Suara Masyarakat Lokal tuk Kelestarian Kawasan Pesisir, Pentingkah?

IMG20170730162541(Refleksi Partisipasi Masyarakat Pesisir Leuweung Sancang, Garut)Oleh : Thayyibah Nazlatul Ain

Wilayah pesisir merupakan salah satu ka  wasan yang berkontribusi dalam menunjang keberlangsungan kehidupan manusia, pun makhluk yang berada di sekitarnya. Dalam Pasal 1 UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dijelaskan bahwa wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut yang mempunyai keanekaragaman sumberdaya pesisir. Wilayah pesisir berfungsi sebagai penyedia sumberdaya alam, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan dan penyedia jasa kenyamanan. (Asyiawati dan Akliyah, t.thn).  Kedua fungsi tersebut tentunya harus dimanfaatkan secara bijak agar tetap bisa mempertahankan keseimbangan dan keberlajutan ekosistem. Banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menjaga dan mempertahankan sumberdaya yang ada, salah satunya konservasi. Konservasi adalah kawasan tempat pegawetan atau perlindungan keanekaragaman hayati yang tersebar di Indonesia maupun di dunia (Arsyad, 2017). Bentuk implementasi dari konservasi bisa dilakukan dengan penetapan kawasan cagar alam, taman nasional, suaka margasatwa, kebun raya dan lain sebagainya. Upaya tersebut diharapkan sebagai langkah strategis untuk melestarikan alam dan lingkungan yang berkelanjutan.

Namun, dalam penelitian yang dilakukan oleh Agusrinal et al (2015) yang melakukan penelitian di Wakatobi dalam rentang waktu 18 tahun yaitu tahun 1996 tepat ditetapkan sebagai Taman Nasional dan 2014. Pada tahun 1996, luas tutupan mangrove di Pulau Kaledupa adalah 978.03 ha. Tutupan mangrove tersebut berkurang menjadi 763.99 ha pada tahun 2014 atau berkurang sebesar 21.89 %. Secara umum, ada dua faktor penyebab meningkatnya degradasi ekosistem mangrove di Pulau Kaledupa, yaitu faktor alami dan faktor manusia. Faktor alami yang paling berperan dalam degradasi mangrove di Pulau Kaledupa adalah kondisi substrat campuran yang peka erosi sehingga menyulitkan tumbuhan mangrove untuk berkembang dengan baik. (Pradana  et al.  2013).  Adapun faktor manusia adalah banyaknya pembangunan untuk menunjang sarana prasarana Taman Nasional dan kegiatan-kegiatan manusia yang mengeksploitasi mangrove dan sumber daya pesisir lain untuk memenuhi kebutuhannya tanpa memperhatikan kelestarian kawasan tersebut.

Hal sama terjadi di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang Garut. Berdasarkan hasil wawancara pada Juli 2018 kepada salah satu tokoh masyarakat (informal leader) yaitu Dadang (53 tahun) mengatakan bahwa terjadi degradasi tutupan mangrove di Leuweung Sancang. Hal itu disebabkan karena pernah terjadi kebakaran hutan mangrove saat kemarau panjang, masyarakat yang menebang pohon dan konversi lahan menjadi pembangunan. Hal itu sejalan dengan yang disampaikan oleh Ruskindi (55 tahun) seorang Polisi Hutan yang menjadi pihak pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang.

Menurut Mulyadi  et al.  (2010), kerusakan hutan mangrove disebabkan oleh dua hal yaitu aktivitas manusia dan faktor  alam. Aktivitas manusia yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove adalah perambahan hutan mangrove secara besar-besaran untuk pembuatan arang, kayu bakar, dan bahan bangunan, serta penguasaan lahan oleh masyarakat, pembukaan lahan untuk pertambakan ikan dan garam, pemukiman, pertanian, pertambangan dan perindustrian. Hal ini sejalan dengan kondisi di Pulau Kaledupa Wakatobi dan Cagar Alam Leuweung.

Kedua contoh kasus diatas tentunya menjadi evaluasi dalam pengelolaan konservasi alam. Taman Nasional, Cagar Alam maupun upaya konservasi lainnya tetap harus memegang tiga pilar konservasi yaitu perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan. Menurut Hilmawan Sasongko, Kepala Bidang KSDA Ciamis bahwa ketiga pilar tersebut harus diimplementasikan sesuai dengan urgensitas kebutuhan alam. Ketika sebuah kawasan Cagar Alam lebih membutuhkan perlindungan untuk meminimalisasi kepunahan suatu spesies, artinya pilar perlindungan harus lebih diutamakan dari pada kedua pilar lainnya. Begitupun dengan pilar lainnya. Karena hakikatnya upaya konservasi menekankan pada “pemenuhan kebutuhan alam”.

Penyebab degradasi mangrove yang terjadi di Kaledupa dan Leuweung Sancang salah satunya karena faktor manusia, yaitu masyarakat lokal yang menebang  pohon untuk memenuhi kebutuhan. Oleh karena itu, implementasi konservasi yang berkelanjutan tentunya harus melibatkan partisipasi masyarakat lokal dan menjadikan masyarakat menjadi subjek dalam pengelolaannya. Menurut Dadang,  masyarakat lokal sudah mengetahui fungsi Cagar Alam yang harusnya dilindungi dan tidak bisa sembarang orang dapat masuk ke dalam kawasan tersebut. Namun, hal tersebut terjadi karena masyarakat lokal masih bergantung pada sumber daya laut dan pesisir untuk memenuhi kebutuhannya. Selain itu, masyarakat dengan pengelola kawasaan tidak sevisi sehingga tidak bergerak sinergis. Masyarakat merasa minimnya pendekatan dan penyuluhan. Hal itu menjadikan kurangnya partisipasi dan dukungan masyarakat terhadap pengelola.

Oleh karena itu, perlunya ada pola integrasi sebagai upaya konservasi secara sinergis. Suara dan peran masyarakat lokal yang menjadi subjek dalam pengelolaan secara langsung sangat dibutuhkan. Begitu pula pihak pengelola sebaiknya lebih terbuka kepada masyarakat lokal dan melibatkan peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan dan perencanaan dalam kawasan tersebut. Untuk mempermudah komunikasi antara masyarakat dan pihak pengelola bisa dilibatkan komunitas atau kader konservasi yang konsen di bidang konservasi pesisir sebagai jembatan penghubung yang lebih dinamis. Dengan begitu, pola integrasi dalam konservasi akan berjalan secara sinergis.

Posting Komentar

0 Komentar