyebabkan wanita terlalu mengekspos, mengekspresikan perasaan, berkeluh kesah dengan meng-update status dan mem-post foto hanya sekadar mendapat pujian oleh orang lain.
Lalu, bagaimana memanfaatkan potensi yang ada agar wanita lebih produktif tanpa menghilangkan tradis yang ada?
Budaya memingit wanita atau membatasi kebabasan wanita memang dianggap negatif bila dilihat dari perspektif kita yang sudah berpikir jauh lebih modern. Namun, bagi mereka yang sudah terbiasa dan merasa jalan yang mereka pilih adalah jalan yang benar, maka sah-sah saja dan menjadi hal yang biasa. Membatasi kebebasan bukan berarti mengerdilkan potensi wanita. Biasanya, orang-orang pada zaman dahulu, meski tidak mengenyam pendidikan tinggi yang kita anggap sebagai pendobrak cara pikir, tetapi mereka tetap memiliki keahlian yang membuat mereka semakin berkembang. Masyarakat zaman dahulu, meski tidak mengenyam pendidikan yang tinggi namun memiliki kualitas hidup dan kesejarhteraan yang cukup sulit dijadikan sebagai standar kesejahteraan masyarakat zaman sekarang. Di sini poin pentingnya, yaitu implementasi. Bukan mengesampingkan orang yang berpendidikan tinggi, namun yang ditekankan bahwa seseorang yang hanya beradu argumentasi, mengeluarkan ide dan teori tanpa aksi hanya akan berujung sia-sia. Ini juga yang menyebabkan salah satu masalah sosial yaitu penggangguran. Tidak hanya terjadi pada masyarakat kalangan bawah, namun penggangguran terjadi pada masyarakat dengan standar pendidikan yang cukup tinggi. Data menyebutkan menurut data BPS, catatan terakhir pada Februari 2016 menunjukkan bahwa sarjana penganggur mencapai 695 ribu jiwa. Itu meningkat 20 persen dibanding catatan Februari 2015. Dalam sebuah buku inspiratif Habits yang ditulis oleh Ustad Felix Siauw menyebutkan bahwa action adalah pertanda kesungguhan, ia pembeda antara impian dan khayalan. Maka, praktik lebih penting daripada hanya beradu teori.
Berdasarkan hal tersebut, ternyata tidak semua masyasrakat yang memiliki pendidikan tinggi yang bisa memanfaatkan potensi yang ada. Namun setiap orang bisa memanfaatkan dan mengembangkan potensi. Setiap orang bisa meminimalisasi pola hidup konsumtif dengan didorong aktivitas yang lebih produktif dan tidak menghabiskan waktu hidup dengan kesia-siaan. Maria Mies, seorang feminis menyebut kegiatan ini sebagai produksi kehidupan, yang mana memiliki hubungan produktif dengan alam, karena mereka tidak hanya mengonsumsi tetapi membuat segala sesuatu menjadi tumbuh, hubungan yang tidak ada dominasi. Menurut Fitri (2017) dalam lensa feminisme khas Eropa, perempuan akan didakwa sebagai yang tertindas karena dianggap melakukan kerja-kerja reproduksi alias kerja domestik, namun di dalam ruang sosial mereka, justru mereka adalah subyek yang memiliki peran utama dalam penghidupan atas pekerjaannya.
Maka, solusi dalam emansipasi wanita dengan mempertahankan tradisi ini bisa dilakukan dengan membuat sebuah industri kreatif yaitu Rumah Inovasi. Rumah Inovasi ini merupakan solusi dari pengembangan industri yang dikembangan oleh kaum wanita yang kini hanya terfokus pada pekerjaan rumah tangga. Rumah Inovasi ini dibentuk sesuai dengan kebutuhan masyarakat, program yang dicanangkan bisa berupa perencanaan bank sampah bagi suatu daerah yang masih minim kualitas lingkungan. Bank sampah ini bisa dibuat dengan sistem yang lebih inovatif yaitu tidak sekadar transaksi pemilahan sampah dengan sistem menabung, tetapi bisa dilakukan pemilahan inovasi yang nantinya bisa diubah manfaatnya atau me-recycle barang-barang tertentu menjadi lebih berguna dan memiliki daya jual. Selain meningkatkan kualitas lingkungan, hal ini bisa mendorong kreativitas masyarakat. Dalam implementasinya, bisa melibatkan generasi dini untuk membiasakan hidup produktif dan hal ini yang mempertahankan nilai tradisi wanita yang kodratnya mengurus anak. Selain bank sampah, rumah inovasi ini bisa dibentuk dengan membuat taman baca anak. Memang hal ini cukup sulit ditambah karena kurangnya kesadaran literasi pada masyarakat. Namun, perubahan tidak akan terjadi jika tidak berawal dari aksi kecil. Beberapa wanita yang asalkan memiliki orientasi yang sama bisa menggerakan massa. Dalam pengaplikasiannya bisa dikemas lebih kreatif salah satunya bisa dengan games yang mendidik. Rumah inovasi selanjutnya adalah dengan pembukaan lahan produksi. Selain menjadi daya tarik wanita yang memiliki hobi menanam, hal ini mendorong ketahanan pangan suatu daerah. Membuka lahan produksi ini bisa berupa tanaman pangan, toga atau apapun yang dibutuhkan suatu daerah. Hal ini juga bisa menghemat pengeluaran domestik. Bagi daerah yang sudah padat penduduk dan tidak memungkinkan untuk membuka lahan produksi, bisa dilakukan dengan vertikultur yang hanya membutuhkan lahan yang kecil, bisa juga dengan vertikultur gantung yang hanya memanfaatnya tembok kosong di lahan padat penduduk, dan lain-lain.
Ide-ide program tersebut akan menjadi lebih baik jika dikolaborasikan dalam kesatuan Rumah Inovasi. Meskipun harus mengeluarkan modal awal, namun berpikir jauh ke depan untuk mendorong perubahan lingkunagan dan pengembangan SDM manusia, terutama wanita. Rumah inovasi ini mendukung emansipasi wanita untuk kebebasan mengerluarkan ide, memaksimalkan potensi dengan mengeksplor pemikiran dan beraksi dengan mengembangkan kreativitas. Selain itu, tetap mempertahankan tradisi yang menekankan pada kodrat wanita untuk mengurus anak dan rumah karena melibatkan generasi dini untuk terjun dalam proses pembelajaran dengan tetap menanamkan pendidikan karakter karena langsung dididik oleh seorang ibu dan tetap mengurus rumah karena Rumah Inovasi ditujukan untuk para ibu rumah tangga di suatu daerah tertentu
REFERENSI
Shiva, Vandana dan Maria Mies. 2005. Ecofeminism; Gerakan Perempuan dan Lingkungan. Yogyakarta: IRE Press
Fitri, Inna; Fitri. 2017. Jurnal Ilmu Pemerintahan. Gerakan Sosial Perempuan Ekofeminisme Di Pegunungan Kendenag Provinsi Jawa Tengah Melawan Pembangunan Tambang Semen. Vol. 1 No.1
Swasono, Meutia Hatta. Potret Kebangkitan Perempuan Indonesia. Menteri Negara Perbendayaan Perempuan Republik Indonesia (Diakses tanggal 13 Oktober 2017 pukul 04.53)
Syukrie, Erna Sofyan. 2003. Pemberdayaan Perempuan Dalam Pembangunan Berkelanjutan. Denpasar.
Crittenden, Danielle. 1999. Wanita Salah Langkah. Diterjemahkan oleh: Sofia Mansur. Bandung: Penerbit Qonita.
https://www.jawapos.com/read/2017/01/30/105943/sarjana-menganggur-semakin-
banyak (diakses pada tanggal 11 September 2017 Pukul 11.24)
0 Komentar